Neraca Dagang RI 18 Bulan Surplus, Rupiah Maju Tak Gentar!
Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar baik datang dari luar dan dalam negeri di awal pekan ini, membuat rupiah mampu mencatat penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah melanjutkan kinerja impresif pekan lalu, bahkan sempat menembus ke bawah Rp 14.200/US$.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan Senin (15/11) dibuka rupiah langsung menguat 0,23% ke Rp 14.200/US$ dan berlanjut hingga ke Rp 14.180/US$ atau 0,37%.
Level yang disebutkan terakhir menjadi posisi terkuat rupiah hari ini. Di akhir perdagangan rupiah menguat 0,16% ke Rp 14.210/US$ di pasar spot.
Pada pekan lalu, rupiah mencatat penguatan 0,64%. Meski tidak besar tetapi penguatan tersebut terbilang impresif, sebab indeks dolar AS sepanjang pekan lalu melesat 0,86% ke 95,128, level tertinggi sejak Juli 2020.
Kabar baik datang dari China pada hari ini. Pada pekan lalu, pasar dibuat cemas akan risiko stagflasi yang menghantui. Stagflasi merupakan stagnanya pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan tingginya inflasi.
Ketika stagflasi melanda China, maka dunia akan terkena dampaknya.
Pemerintah China pekan lalu melaporkan inflasi yang dilihat dari consumer price index (CPI) naik 1,5% year-on-year (YoY) di bulan Oktober, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7% YoY serta dibandingkan hasil polling Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi 1,4% YoY.
Yang paling membuat cemas adalah inflasi dari sektor produsen (producer price index/PPI) yang meroket 13,5% YoY, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 10,7%. PPI di bulan Oktober tersebut menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 26 tahun terakhir.
Ketika inflasi di produsen tinggi, maka ada risiko inflasi CPI juga akan melesat dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, produsen kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produknya.
"Kami khawatir inflasi di sektor produsen akan berdampak pada inflasi konsumen," kata Zhiwei Zhang, kepala ekonom di Pinpoint Asset Management, dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters.
"Risiko terjadinya stagflasi terus meningkat" tambah Zhiwei.
Kecemasan akan terjadinya stagflasi sedikit mereda hari ini setelah Biro Statistik China melaporkan penjualan ritel tumbuh 4,9% YoY, lebih tinggi dari hasil polling Reuters yang memprediksi kenaikan sebesar 3,5% YoY. Produksi Industri juga dilaporkan naik 3,5% YoY, lebih tinggi dari prediksi 3% YoY.
Rilis tersebut meredakan kecemasan akan risiko terjadinya stagflasi di Negeri Tiongkok.
Sementara itu dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) sebelum tengah hari tadi melaporkan ekspor Indonesia pada Oktober 2021 mencapai US$ 22,03 miliar, naik 53,35% YoY dan 6,89% dibandingkan bulan sebelumnya.
Realisasi ini juga membawa ekspor Indonesia kembali menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Sementara impor dilaporkan mencapai US$ 16,29 miliar, naik 51,06% YoY.
Dengan nilai ekspor dan impor tersebut, surplus neraca perdagangan Indonesia pada bulan Oktober sebesar US$ 5,74 miliar. Surplus tersebut menjadi rekor tertinggi sepanjang masa, melampaui rekor sebelumnya US$ 4,74 miliar yang tercatat pada Agustus lalu.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia sebelumnya memperkirakan ekspor tumbuh 46,06%, sedangkan impor tumbuh 58,35%, dengan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 3,89 miliar.
Selain mencatat rekor, neraca perdagangan Indonesia sudah mengalami surplus dalam 18 bulan beruntun.
Surplus neraca perdagangan akan sangat membantu kinerja transaksi berjalan. Saat transaksi berjalan semakin sehat, maka nilai tukar rupiah akan lebih stabil.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)