Gegara Stagflasi, Rupiah Gagal Menguat 4 Hari Beruntun

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 November 2021 15:14
valas
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Laju penguatan rupiah dalam 3 hari beruntun akhirnya terhenti pada perdagangan Rabu (10/11). Isu stagflasi membuat rupiah harus melemah tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS).

Membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.240/US$, rupiah kemudian melemah 0,14% ke Rp 14.260/US$. Pergerakan rupiah pada hari ini terbilang sempit, level tersebut menjadi yang terlemah hari ini.

Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.250/US$, melemah 0,07% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Rupiah yang tidak banyak bergerak melawan dolar AS hari ini sesuai dengan prediksi analis yang melihat pasar saat ini menanti rilis data inflasi Amerika Serikat malam ini.

Data inflasi AS yang akan dirilis mala mini menjadi perhatian pelaku pasar saat ini. Sebelum ada tersebut dirilis, diperkirakan belum akan ada pergerakan besar di pasar valuta asing.

"Tidak akan ada banyak pergerakan menjelang rilis data CPI AS di hari Rabu. Kita baru akan melihat pergerakan yang lebih besar di pasar valuta asing setelah rilis data tersebut," kata Mazen Issa, analis senior di TD Securities, sebagaimana diwartakan CNBC International, Selasa (9/11).

Hasil survei Reuters terhadap para ekonom menunjukkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) diprediksi tumbuh 4,3% year-on-year (YoY).

Inflasi di AS memang sudah lewat jauh dari target bank sentral AS (The Fed) rata-rata 2%. Tetapi, hingga saat ini The Fed masih kukuh melihat tingginya inflasi tersebut hanya sementara, dan akan berlangsung hingga pertengahan tahun depan.

Masalah inflasi yang tinggi juga menjalar ke China, sehingga memunculkan kecemasan akan stagflasi yang membuat rupiah tertekan pada hari ini. Stagflasi merupakan stagnannya pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan tingginya inflasi.

Pemerintah China hari ini melaporkan inflasi yang dilihat dari consumer price index (CPI) naik 1,5% year-on-year (YoY) di bulan Oktober, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7% YoY serta dibandingkan hasil polling Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi 1,4% YoY.

Yang paling membuat cemas adalah inflasi dari sektor produsen (producer price index/PPI) yang meroket 13,5% YoY, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 10,7%. PPI di bulan Oktober tersebut menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 26 tahun terakhir.

Ketika inflasi di produsen tinggi, maka ada risiko inflasi CPI juga akan melesat dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, produsen kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produknya.

"Kami khawatir inflasi di sektor produsen akan berdampak pada inflasi konsumen," kata Zhiwei Zhang, kepala ekonom di Pinpoint Asset Management, dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters.

"Risiko terjadinya stagflasi terus meningkat" tambah Zhiwei.

Meski risiko stagflasi di Indonesia masih kecil, mengingat inflasi di Indonesia masih rendah, tetapi jika hal tersebut terjadi di China maka dampaknya akan terasa ke dalam negeri. Apalagi, Indonesia juga banyak mengimpor dari China.

Rupiah sebagai mata uang emerging market menjadi kurang menarik ketika ada masalah di perekonomian global.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular