Nasib BUMN Karya, Cuma Dapat Laba Tipis tapi Utang Menggunung

Feri Sandria, CNBC Indonesia
09 November 2021 17:30
Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Walikota Tangsel Airin, Presiden RI Joko Widodo di Peresmian Jalan Tol Kunciran-Serpong. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Walikota Tangsel Airin, Presiden RI Joko Widodo di Peresmian Jalan Tol Kunciran-Serpong. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jika ditotal, secara keseluruhan utang dari keempat BUMN karya tersebut mencapai Rp 210,16 triliun dengan 139,72 triliun merupakan utang jangka pendek.

Total aset yang dimiliki sedikit lebih baik atau sebesar Rp 262,26 triliun, dengan total kas atau setara kas yang dimiliki hanya sebesar Rp 17,34 triliun. Aset lancar gabungan keempat perusahaan adalah sejumlah Rp 138,54 atau lebih kecil dari gabungan kewajiban jangka pendek.

Total utang gabungan BUMN karya mencapai 4,03 kali jumlah liabilitas yang dimiliki, dengan kas atau setara kas hanya mampu menutup 12,41% dari total kewajiban perusahaan.

Kondisi keuangan dan likuiditas BUMN karya semester pertama 2021 (data dalam miliar rupiah)Foto: Feri Sandria
Kondisi keuangan dan likuiditas BUMN karya semester pertama 2021 (data dalam miliar rupiah)

Angka DER terbesar BUMN karya dicatatkan ADHI yang nilai utang usaha mencapai 5,97 ekuitas perusahaan. Adapun nilai DER terkecil emiten karya dicatatkan oleh WIKA (2,73x) dan dikuti oleh PTPP (2,92x). Waskita sendiri memiliku DER 5,75x dengan jumlah utang terbesar dari semuanya atau mencapai Rp 89,73 triliun.

Tingginya nilai DER ini dapat diartikan bahwa pertumbuhan perusahaan sebagian besar disokong oleh utang usaha. Semakin tinggi nilainya semakin besar perusahaan mendanai proyek dan bisnis yang dimiliki.

Selanjutnya jumlah utang yang besar tersebut tentu akan membuat pusing manajemen, utang jangka pendek merupakan yang paling krusial karena jika tidak diselesaikan dapat mengganggu kegiatan operasi.

Tingkat likuiditas juga dapat diukur dari kemampuan perusahaan membayar utang jangka pendek menggunakan aset lancar yang dimiliki. Dari keempat emiten tersebut hanya Waskita yang current rasio nya tidak mencapai 100%, artinya utang jangka pendek yang dimiliki perusahaan tersebut lebih kecil dari aset lancar atau dengan kata lain modal kerja perusahaan tercatat negatif. Artinya banyak proyek atau investasi yang dilakukan oleh Waskita dibebankan pada utang milik perusahaan.

Sementara itu jika harus melunasi utang jangka pendek hanya dari kas perusahaan emiten karya akan mengalami kesulitan, paling parah dialami ADHI yang kas perusahaan hanya mampu membayar 2,42% utang jangka pendek, disusul oleh Waskita (5,75%), sedangkan PP dan Wika memiliki kondisi lebih baik yang nilainya secara berurutan sebesar 17,99% dan 22,82%.

Dengan menghitung working capital turnover ratio terlihat bahwa emiten pelat merah di sektor konstruksi belum beroperasi dengan efektivitas tinggi, tercatat rasio terbesar dicatatkan PP yang mampu menghasilkan pendapatan 2,46 kali lebih besar dari modal kerja yang dimiliki.

Rendahnya rasio tersebut menunjukkan emiten konstruksi masih belum efisien dan efektif dalam  mengelola modal kerja demi menjaga kelancaran siklus operasi.

Saat ini memang terdapat banyak faktor eksternal seperti kondisi ekonomi dan pandemi yang membuat perusahaan kesusahan dalam mengelola utang dan menjaga likuiditas. Akan tetapi ke depannya perusahaan tentu perlu berusaha lebih keras lagi mencari jalan keluar demi mengelola perusahaan yang dapat memuaskan kreditor dan pemegang saham khususnya serta pemangku kepentingan lain secara umum.

(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular