Review

PPKM sudah Longgar, nih Rapor Saham Emiten Konsumer, Cuan?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
04 November 2021 09:15
Mall di Masa Pelonggaran PPKM
Foto: Suasana aktivitas di Pusat Perbelanjaan (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham emiten barang-barang konsumsi atau consumer goods cenderung dilepas investor pasar modal dalam sepekan belakangan, setelah sempat mengalami tren penguatan pada bulan lalu.

Di tengah kinerja yang kembali loyo ini, saham emiten barang konsumsi mendapatkan sentimen positif berupa pelonggaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di sejumlah daerah, seperti DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bogor, hingga Surabaya yang turun ke PPKM level 1.

Hal tersebut diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) 57/2021 tentang PPKM Level 3, Level 2, dan Level 1 Jawa Bali, seperti dikutip, Selasa (2/11/2021).

Berikut kinerja saham-saham consumer goods, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), per penutupan Rabu (3/11/2021).

Kinerja Saham Consumer Goods dalam Sepekan dan Sebulan

Kode Ticker

Harga Terakhir (Rp)

Sepekan

Sebulan

JPFA

1685

-5.60

-5.87

AMRT

1175

-5.24

-11.34

HMSP

1000

-4.76

-6.10

GGRM

32950

-4.49

1.00

AISA

220

-4.35

-5.98

INDF

6250

-3.47

-3.85

CPIN

6175

-3.14

0.41

GOOD

494

-2.18

15.96

UNVR

4450

-1.98

7.23

ROTI

1340

-1.47

1.52

MYOR

2360

-1.26

2.16

ICBP

8775

-0.85

-0.57

KINO

2100

0.00

-1.41

CAMP

308

2.67

4.05

ULTJ

1695

3.35

10.06

Sumber: Bursa Efek Indonesia (BEI) | Harga terakhir per 3 November 2021

Menurut data di atas, dari 15 saham yang diamati, 12 diantaranya melemah dalam sepekan. Sementara, dalam sebulan, 7 saham melemah dan 8 lainnya menguat.

Sebelumnya, saham-saham barang konsumsi, terutama saham berkapitalisasi pasar besar (big cap), menemukan momentum kenaikan setidaknya selama akhir September lalu hingga pertengahan Oktober. Setelah itu, saham-saham consumer goods cenderung terkoreksi.

Saham PT JAPFA Tbk (JPFA) menjadi yang paling melemah dalam sepekan, yakni sebesar 5,60% ke harga Rp 1.685/saham. Sementara, dalam sebulan saham ini ambles 5,87%.

Sebelum ini, saham JPFA sempat menyentuh posisi Rp 1.945/saham pada 18 Oktober lalu.

JPFA sendiri baru melaporkan kinerja keuangan sepanjang 9 bulan pertama tahun ini dengan hasil yang ciamik.

Menurut laporan keuangan perusahaan di BEI, laba bersih JPFA melesat 486,05% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp 1,51 triliun per 30 September 2021. Kenaikan laba bersih tersebut seiring tumbuhnya pendapatan dan penjualan sebesar 23,11% secara yoy menjadi Rp 32,80 triliun per akhir kuartal III tahun ini.

Duo saham raksasa emiten rokok, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) juga sama-sama terbenam baik selama sepekan maupun sebulan terakhir.

Saham HMSP turun 4,76% dalam sepekan dan melorot 6,10% dalam 30 hari terakhir, usai sempat menyentuh level tertinggi setidaknya dalam 3 bulan terakhir di Rp 1.160/saham pada 13 Oktober 2021.

Sementara, saham GGRM terkoreksi 4,49% dalam seminggu, tetapi masih naik 1,00% dalam sebulan. Saham GGRM juga sempat menembus level tertinggi dalam 3 bulan belakangan pada 21 Oktober lalu di harga Rp 35.200/saham.

Adapun kinerja kedua emiten tersebut masih tertekan hingga akhir September tahun ini.

HMSP mencatatkan laba bersih senilai Rp 5,55 triliun sepanjang tahun ini yang berakhir pada September 2021 lalu atau kuartal III-2021.

Laba bersih ini turun 19,62% secara tahunan dari Rp 6,91 triliun di periode yang sama tahun sebelumnya.

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, nilai laba ini turun kendati pendapatan perusahaan bertambah menjadi Rp 72,51 triliun atau tumbuh 6,99% YoY dari Rp 67,78 miliar di akhir kuartal ketiga 2020 lalu.

Setali tiga uang, GGRM juga membukukan penurunan laba bersih 26,78% secara yoy menjadi Rp 4,13 triliun pada periode kuartal ketiga tahun ini atau per September 2021, dari periode yang sama di tahun sebelumnya Rp 5,65 triliun.

Pada periode Januari sampai dengan 30 September 2021, perseroan mencatatkan kenaikan pendapatan sebesar 10,43% menjadi Rp 92,07 triliun dari sebelumnya Rp 83,38 triliun.

Tidak ketinggalan, saham emiten produk perawatan diri UNVR juga turun 1,98% dalam seminggu terakhir. Namun, dalam sebulan saham UNVR masih tumbuh 7,23%.

Sebelumnya, saham UNVR sejatinya sedang mengalami fase penurunan (downtrend) selama beberapa tahun belakangan hingga sempat di level terendah setidaknya dalam 9 tahun terakhir di harga Rp 3.820/saham pada penutupan pasar 28 September 2021.

Namun, semenjak akhir September lalu saham UNVR bangkit dan sempat berhasil menembus harga Rp 5.325/saham, tertinggi selama setidaknya 4 bulan terakhir.

NEXT: Sentimen Lain untuk Sektor Consumer Goods

Kabar terbaru, UNVR membukukan laba bersih selama periode 9 bulan pertama tahun ini sebesar Rp 4,37 triliun.

Perolehan tersebut tercatat mengalami penurunan 19,31% dari periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp 5,43 triliun.

Pada Januari sampai dengan September 2021, perseroan mencatatkan penjualan bersih senilai Rp 30,02 triliun atau turun 7,47% dari tahun sebelumnya Rp 32,45 triliun.

Dari ranah makro ekonomi, sentimen positif yang turut mendorong saham-saham barang konsumen akhir-akhir ini adalah soal mulai membaiknya persepsi atau keyakinan konsumen dalam melihat ekonomi RI seiring adanya pelonggaran kebijakan mobilitas publik di tengah pagebluk Covid-19.

Menurut data Bank Indonesia (BI), Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan September 2021 yang juga mengalami kenaikan. BI mencatat IKK September 2021 sebesar 95,5, meningkat dari 77,3 pada bulan sebelumnya.

"Ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi mendatang terpantau menguat dan berada pada area optimis (>100). Penguatan ekspektasi konsumen didukung oleh kenaikan pada seluruh aspek pembentuknya, yaitu ekspektasi penghasilan, ekspektasi ketersediaan lapangan kerja, dan ekspektasi kegiatan usaha," jelas BI, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (8/10).

Kenaikan IKK juga terjadi sejalan dengan pelonggaran pembatasan aktivitas publik. Perbaikan sentimen konsumen juga menjadi katalis positif untuk IHSG.

Tidak ketinggalan pula, soal efek window dressing yang mulai terasa sejak awal Oktober.

Kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bulan pertama kuartal terakhir sendiri sering diatribusikan kepada aksi beli para investor yang 'curi start' dalam mengoleksi saham-saham unggulan (blue chip) atau berkapitalisasi pasar besar (big cap) yang biasanya pada akhir tahun terkena efek window dressing.

Window dressing sendiri bisa dibilang sebagai suatu strategi memoles laporan keuangan bagi emiten maupun portofolio yang dimiliki oleh fund manager sehingga terlihat lebih cantik di mata investor.

Window dressing sendiri biasanya terjadi di penghujung tahun. Menurut data olahan Tim Riset CNBC Indonesia, sejak 2001 sampai 2020, IHSG selalu menguat selama Desember.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular