
Hati-hati! Ini Risiko Mengintai Bank Digital di Masa Depan

Kedua, terkait risiko investasi teknologi informasi yang tidak sesuai strategi bisnis. Saat ini, digitalisasi adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dalam upaya transformasi digital perbankan.
Untuk menopang digitalisasi tersebut, bank tentu perlu mengalokasikan belanja modal dalam jumlah besar untuk penyediaan infrastruktur teknologi informasi.
Namun, seperti catatan OJK, transformasi menjadi bank digital tidak menjamin profitabilitas suatu bank jika tidak disertai dengan business plan yang jelas dan manajemen risiko yang baik.
Karenanya, mengingat besarnya belanja modal untuk teknologi informasi maka Bank perlu menyusun strategi yang tepat dalam mengembangkan teknologi informasi dengan mempertimbangkan cost and benefit.
Apabila rencana strategis teknologi informasi dan strategi bisnis bank tidak berjalan secara selaras, nantinya akan berdampak pada ketidaksesuaian produk dan layanan bank dengan kebutuhan dan ekspektasi pasar sehingga bisa berujung pada kegagalan.
Kasus bank digital di Britania Raya, seperti Bό dan Monzo, bisa memberikan pelajaran soal pentingnya keselarasan antara strategi teknologi informasi dengan strategi bisnis Bank.
Mengacu pada penjelasan OJK, Bό ditutup setelah 6 bulan diluncurkan dan hanya berhasil merekrut sekitar 11.000 pengguna karena produk dan layanan yang ditawarkan tidak memiliki uniqe selling point untuk membedakan dengan produk dan layanan serupa yang ditawarkan oleh Bank Digital lain.
Sementara, Monzo mengalami kerugian yang luar biasa karena mengembangkan produk akun premium yang tidak mampu menghasilkan pendapatan sehingga menimbulkan kerugian sebesar US$131 juta.
Biang kerok kerugian lainnya dari Monzo soal adanya ekspansi besar ke pasar Amerika Serikat yang tengah mengalami kontraksi hampir 33% pada kuartal kedua tahun 2020 sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Alhasil, agar tetap bertahan Monzo bergantung pada monetisasi 4,3 juta nasabah yang sudah dimilikinya dibandingkan memperluas pasar baru.
Ketiga, adanya risiko penyalahgunaan teknologi artificial intelligence (kecerdasan buatan).
Di sektor perbankan, artificial intelligence telah dimanfaatkan pada beberapa bidang antara lain otomatisasi beberapa pekerjaan (mendeteksi fraud, transaksi money laundering, atau decision engine proses pengajuan kartu kredit).
Kendati demikian, potensi penyalahgunaan artificial intelligence yang dapat merugikan konsumen Bank juga terbilang tinggi.
Beberapa risiko artificial intelligence yang teridentifikasi antara lain bias algoritma, deepfakes, dan kemampuan membuat keputusan sendiri.
Kita ambil contoh deepfakes, yang dapat dipergunakan untuk profil seseorang yang tampak sangat nyata.
Deepfakes dapat disalahgunakan untuk melanggar privasi konsumen dan melakukan pembobolan akun konsumen terutama apabila teknologi informasi menggunakan sistem pengenalan wajah (face recognition) sebagai metode autentifikasi.
Keempat, mengenai risiko serangan siber. Serangan siber merupakan salah satu ancaman yang perlu diwaspadai di era industri 4.0 ini. (Data di bawah ini).
Data dari Pusat Operasi Keamanan Siber Nasional BSSN yang disitir OJK menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2020 terjadi 495 juta serangan siber atau naik 5 kali lipat dibanding tahun sebelumnya sebesar 228 juta serangan siber.
Mengacu pada Laporan Penerapan Strategi Anti Fraud periode Semester I 2020 - Semester I 2021, terdapat 7.087 laporan kejadian fraud yang dilakukan dengan menggunakan siber, dimana 45% kejadian fraud tersebut dilaporkan pada Semester II 2020. Dari jumlah tersebut, mayoritas kejadian fraud dengan menggunakan siber (71,6%) dilaporkan terjadi pada Bank Umum milik Pemerintah, disusul oleh Bank Swasta (28%), dan Bank Asing (0,3%). Jenis fraud dengan penggunaan siber yang memiliki persentase terbesar adalah jenis Tindakan Lain (48%), yang diikuti dengan Kecurangan (42%).
Jika ditinjau dari pihak yang dirugikan, didominasi oleh Bank dengan 77% dari total kejadian, 20% dialami oleh Nasabah, dan sisanya dialami oleh Pihak Lain sebesar 3%
Keempat, soal risiko alih daya (outsourcing risk). Bank acapkali mengalihdayakan teknologi informasi kepada pihak ketiga. Namun demikian, kegiatan alih daya (outsourcing) berpotensi meningkatkan risiko bagi perbankan.
OJK mencatat, beberapa potensi risiko yang dapat timbul dari kegiatan alih daya antara lain risiko strategis, risiko operasional, risiko regulasi dan kepatuhan, risiko reputasi, serta risiko konsentrasi.
Kelima, mengenai kesiapan organisasi dalam mendukung transformasi digital (talent, leader digital, budaya, desain organisasi).
Dalam konteks transformasi digital perbankan saat ini, pemanfaatan teknologi canggih dalam proses bisnis bank perlu diimbangi oleh transformasi atas tatanan institusi secara keseluruhan, termasuk dari segi manajemen, struktur, kelembagaan, dan kualitas sumber daya manusia
Keenam, mengenai inklusi keuangan bagi penyandang disabilitas.
Hasil studi yang dilakukan Bappenas, OJK, KOMPAK, dan DEFINIT (2017) menunjukkan bahwa sebanyak 84,47% lembaga jasa keuangan di tingkat pusat tidak memiliki kebijakan khusus terkait pelayanan keuangan kepada penyandang disabilitas.
Selain itu, sebanyak 91,26% lembaga jasa keuangan di tingkat pusat tidak memiliki Petunjuk Teknis Operasional (PTO) khusus terkait pelayanan keuangan kepada penyandang disabilitas.
Adapun di tingkat daerah, studi tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 88,57% lembaga jasa keuangan tidak memiliki kebijakan khusus terkait pelayanan keuangan kepada penyandang disabilitas.
Ketujuh, literasi keuangan yang masih rendah. Menurut OJK, tingkat literasi keuangan digital konsumen bank yang rendah bisa menjadi salah satu faktor pemicu kejahatan siber.
Berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri yang disitir OJK, terdapat 2.259 laporan masyarakat tentang kejahatan digital pada Januari-September 2020.
Sebanyak 18 aduan di antaranya tentang peretasan sistem elektronik, 649 penipuan daring, 39 pencurian data atau identitas, dan 71 manipulasi data (CISSREc, 2020).
Berdasarkan laporan tersebut terlihat bahwa penipuan daring menjadi aduan tertinggi dan hal ini menunjukkan rendahnya pemahaman masyarakat atas risiko transaksi digital.
Kedelapan, berkaitan dengan infrastruktur teknologi informasi yang belum merata. Menurut penjelasan OJK, pembangunan 22.000 titik belum beroperasi sampai dengan Satelit Satria beroperasi. (Grafik di bawah ini).
Belum lagi, sebagian besar wilayah Indonesia--kecuali Sumatra, Jawa, dan Bali--masih dalam rencana pengembangan infrastruktur teknologi informasi.
Kesembilan atau terakhir, mengenai dukungan kerangka regulasi perbankan. Pihak regulator pun memiliki pekerjaan rumah terkait pemutakhiran peraturan untuk mengakomodasi perkembangan industri di era digital saat ini.
Dalam hal ini, regulator perlu mengeluarkan kebijakan yang dapat mendorong pengembangan layanan berbasis digital secara cepat, seperti pemutakhiran kebijakan dan regulasi terkait produk dan kelembagaan dalam upaya transformasi digital perbankan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf)[Gambas:Video CNBC]
