
Terungkap! Deretan Kabar Buruk Biang Kerok IHSG Nyungsep

Selain dari dalam negeri, investor juga menyimak perkembangan kasus Covid-19 di Singapura yang semakin meninggi.
Kasus harian Covid-19 Singapura kini menembus rekor baru. Pada Rabu (27/10), negeri itu mencatat 5.000 kasus tambahan untuk pertama kalinya.
Mengutip Kementerian Kesehatan (MOH), kemarin ada 5.324 kasus baru dengan tambahan 10 kematian. Ini merupakan rekor sejak gelombang baru Covid-19 menyerang negeri itu akhir Agustus 2021.
Angka kasus baru ini juga naik signifikan dibanding Selasa (26/10/2021), di mana Singapura mencatat 3.277 kasus. Hingga hari yang sama, merujuk data John Hopkins University (JHU), rata-rata tujuh hari kasus Covid-19 Singapura adalah 3.481.
Tidak hanya Singapura, Negeri Tirai Bambu China juga sedang mengalami tren kenaikan virus Corona. Hal ini juga turut menyita perhatian investor global saat ini.
Dalam sepekan terakhir, rata-rata pasien positif bertambah 44 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata tujuh hari sebelumnya yaitu 28 orang saban harinya.
Secara nominal, angka penambahan kasus di Negeri Tirai Bambu memang kecil. Namun pemerintah China menganut kebijakan tiada toleransi untuk urusan Covid-19 (zero Covid-19 strategy).
Jadi walau angka kecil, tren kenaikan sudah cukup buat pemerintah memberlakukan lockdown.
Hal tersebut tentunya membuat sentimen pelaku pasar cukup memburuk, mengingat China merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.
Selain itu, sektor properti China juga memberikan kecemasan. Satu lagi perusahaan properti kesulitan membayar kewajibannya, menyusul Evergrande Group, Fantasia Holdings dan Sinic Holdings, yakni Modern Land.
Reuters mengabarkan bahwa emiten bursa Hong Kong tersebut telah melewatkan pembayaran kupon obligasi, menambah kekhawatiran tentang dampak yang lebih luas dari krisis utang di sektor properti China.
Pekan lalu Modern Land telah menyatakan akan menunda pembayaran bunga obligasi yang jatuh tempo Senin, 25 Oktober kemarin dan akan membayar sebagian darinya senilai US$ 250 juta atau setara dengan Rp 3,62 triliun dalam 3 bulan ke depan.
Reli Harga Komoditas Mengendur
Tren kenaikan harga komoditas cenderung mengendur akhir-akhir ini, seiring investor melakukan aksi ambil untung. Loyonya harga komoditas, khususnya batu bara, ini terjadi menjelang konferensi iklim di kota Glasgow, Inggris.
Forum itu mungkin merupakan kesempatan terbaik dunia yang tersisa untuk membatasi pemanasan global pada batas atas 1,5-2 derajat Celcius yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.
Sebelumnya, IHSG turut terungkit sepanjang Oktober ini hingga menyentuh level psikologis 6.600 seiring naiknya harga komoditas yang berimbas pada melejitnya saham-saham emiten produsen komoditas tersebut, seperti batu bara, minyak & gas, hingga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Ambil contoh, harga batu bara anjlok. Faktor ambil untung (profit taking) dan kebijakan pemerintah China meredam laju harga si batu hitam.
Kemarin, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) tercatat US$ 183,15/ton. Ambles 8,88% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Setidaknya ada dua faktor yang membuat harga batu bara anjlok. Pertama adalah profit taking.
Maklum, harga komoditas ini sudah melonjak gila-gilaan. Dalam sebulan terakhir, harga batu bara masih membukukan kenaikan 9,08% secara point-to-point. Sejak akhir 2020 (year-to-date), harga meroket 177,45%.
Kemudian, Harga CPO ambles pada perdagangan pagi jelang siang hari ini.
Pada Kamis (28/10) pukul 10:08 WIB, harga kontrak berjangka CPO di Bursa Malaysia tercatat MYR 4.857/ton. Anjlok 2,19% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sepertinya aksi ambil untung masih menjadi latar belakang koreksi harga CPO. Meski hari ini turun, tetapi harga CPO masih membukukan kenaikan 9,02% dalam sebulan terakhir. Sejak akhir 2020 (year-to-date), harga meroket 34,92%.
Kabar-kabar yang kurang mengenakkan di atas tampaknya turut menjadi sentimen negatif dan memperberat langkah IHSG untuk menembus level psikologis 6.700 akhir-akhir ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
