The Fed Tak Akan Naikkan Suku Bunga Tahun Depan, RI Aman?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 October 2021 17:55
Pengungkapan kejahatan UANG PALSU
Foto: Pengungkapan kejahatan uang palsu (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Tapering pernah terjadi di tahun 2013 yang memicu gejolak di pasar finansial global yang disebut taper tantrum. Indonesia juga terkena dampaknya, bahkan cukup parah. Terjadi capital outflow yang cukup besar dari pasar obligasi Indonesia, rupiah pun merosot.

Sejak The Fed mengumumkan tapering pada Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Namun, saat ini kondisinya berbeda, fundamental Indonesia sudah lebih baik, sehingga lebih siap menghadapi normalisasi kebijakan The Fed. Rupiah memang diprediksi masih akan melemah, tetapi tidak akan separah 2013.

Hal ini diungkapkan Chatib Basri, Ekonom Senior yang juga merupakan Mantan Menteri Keuangan saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Jumat (27/8/2021).

"Perkiraan saya karena tapering kalau toh rupiah melemah, itu tidak akan setajam 2013, 2015 atau 2018. Tapi kalau ada kasus lain seperti Covid-19 yang melonjak mungkin bisa di atas 15.000," jelasnya.

Perbedaan paling mencolok antara tahun 2013 dan tahun ini adalah porsi asing di pasar obligasi dalam negeri. Pada 2013 lalu porsi asing mencapai 40%, sehingga ketika ada pergerakan keluar masuk mempengaruhi nilai tukar hingga suku bunga acuan.

"Satu hal, outflow tahun lalu sudah besar, itu belum sepenuhnya capital-nya balik. Itu kelihatan dulu foreign holder di bond turun 32% ke 23%. Jadi ini berita bagus, kalau porsi asing makin kecil, efek ke rupiah juga terbatas," imbuhnya.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) porsi kepemilikan asing di obligasi bahkan lebih rendah lagi. Per 19 Oktober lalu, investor asing memeang obligasi Indonesia senila Rp 985,85 triliun, atau setara 21,6% dari total obligasi. 

Selain itu, Bank Indonesia (BI) punya amunisi yang cukup besar guna menstabilkan rupiah ketika mengalami gejolak. Cadangan devisa per akhir bulan September sebesar US$ 146,9 miliar yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.

Kemudian, jika The Fed menaikkan suku bunga di tahun 2023, artinya BI akan ahead the curve.

Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.

"Kebijakan suku bunga acuan akan ditempuh pre-emptif dan ahead the curve untuk stabilisasi nilai tukar di samping konsisten jaga inflasi agar terkendali,' papar Perry saat menaikkan suku bunga pada Mei 2018.

Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral AS (The Fed).

Sikap tersebut kembali ditunjukkan Perry pagi ini yang membuka peluang kenaikan suku bunga di akhir 2022.

Sejak pandemi virus corona mendera Indonesia tahun lalu, BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 basis poin (bps). Kini BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di 3,5%, terendah sepanjang sejarah.

Namun MH Thamrin sudah mulai memikirkan mengenai kapan mengakhiri kebijakan moneter ekspansif. Jika data yang ada mendukung, maka bukan tidak mungkin suku bunga mulai dinaikkan pada akhir tahun depan.

"Sudah ada rencana exit policy dari BI dengan mengurangi likuiditas sedikit-sedikit. Baru kemungkinan akhir 2022 masalah suku bunga. Tentu saja ada data yang harus kita lihat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (24/8/2021).

Dengan proyeksi tersebut, BI berpeluang lebih dulu menaikkan suku bunga ketimbang The Fed. Sehingga imbal hasil (yield) di dalam negeri masih akan menarik bagi investor asing.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular