The Fed Tak Akan Naikkan Suku Bunga Tahun Depan, RI Aman?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 October 2021 17:55
Ketua Federal Reserve Board Jerome Powell
Foto: Ketua Federal Reserve Board Jerome Powell (REUTERS/Yuri Gripas)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) sebentar lagi akan mulai menormalisasi kebijakan moneternya. Pertama, program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan akan mulai dikurang perlahan (tapering). Setelah selesai, maka tahap selanjutnya adalah menaikkan suku bunga.

Tapering sudah pasti akan dilakukan tahun ini, entah bulan depan atau di bulan Desember. Pasar memperkirakan The Fed akan mengurangi nilai QE sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya, sehingga akan membutuhkan waktu 8 bulan hingga QE akhirnya nol.

Sementara untuk suku bunga, spekulasi berkembang akan dinaikkan pada bulan September tahun depan, sebab Amerika Serikat sedang mengalami inflasi tinggi. Bukan sekedar spekulasi, para anggota The Fed juga membuka peluang kenaikan suku bunga di tahun depan.

idrFoto: Fed Dot Plot 

Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.

Dalam dot plot yang terbaru, sebanyak 9 orang dari 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.

Namun, survei terbaru dari Reuters menunjukkan mayoritas ekonom memprediksi bank sentral pimpinan Jerome Powell ini baru akan menaikkan suku bunga di tahun 2023.
Reuters mengadakan survei terhadap 67 ekonom pada periode 12 sampai 18 Oktober, hasilnya sebanyak 40 orang memprediksi suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.

idrFoto: Refinitiv

Jika dipecah, sebanyak 29% memprediksi suku bunga akan dinaikkan di kuartal I-2023, kemudian 18% di kuartal II-2023, dan berturut-turut di kuartal berikutnya sebanyak 1% dan 11%.

Sementara itu, sebanyak 28% dari 67 ekonom melihat suku bunga bisa dinaikkan di kuartal IV-2022, dan 11% di kuartal III-2022.

"Kami tetap memperkirakan The Fed masih akan bersabar. Kami melihat suku bunga tidak akan dinaikkan hingga akhir 2023, tetapi waktu tepatnya akan sangat tergantung dair rilis data ekonomi," kata Jim O'Sullivan, kepala strategi makro di TD Securities, sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (20/10).

Inflasi di AS yang sangat tinggi menjadi perhatian. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) bahkan memperingatkan bank sentral di berbagai negara untuk bersiap menaikkan suku bunga agar inflasi tidak lepas kendali.

Inflasi di Amerika Serikat yang dilihat dari consumer price index (CPI) berada di level tertinggi dalam 13 tahun terakhir, sebesar 5,4% year-on-year (YoY).

Sementara jika dilihat dari personal consumption expenditure (PCE) berada di level tertinggi dalam 3 dekade terakhir. Di bulan Agustus, inflasi PCE Inti tumbuh 3,6% YoY.
O'Sullivan mengatakan inflasi inti masih akan naik, tetapi tidak akan membuat The Fed menaikkan suku bunga.

"Kami sedikit menaikkan proyeksi inflasi inti, yang merefleksikan ketidakseimbangan antara supply dengan demand. Ya inflasi untuk tahun 2021 masih akan naik, tetapi kebijakan The Fed harus sesuai dengan arah perekonomian," kata O'Sullivan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Tak Seperti 2013, RI Kini Siap Hadapi Normalisasi Kebijakan The Fed?

Tapering pernah terjadi di tahun 2013 yang memicu gejolak di pasar finansial global yang disebut taper tantrum. Indonesia juga terkena dampaknya, bahkan cukup parah. Terjadi capital outflow yang cukup besar dari pasar obligasi Indonesia, rupiah pun merosot.

Sejak The Fed mengumumkan tapering pada Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Namun, saat ini kondisinya berbeda, fundamental Indonesia sudah lebih baik, sehingga lebih siap menghadapi normalisasi kebijakan The Fed. Rupiah memang diprediksi masih akan melemah, tetapi tidak akan separah 2013.

Hal ini diungkapkan Chatib Basri, Ekonom Senior yang juga merupakan Mantan Menteri Keuangan saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Jumat (27/8/2021).

"Perkiraan saya karena tapering kalau toh rupiah melemah, itu tidak akan setajam 2013, 2015 atau 2018. Tapi kalau ada kasus lain seperti Covid-19 yang melonjak mungkin bisa di atas 15.000," jelasnya.

Perbedaan paling mencolok antara tahun 2013 dan tahun ini adalah porsi asing di pasar obligasi dalam negeri. Pada 2013 lalu porsi asing mencapai 40%, sehingga ketika ada pergerakan keluar masuk mempengaruhi nilai tukar hingga suku bunga acuan.

"Satu hal, outflow tahun lalu sudah besar, itu belum sepenuhnya capital-nya balik. Itu kelihatan dulu foreign holder di bond turun 32% ke 23%. Jadi ini berita bagus, kalau porsi asing makin kecil, efek ke rupiah juga terbatas," imbuhnya.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) porsi kepemilikan asing di obligasi bahkan lebih rendah lagi. Per 19 Oktober lalu, investor asing memeang obligasi Indonesia senila Rp 985,85 triliun, atau setara 21,6% dari total obligasi. 

Selain itu, Bank Indonesia (BI) punya amunisi yang cukup besar guna menstabilkan rupiah ketika mengalami gejolak. Cadangan devisa per akhir bulan September sebesar US$ 146,9 miliar yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.

Kemudian, jika The Fed menaikkan suku bunga di tahun 2023, artinya BI akan ahead the curve.

Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.

"Kebijakan suku bunga acuan akan ditempuh pre-emptif dan ahead the curve untuk stabilisasi nilai tukar di samping konsisten jaga inflasi agar terkendali,' papar Perry saat menaikkan suku bunga pada Mei 2018.

Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral AS (The Fed).

Sikap tersebut kembali ditunjukkan Perry pagi ini yang membuka peluang kenaikan suku bunga di akhir 2022.

Sejak pandemi virus corona mendera Indonesia tahun lalu, BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 basis poin (bps). Kini BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di 3,5%, terendah sepanjang sejarah.

Namun MH Thamrin sudah mulai memikirkan mengenai kapan mengakhiri kebijakan moneter ekspansif. Jika data yang ada mendukung, maka bukan tidak mungkin suku bunga mulai dinaikkan pada akhir tahun depan.

"Sudah ada rencana exit policy dari BI dengan mengurangi likuiditas sedikit-sedikit. Baru kemungkinan akhir 2022 masalah suku bunga. Tentu saja ada data yang harus kita lihat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (24/8/2021).

Dengan proyeksi tersebut, BI berpeluang lebih dulu menaikkan suku bunga ketimbang The Fed. Sehingga imbal hasil (yield) di dalam negeri masih akan menarik bagi investor asing.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tapering Bikin Geger & Wall Street Rontok, Bahaya untuk IHSG

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular