Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan kekesalannya terhadap persoalan tata kelola perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor pangan, khususnya gula. Hal itu lantaran BUMN tersebut tidak mengikuti arahan dari Jokowi sejak 7 tahun lalu.
"Untuk BUMN di sektor pangan, gula misalnya. 7 tahun lalu saya datang ke pabrik gula, lah mesinnya kaya gitu, gimana mau punya rendemen yang tinggi. Gak mungkin," katanya di depan bos-bos BUMN, dalam acara yang ditayangkan Youtube Sekretariat Presiden, dikutip Minggu (17/10/2021).
Rendemen adalah nilai yang dihasilkan satu komoditas setelah proses penggilingan atau yang hasil dari ekstraksi. Artinya Jokowi menilai nilai dari kualitas dan kuantitas gula di Indonesia masih rendah.
Mantan Gubernur DKI itu menyebut salah satu permasalahannya ada pada mesin yang sudah ketinggalan zaman. Bahkan sejak lama dia sudah meminta ada penggantian mesin yang lebih canggih supaya bisa mengejar hasil rendemen yang baik.
"Saya perintahkan ganti mesinnya, tapi netes satu pun ndak. Bisa ini saya kejar kalau caranya seperti itu diulang-ulang," katanya.
Menurut Jokowi ketahanan pangan ini sangat penting, melihat ada perubahan iklim yang terjadi. Bahkan dari beberapa kajian menurut dia akan terjadi krisis pangan, sehingga menjadi kesempatan Indonesia karena masih memiliki lahan yang luas.
Dia mengingatkan untuk perusahaan BUMN yang ingin cepat maju, harus cepat mencari partner dan berinvestasi yang besar, sehingga tidak hanya menghasilkan perusahaan BUMN dengan skala kecil.
"Buat yang gede sekalian dan berpartner," katanya.
NEXT: Apa Kata Erick Thohir?
Persoalan BUMN gula sebetulnya sudah disampaikan Menteri BUMN Erick Thohir dalam sebuah webinar. Menurut Erick, banyak terjadi permainan di industri gula dalam negeri. Ini menjadi salah satu penyebab Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi.
Sebab itu, guna mencegah ini, dia menyebut salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian BUMN adalah dengan mendorong pendirian SugarCo di bawah holding BUMN perkebunan, PT Perkebunan Nusantara (Persero) III/PTPN III.
"Nah hal-hal ini juga akan diikuti nanti dengan focusing kepada SugarCo, gula yang selama ini juga gula kita impor terus yang untuk konsumsi. Bahkan ada permainan di sana sini," kata Erick dalam webinar virtual, Selasa (28/9/2021).
Refocusing bisnis yang dilakukan oleh PTPN juga merupakan bagian dari restrukturisasi bisnis secara menyeluruh, setelah sebelumnya perusahaan ini dijadikan satu di bawah holding tersebut.
Selain pada bisnis gula, kata Erick, bisnis PTPN juga akan difokuskan pada komoditas sawit, terutama dalam kondisi harga yang saat ini sedang tinggi dinilai akan memberikan kontribusi kinerja yang baik bagi perusahaan.
"Refocusing produk kepada sawit salah satunya, dan tentu ini juga harga sawit lagi bagus akhirnya dengan restrukturisasi," imbuhnya.
Adapun SugarCo ini merupakan pemisahan entitas (spin off) bisnis produksi gula milik PTPN dengan membentuk perusahaan baru dengan nama PT Sinergi Gula Nusantara (SGN).
Perusahaan ini ditargetkan bisa mendapatkan investor dari lini bisnis yang sama di tahun ini dengan nilai investasi mencapai Rp 23 triliun. Saham PTPN di SugarCo 51%, sementara 49% lainnya akan dimiliki oleh investor.
Nantinya SugarCo akan memiliki 35 pabrik gula yang tersebar di Indonesia. Keseluruhan pabrik tersebut akan diperoleh dari 7 PTPN yang memiliki pabrik gula saat ini.
"[Bisnis gula] tujuh PTPN itu kita jadikan satu entitas, jadi namanya SugarCo itu membawahi PG [perusahaan gula]. Jadi dari 40 PG nantinya yang kita kolaborasikan sekitar 35 PG kita akan kolaborasi dengan investor," kata Mohammad Abdul Gani, Direktur Utama PTPN III, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Senin (21/6/2021).
Adapun tujuh lini bisnis gula itu ada di PTPN II, PTPN VII (PT BCAN), PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII (PT IGG), dan PTPN XIV.