
AS, Eropa, China Dihantam Krisis Energi, Nasib RI Bagaimana?

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis energi sedang melanda sejumlah negara, baik di Eropa, China, maupun India. Negara-negara yang kini dilanda krisis energi mayoritas mengalami krisis listrik, akibat dari melonjaknya harga gas alam dunia dan faktor lainnya dalam beberapa waktu terakhir.
Di China, Krisis pasokan listrik yang sedang terjadi memicu pemadaman listrik untuk rumah tangga dan memaksa pabrik untuk memangkas produksi.
Kondisi tersebut mengancam akan memperlambat kegiatan ekonomi raksasa negeri Tirai Bambu serta memberi tekanan terhadap rantai pasokan global.
Dilaporkan oleh Global Times, media yang dikendalikan pemerintah China, perusahaan-perusahaan di kota industri telah diberitahu untuk membatasi konsumsi energi demi mengurangi permintaan listrik.
Surat kabar yang dikelola pemerintah tersebut mengabarkan bahwa penjatahan listrik di provinsi Heilongjiang, Jilin dan Liaoning telah mengakibatkan gangguan besar pada kehidupan sehari-hari orang dan operasi bisnis dengan pemadaman listrik mendadak dan belum pernah terjadi sebelumnya melanda tiga provinsi timur laut pada akhir September lalu.
Selain itu kekurangan listrik juga melanda provinsi selatan Guangdong, pusat industri dan pengiriman utama sehingga banyak perusahaan berusaha mengurangi permintaan dengan bekerja dua atau tiga hari per minggu.
Krisis energi menambah daftar panjang gangguan rantai pasokan global yang telah terjadi secara besar-besaran tahun ini, mulai dari kekurangan peti kemas hingga banjir dan infeksi Covid-19 yang memicu penutupan pelabuhan.
Konsultan riset ekonomi yang berbasis di London, Capital Economics mencatat bahwa jumlah kapal yang antre di luar pelabuhan China telah melonjak lagi dalam beberapa pekan terakhir.
Lembaga ini menyebut kondisi tersebut "mengkhawatirkan."
Menurut perusahaan riset tersebut, rata-rata jumlah kapal yang antre dalam 7 hari pada 30 September mencapai 206, dibandingkan 82 kapal pada 2019, sebelum pandemi.
Julian Evans-Pritchard, ekonom senior China di perusahaan riset tersebut, mengatakan bahwa penjatahan listrik di sepanjang rantai pasokan dapat mengganggu dan memperparah kemampuan pelabuhan untuk mengirimkan pesanan.
Pemasok internasional utama bersiap untuk menghadapi dampak terhadap bisnis akibat penundaan yang disebabkan oleh kekurangan dan penundaan pengiriman global.
Negara-negara yang komoditas impornya bergantung pada China tentu akan terdampak akibat krisis yang sedang terjadi di negara tersebut.
Selain China yang mengalami krisis energi dan memaksa terjadinya pemadaman listrik di banyak pabrik, Eropa juga sedang bergulat dengan kekurangan gas besar-besaran.
Apa yang terjadi di kedua wilayah tersebut merupakan ancaman besar yang dapat secara luas mengganggu rantai pasokan secara global, menurut pengamat dan analis industri.
Beberapa pabrik di China dan Eropa untuk sementara ditutup atau setidaknya mengurangi produksi karena krisis energi.
Lebih dari 60 perusahaan di China telah mengalami gangguan terkait listrik sejauh ini, dan daftarnya kemungkinan akan bertambah, kata Jena Santoro dari Everstream Analytics, dilansir CNBC International, dikutip Kamis ini (14/10).
"Dampak terbesar akhirnya akan dirasakan oleh konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi karena harga energi yang meningkat akan mengalir ke dalam peningkatan biaya produksi," kata Dawn Tiura, Presiden Grup Industri Sourcing.
Sementara di India, pemerintah setempat telah meminta kepada produsen listrik untuk mengimpor hingga 10% dari kebutuhan batu bara mereka.
Hal ini dilakukan di tengah kekurangan bahan bakar di India dan telah memperingatkan negara bagian bahwa perusahaan akan membatasi pasokan listrik mereka jika mereka kedapatan menjual listrik di bursa listrik untuk menguangkan kembali disaat harganya melonjak.
India merupakan produsen batu bara terbesar kedua di dunia, dengan cadangan terbesar keempat di dunia. Tetapi, melonjaknya permintaan listrik yang telah melampaui tingkat pra-pandemi membuat pasokan batu bara India yang dikelola negara tidak lagi cukup untuk memenuhi permintaan tersebut.
Pada Selasa (12/10/2021) kemarin, Kementerian Tenaga Listrik India meminta perusahaan atau industri yang bergantung pada batu bara lokal, untuk mengimpor hingga 10% dari kebutuhan batu bara untuk dicampur dengan kadar domestik untuk memenuhi peningkatan permintaan listrik.
Lebih dari setengah dari 135 pembangkit listrik tenaga batu bara India memasok sekitar 70% listrik di India, saat ini memiliki stok bahan bakar yang akan bertahan kurang lebih tiga hari.
Halaman Selanjutnya >>> Bagaimana Nasib Indonesia?
Salah satu dampak dari krisis energi yang menerjang beberapa negara dengan mayoritas negara-negara maju adalah terkait permasalahan rantai pasokan akibat dari krisis energi tersebut.
Indonesia merupakan negara yang masih mengimpor bahan baku kimia, peralatan elektrik dan mekanik hingga besi dan baja. Hal ini tentunya menjadi dampak negatif bagi RI jika masalah rantai pasokan belum pulih dalam waktu cepat.
Selain itu, sektor yang berpotensi terdampak akibat gangguan rantai pasok ini yakni industri tekstil dan farmasi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta menyebut sekitar 50% barang tekstil di dalam negeri sudah dikuasai oleh barang impor dengan China sebagai penyumbang terbesar. Barang tekstil dari negeri tirai bambu itu mendominasi dengan persentase sekitar 40% dari keseluruhan pasar di Indonesia.
Meski demikian kondisi tersebut dapat menguntungkan bagi para produsen lokal apabila pengiriman tekstil impor dari China tersendat, apalagi ketika melihat pasar dalam negeri sudah mulai terlihat akan bangkit.
Selanjutnya sektor yang juga berpotensi terdampak adalah industri farmasi yang mana bulan lalu Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir sempat mengatakan bahwa industri farmasi di Indonesia tidak sehat.
"Karena lebih dari 90 persen bahan baku kita impor dari negara lain," kata Honesti dalam Business Performance Exellence Award secara virtual, Kamis, 23 September 2021.
Impor itu, kata dia, dilakukan karena Indonesia tidak mampu bersaing. Harga bahan baku impor jauh lebih murah daripada investasi sendiri.
Dia menuturkan pada saat pandemi Covid-19, semua negara membutuhkan produk yang sama. Masing-masing negara, terutama negara yang sudah memiliki teknologi pembuatan bahan baku, mengamankan kebutuhan bahan baku itu sendiri untuk menjamin penanganan pandemi di negara masing-masing.
Diketahui, industri farmasi domestik masih sangat bergantung pada impor bahan baku obat (BBO). Dari suplai BBO impor sebesar 90-95 persen, sekitar 60 persennya dipenuhi dari China, menyusul kemudian India.
Krisis energi berpotensi menimbulkan kendala suplai bahan baku salah satunya diakibatkan oleh kelangkaan kontainer yang belum juga mereda sehingga pelaku usaha perlu melakukan penyesuaian frekuensi pengapalan bahan baku.
Krisis energi juga dapat mengancam keamanan pangan dunia salah satunya dikarenakan pabrik pupuk utama yang terpaksa harus mengurangi produksi karena kenaikan biaya gas yang merupakan bahan baku utama, dan dapat berakibat pada turunnya produksi yang dihasilkan oleh petani.
Tekanan yang dirasakan produsen pupuk juga akan menyebabkan berkurangnya satu produk sampingan yang sangat menarik - karbon dioksida - yang digunakan dalam berbagai produk konsumen.
Dengan produksi pupuk yang terbatas, hampir pasti industri global akan menghadapi kekurangan CO2 yang digunakan secara luas. CO2 digunakan secara luas mulai dari penggunaannya dalam makanan kemasan agar tetap segar lebih lama, untuk dry ice agar makanan beku tetap dingin selama pengiriman serta untuk memberi minuman berkarbonasi (seperti soda) gelembung khasnya
Selain itu beberapa produk lain yang juga mungkin terdampak adalah produk elektronik hingga mainan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pemodal Asing Mau Cabut dari China, Bakal ke RI atau Vietnam?