Review

Tren Caplok Emiten 'Receh', Inilah Fenomena Backdoor Listing!

Feri Sandria, CNBC Indonesia
13 October 2021 18:17
Dok Agung Sedayu Group
Foto: Dok Agung Sedayu Group

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi korporasi akuisisi emiten kecil sedang gencar dilakukan oleh beberapa perusahaan besar, terbaru Grup Agung Sedayu Group masuk ke pasar modal RI dengan mencaplok emiten berkapitalisasi rendah.

Adalah PT Multi Artha Pratama, anak usaha dari 'raksasa' properti Agung Sedayu mengumumkan telah mengakuisisi 328 juta saham atau mencapai 80% dari total saham emiten produsen wadah dari logam berupa kaleng kemas, PT Pratama Abadi Nusa Industri Tbk (PANI) dari para pendiri.

Sebelumnya perusahaan e-commerce, PT Global Digital Niaga atau lebih dikenal dengan Blibli dari Grup Djarum juga telah menyampaikan rencana pengambilalihan 51% saham PT Supra Boga Lestari Tbk. (RANC) yang disebut sebagai upaya perusahaan untuk mengembangkan ekosistem bisnisnya.

Kedua aksi korporasi yang dilakukan oleh grup usaha yang lebih besar menimbulkan spekulasi dari para investor dan pelaku pasar terkait strategi pencatatan melalui jalur belakang (backdoor listing) di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Backdoor listing merupakan suatu aksi akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan tertutup kepada perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek.

Dalam kebanyakan kasus, sebuah perusahaan yang ingin sahamnya tercatat untuk diperdagangkan di bursa akan melalui penawaran umum perdana (IPO), sedangkan skema backdoor listing memungkinkan perusahaan untuk mendaftarkan saham di bursa publik dengan menghindari proses IPO tradisional.

Meskipun tidak lazim, perusahaan swasta kadang-kadang lebih memilih backdoor listing untuk menghindari proses IPO yang memakan waktu dan biaya besar, dan keribetan proses administrasinya.

Bagi perusahaan yang sudah mapan, selain hemat biaya dari proses panjang IPO, keuntungan utama lainnya adalah perusahaan juga dapat menyuntikkan dana ke perusahaan bermasalah tanpa perlu mengumpulkan lebih banyak uang dari pihak lain di pasar.

Terlepas dari segala kemudahan yang ditawarkan, backdoor listing juga memiliki kelemahan seperti kebingungan yang mungkin timbul bagai pemegang saham emiten yang diakuisisi.

Selain pemegang saham juga dapat terdilusi kepemilikannnya jika perusahaan memutuskan menerbitkan saham baru untuk perusahaan swasta yang masuk. Terakhir apabila kedua perusahaan tidak memiliki kecocokan alami, pada akhirnya dapat menekan kinerja pendapatan dan laba usaha.

Lebih lanjut, skema tersebut dapat dilakukan melalui akuisisi mayoritas saham, di mana pemilik baru dapat menggabungkan operasi perusahaan baru dengan perusahaan lama.

Jalan lain yang dapat ditempuh oleh pemilik baru termasuk membuat perusahaan cangkang yang memungkinkan kedua perusahaan melanjutkan operasi secara independen satu sama lain.

NEXT: Siapa Saja yang Berhasil Backdoor Listing?

Backdoor listing sendiri bukan merupakan skema baru, tercatat beberapa perusahaan besar telah memilih jalur ini untuk menjadi perusahaan publik, mulai dari emiten Grup Salim hingga maskapai berbiaya murah di Asia Tenggara.

Berikut Tim Riset CNBC Indonesia merangkum beberapa backdoor listing yang pernah dilaksanakan di bursa domestik.

PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET)

Emiten ini dikenal luas perusahaan investasi yang  fokus utamanya pada industri konsumen dan ritel di Indonesia yang juga merupakan pengelola jaringan mini market Indomaret.

Akan tetapi sebelum bertransformasi menjadi emiten ritel, DNET awalnya merupakan emiten 'kelas teri' penyedia jasa internet atau ISP yang bernama PT Dyviacom Intrabumi Tbk.

Nasib emiten ini berubah 180 derajat setelah melakukan penawaran umum saham terbatas melalui skema rights issue dengan 14 miliar saham di harga Rp 500/saham sehingga perusahaan mampu mengumpulkan dana Rp 7 triliun.

Dana hasil rights issue tersebut kemudian digunakan untuk pengembangan bisnis di tiga perusahaan milik Grup Salim.

Sekitar 28,55% diinvestasikan untuk membeli 35,84% saham PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST). Kemudian, sebesar 30,45% digunakan untuk membeli 31,50% saham PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI), sedangkan 3,35% digunakan untuk modal kerja Perseroan.

Selanjutnya 37,65% sisa dari hasil dana rights issue dialokasikan untuk membeli 40% saham PT Indomarco Prismatama, perusahaan pengelola Indomaret yang belum melantai di bursa.Sehingga, secara tidak langsung, Indomaret telah melakukan pencatatan di Bursa melalui skema backdoor listing.

PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP)

PT Indonesia AirAsia (IAA) memang batal melakukan penawaran umum perdana (IPO), namun sang induk AirAsia Bhd berhasil memperoleh cara lain untuk membawa anak usahanya itu masuk pasar modal, yakni melalui PT Rimau Multi Putra Pratama Tbk (CMPP).

Pemilik saham utama CMPP sendiri yakni PT Rimau Multi Investama menguasai 76,24%. Sedangkan 23,76% sisanya dikuasai masyarakat. Sementara itu, pemegang saham IAA adalah Air Asia Investment Ltd dan PT Fersindo Nusaperkasa.

CMPP kala itu menerbitkan saham baru dengan penawaran umum terbatas (PUT I) dengan hak memesan efek terlebih (rights issue) sebanyak 13,65 miliar saham dengan harga pelaksanaan Rp 250 per lembar dan rasio dilusi 97,97%.

Saham baru CMPP tersebut diserap Air Asia Investment Ltd dan PT Fersindo Nusaperkasa sebagai pembeli siaga. Sedangkan Rimau Multi Investama selaku pemegang saham utama tidak akan mengambil bagian dari rights issue tersebut.

Dengan harga saham right issue tersebut, CMPP akan mengantongi dana sekitar Rp 3,4 triliun. Sekitar 76% dari dana tersebut akan digunakan untuk mengambilalih sekuritas perpetual (surat berharga) IAA senilai Rp 2,6 triliun.

Dengan selesainya proses penyertaan saham, maka terjadi peralihan kegiatan usaha utama perseroan dari bidang transportasi, perdagangan, dan pertambangan menjadi perusahaan yang bergerak di jasa penerbangan komersial berjadwal.

PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT)

PT Eagle High Plantation Tbk (BWPT) yang dulu bernama PT BW Plantation Tbk. Perusahaan kelapa sawit ini melakukan rights issue dengan rasio 1:6 di harga Rp 400 lembar saham dengan total raihan dana hingga Rp11 triliun. Aksi ini Aksi korporasi ini dilakukan setelah Peter Sondakh melalui PT Rajawali Capital Internasional yang mengakuisisi 51% saham BW Plantation pada 2014.

Aksi korporasi ini dijadikan tunggaangan bagi Grup Rajawali untuk memasukkan perusahaan sawitnya yang merupakan salah satu perusahaan dengan luas lahan terbesar di Indonesia ke bursa saham.

Dana dari penerbitan saham baru itu lantas digunakan BW Plantation untuk mengakuisisi Group Green Eagle milik Peter Sondakh dengan nilai transaksi Rp 10,53 triliun.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular