Gak Cuma Sawit, Uni Eropa & Indonesia juga 'Ribut' soal Ini!

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
08 October 2021 16:20
Opening Ceremony 36th TRADE EXPO INDONESIA 2021. (Tangkapan layar youtube Kementerian Perdagangan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Uni Eropa (UE) sudah sejak beberapa tahun terakhir telah berusaha memberlakukan kebijakan pengetatan impor terhadap barang-barang yang dinilai tidak ramah lingkungan (environmental friendly).

Terbaru, Uni Eropa mencoba menerapkan kebijakan penyesuaian pajak karbon alias carbon tax adjustment.

Langkah sebut sejalan dengan keprihatinan Eropa terkait dengan isu perubahan iklim. Sebagaimana diketahui, perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya emisi karbon sehingga meningkatkan tingkat suhu bumi.

Dus, barang-barang yang berasal dari negara berkembang harus memiliki standar ramah lingkungan.

Hal tersebut terungkap dari pemaparan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam Indonesia Knowledge Forum 2021, Kamis (7/10/2021).

"Jadi ini karena perusahaan di Eropa dianggapnya sangat environmental friendly, tapi barang di negara berkembang tidak environmental friendly," katanya.

Dengan demikian, produk dari negara berkembang seperti baja, semen, dan produk hulu lainnya diterapkan penyesuaian nilai pajak. Menurut Lutfi, hal ini adalah salah satu yang mengimpit atau menghalangi perdagangan RI.

"Saya sudah tegaskan kepada duta besar Uni Eropa (jika) mengerjakan itu terhadap barang Indonesia, saya akan tuntut ke WTO (World Trade Organization)," ujarnya.

Lutfi mengatakan, ini harus dilihat sebagai tren perdagangan. Jika tidak dilakukan pembenahan sejak awal, barang dari Indonesia akan mengalami cobaan yang berat di masa depan.

Oleh karena itu, Lutfi mengatakan saat ini pemerintah aktif membuat barang dari Indonesia menjadi yang lebih ramah lingkungan. Selain itu pemerintah juga mulai mengkaji program voluntary carbon market.

"Kalau voluntary carbon market jalan, saya yakin Indonesia bisa menjadi sumber likuiditas emisi carbon credit. Jadi memelihara hutan itu bisa mendapatkan penghasilan yang sama atau bahkan lebih besar daripada memotong hutan. Ini sedang kita pelajari. Jadi tidak deforestasi namun menjaga lingkungan," katanya.

NEXT: Kisah 'Ribut' dengan Eropa: Sawit dan Nikel

Langkah Uni Eropa soal pengetatan impor barang dengan jejak karbon (carbon footprint) dari negara berkembang bukanlah hal baru.

Beberapa tahun terakhir, Uni Eropa juga gencar menghambat impor produk sawit, juga minyak sawit (crude palm oil/CPO), termasuk dari Indonesia.

Sawit

Mulanya, mengutip laporan Time Toast, pada 1 Januari 2007 organisasi PBB mengatakan, produksi minyak sawit sebagai penyebab utama deforestasi di Indonesia, di mana pembalakan liar dan penanaman kelapa sawit lazim terjadi di 37 dari 41 taman nasional.

Menurut catatan CNBC Indonesia, wacana resmi pengurangan penggunaan CPO oleh Eropa dimulai 30 November 2016. Pada tanggal itu, Komisi Eropa mengajukan pengurangan CPO melalui proposal legislatif di Parlemen Eropa.

Salah satu dari perubahan yang diusulkan adalah bagian biofuel berbasis tanaman pangan yang dapat diperhitungkan terhadap target energi terbarukan Uni Eropa akan dikurangi secara bertahap hingga 3,8% sampai dengan tahun 2030.

Seiring perkembangan, hal tersebut kemudian tertuang dalam aturan pelaksanaan (delegated act) atas Renewable Energy Directive (RED II) yang sempat diloloskan Komisi UE pada Maret 2019 lalu.

Dalam dokumen tersebut, Komisi UE menyimpulkan kelapa sawit mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global dan berencana menghapus secara bertahap penggunaan kelapa sawit hingga 0% pada tahun 2030.

CNBC Indonesia mencatat, pada Agustus 2019, Uni Eropa sempat mengenakan bea masuk sebesar 8-18% atas produk-produk biodiesel asal Indonesia.

Kebijakan tersebut diambil setelah Uni Eropa menuding pemerintah Indonesia menerapkan praktik subsidi untuk produk biodiesel berbasis minyak kelapa sawit.

Pada 9 Desember 2019, Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss resmi mengajukan gugatan terhadap UE di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).

Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE. Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.

Nikel

Produk Indonesia lain yang membuat Uni Eropa ketergantungan adalah nikel. Selama bertahun-tahun, Indonesia mengirim bijih nikel ke Uni Eropa.

Namun, RI mengubah kebijakan dengan melarang ekspor bijih nikel dan lebih memilih untuk hilirisasi di dalam negeri.

Hanya saja, Uni Eropa tidak terima dan mengajukan tuntutan terhadap Indonesia sengketa DS 592 - Measures Relating to Raw Materials ke WTO.

UE menganggap Undang-Undang RI tentang Minerba menyulitkan untuk bisa kompetitif dalam industri baja, terutama stainless steel karena nikel dipakai sebagai bahan baku stainless steel.

Padahal, komoditas nikel yang diimpor Eropa kecil sekali dari Indonesia dan Uni Eropa menganggap mengganggu produktivitas energi stainless steel. UE juga menganggap ini bagian dari 30 ribu pekerja langsung dan 200 ribu pekerja tidak langsung.

RI Surplus Dagang dengan UE Setidaknya Sejak 2010

Menurut data Eurostat, sejak 2010 sampai 2020, RI selalu mencatatkan surplus dagang terhadap Uni Eropa. Pada tahun lalu, ekspor RI ke Uni Eropa mencapai € 13,25 miliar atau setara Rp 217 triliun (kurs Rp 16.400/euro), sementara impor sebesar € 7,25 miliar atau setara Rp 119 triliun. Dengan demikian, surplus dagang RI ke Uni Eropa sebesar € 6 miliar.

Adapun, total perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa pada 2020 mencapai € 20,50 miliar atau Rp 336 triliun.

Rinciannya, ekspor terbesar RI ke Uni Eropa sepanjang tahun lalu adalah produk industri senilai € 8,67 miliar. Kemudian produk pertanian dengan nilai € 4,33 miliar, sisanya produk perikanan € 251 juta.

Sementara, impor dari Eropa terbesar adalah produk industri sebesar € 6,49 miliar, lalu produk pertanian mencapai € 747 juta, dan perikanan hanya € 10 juta.

Tabel Neraca Dagang UE dan RI pada 2010-2020

Sumber: Eurostat

Berdasarkan data Eurostat, UE adalah mitra dagang terbesar kelima Indonesia, sementara Indonesia adalah mitra dagang global ke-31 untuk UE dan mitra UE kelima di ASEAN pada tahun 2020.

Sementara, perdagangan bilateral dalam jasa antara UE dan Indonesia pada 2019 berjumlah €7,5 miliar pada 2019, dengan ekspor Uni Eropa sebesar €5,3 miliar dan impor sebesar €2,2 miliar.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekspor RI & Malaysia Naik, Harga CPO Lanjutkan Penguatan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular