
Likuiditas Seret, Penyebab Emiten Konstruksi RI Merana

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi ekonomi yang masih belum benar-benar pulih di tengah situasi pandemi menyebabkan likuiditas dan kinerja keuangan emiten konstruksi terganggu. Utang jumbo yang semula ditargetkan untuk pertumbuhan usaha, kini malah menjadi ancaman signifikan.
Hingga akhir kuartal kedua tahun ini jumlah utang yang dimiliki oleh emiten konstruksi cukup besar relatif terhadap total aset yang dimiliki. Penggunaan utang usaha untuk investasi (leverage) dalam jumlah besar menjadi kebijakan 'tidak tertulis' yang dilakukan baik oleh emiten BUMN karya maupun dari pihak swasta.
Alhasil dalam situasi saat ini, banyak perusahaan harus memutar otak demi melakukan restrukturisasi agar perusahaan dapat tetap sehat dan beroperasi tanpa gangguan berarti.
Belum lama ini salah satu emiten konstruksi, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) telah merampungkan restrukturisasi utang perusahaan. Pada akhir September lalu, sebanyak 21 bank telah sepakat untuk merestrukturisasi utang WSKT, di mana bank-bank tersebut memberikan keringanan berupa perpanjangan tenor hingga lima tahun ke depan dengan tingkat bunga yang kompetitif.
Selain itu upaya penyehatan likuiditas perusahaan juga dilakukan dengan menjual aset perusahaan berupa kepemilikannya di jalan tol Cibitung senilai Rp 2,44 triliun.
Jika Waskita memilih menjual aset yang dimiliki, bagaimana dengan perusahaan konstruksi lainnya. Apakah tekanan likuiditas hanya dialami oleh Waskita saja?
Merujuk dari laporan keuangan tengah tahun ini emiten konstruksi - empat BUMN karya dan empat emiten swasta - sebenarnya sebagian besar mengalami tekanan likuiditas yang sama.
Berikut Tim Riset CNBC Indonesia coba merangkum beberapa aspek penting terkait likuiditas, profitabilitas dan efektivitas emiten delapan emiten di sektor konstruksi yang secara umum dapat memberikan gambarkan terhadap kondisi yang sedang terjadi di sektor tersebut.
Kedelapan perusahaan ini adalah Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI)yang merupakan emiten BUMN.
Sedangkan empat sisanya dari pihak swasta adalah PT Acset Indonusa Tbk (ACST), PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA), PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk (JKON) dan PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL).
Dari sisi utang usaha, selain ACST, emiten swasta memiliki tingkat utang yang relatif jauh lebih rendah dan 'aman' dibandingkan dengan emiten BUMN karya.
ACST mencatatkan rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity rasio/DER) terbesar, yakni mencapai 16,21x dengan total utang tercatat sebesar Rp 2,75 triliun.
Selanjutnya diikuti oleh empat emiten karya dengan DER di atas 2,7x, angka terbesar dicatatkan ADHI yang nilai utang usaha mencapai 5,97 ekuitas perusahaan. Adapun nilai DER terkecil emiten karya dicatatkan oleh WIKA (2,73x) dan dikuti oleh PTPP (2,92x). Waskita sendiri memiliku DER 5,75x dengan jumlah utang terbesar dari semuanya atau mencapai Rp 89,73 triliun.
Sementara tiga emiten swasta lain, nilainya bervariasi dari 0,62x hingga 1,32x jumlah ekuitas perusahaan.
Tingginya nilai DER ini dapat diartikan bahwa pertumbuhan perusahaan sebagian besar disokong oleh utang usaha. Semakin tinggi nilainya semakin besar perusahaan mendanai proyek dan bisnis yang dimiliki.
Selanjutnya jumlah utang yang besar tersebut tentu akan membuat pusing manajemen, utang jangka pendek merupakan yang paling krusial karena jika tidak diselesaikan dapat mengganggu kegiatan operasi.
Tingkat likuiditas juga dapat diukur dari kemampuan perusahaan membayar utang jangka pendek menggunakan aset lancar yang dimiliki. Dari kedelapan emiten tersebut hanya Waskita dan ACST yang current rasio nya tidak mencapai 100%, artinya utang jangka pendek yang dimiliki kedua perusahaan tersebut lebih kecil dari aset lancar.
Dari BUMN konstruksi Wika kembali mencatatkan nilai terbaik dengan rasio mencapai 126%, sedangkan secara keseluruhan JKON yang merupakan perusahaan swasta memiliki rasio hingga 184%.
Rasio yang kecil seperti Waskita (69%) dan ACST (80%) memang dapat mengindikasi masalah keuangan, akan tetapi rasio yang terlalu besar juga tidak sepenuhnya 'bagus', karena perusahaan memiliki aset yang berlebih yang hanya duduk diam, dan tidak memberikan keuntungan lebih.
![]() Likuiditas dan profitabilitas emiten konstruksi |
Terakhir dari segi kemampuan perusahaan membayar utang jangka pendeknya hanya menggunakan kas atau setara kas yang dimiliki kembali emiten swasta mempunyai kinerja yang lebih bagus, dengan nilai quick rasio tiga emiten swasta berada level 40% lebih dengan SSIA (58%) sebagai juara.
Sementara itu jika harus melunasi utang jangka pendek hanya dari kas perusahaan emiten karya akan mengalami kesulitan, paling parah dialami ADHI yang kas perusahaan hanya mampu membayar 2,42% utang jangka pendek, disusul oleh Waskita (5,75%), sedangkan PP dan Wika memiliki kondisi lebih baik yang nilainya secara berurutan sebesar 17,99% dan 22,82%.
Selanjutnya dari sisi profitabilitas tercatat semua BUMN karya memperoleh laba bersih pada semester pertama tahun ini, meskipun nilainya tidak terlalu besar dengan paling kecil dicatatkan ADHI (Rp 8 miliar) dan terbesar dibukukan PP (Rp 86 miliar). Sedangkan tiga dari empat emiten swasta membukukan rugi, di mana hanya TOTL yang mampu mencetak laba Rp 51 miliar.
Jumlah aset yang fantastis tidak serta merta mampu dimaksimalkan untuk meningkat pendapatan perusahaan. Tercatat total aset gabungan BUMN karya mencapai Rp 262 triliun atau lebih besar nyaris 15 kali dari gabungan emiten swasta.
Akan tetapi total pendapatan BUMN karya hanya senilai Rp 22,38 triliun atau tidak mencapai 6,5 kali gabungan pendapatan emiten swasta.
Working capital dua emiten tercatat negatif - Waskita dan ACST - yang menandakan utang jangka pendek lebih besar dari aset lancar milik perusahaan. Sementara itu emiten lain juga tidak mencatatkan modal kerja yang signifikan, dengan nilai terbesar dicatatkan Wika senilai Rp 8,45 triliun.
Dengan menghitung working capital turnover ratio terlihat bahwa emiten di sektor konstruksi belum beroperasi dengan efektivitas tinggi, tercatat rasio terbesar dicatatkan PP yang mampu menghasilkan pendapatan 2,46 kali lebih besar dari modal kerja yang dimiliki.
Rendahnya rasio tersebut menunjukkan emiten konstruksi masih belum efisien dan efektif dalam mengelola modal kerja demi menjaga kelancaran siklus operasi.
Saat ini memang terdapat banyak faktor eksternal seperti kondisi ekonomi dan pandemi yang membuat perusahaan kesusahan dalam mengelola utang dan menjaga likuiditas. Akan tetapi ke depannya perusahaan tentu perlu berusaha lebih keras lagi mencari jalan keluar demi mengelola perusahaan yang dapat memuaskan kreditor dan pemegang saham khususnya serta pemangku kepentingan lain secara umum.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PTPP Revisi Target Kontrak Baru, Banyak Proyek Tertunda