
Habis Evergrande, 'Raksasa' China Ini Gagal Bayar Obligasi!

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah krisis utang raksasa properti Evergrande, pasar properti China kembali mendapat tekanan setelah salah satu pengembang properti negeri Tirai Bambu, Fantasia Holdings, mengalami gagal bayar (default) atas pembayaran kupon obligasinya.
Kejadian ini memicu kekhawatiran bahwa perusahaan properti lainnya juga diperkirakan akan mengalami gagal bayar, yakni Sinic Holdings.
Atas hal ini lembaga pemeringkat utang Fitch Ratings dan S&P Global akhirnya menurunkan peringkat utang kedua pengembang properti negeri Tirai Bambu tersebut.
Fitch Ratings pada Senin kemarin (4/10.2021) menurunkan peringkat utang Fantasia dari "B" menjadi "CCC-".
Sementara S&P Global Ratings pada Selasa pagi ini (5/10) menurunkan peringkat Sinic Holdings dari "CCC+" menjadi "CC."
Diketahui Fantasia Holdings tidak membayar kembali obligasi yang sudah jatuh tempo pada Senin kemarin.
Bahkan otoritas bursa telah menghentikan perdagangan saham Fantasia sejak 9 September lalu sampai waktu yang belum ditentukan. Sebagai informasi saham Fantasia telah anjlok hampir 60% tahun ini.
Ketakutan Penularan Evergrande
Dampak dari gagal bayar obligasi Fantasia ini diprediksi tidak akan sebesar Evergrande. Diketahui Evergrande memiliki utang mencapai US$ 300 miliar atau setara dengan Rp 4.290 triliun (kurs Rp 14.300/US$), sementara berdasarkan laporan keuangan semester pertama perusahaan Fantasia hanya memiliki utang 82,9 miliar yuan (US$12,8 miliar) atau setara Rp 183 triliun.
Dalam sebuah laporan yang dirilis sebelum pengajuan perusahaan pada Senin malam, Fitch menyoroti keberadaan obligasi swasta yang tidak diungkapkan dalam laporan keuangan perusahaan dan mengatakan Fantasia telat melakukan pembayaran obligasi sebesar US$100 juta atau Rp 1,43 triliun.
Dikutip dari CNBC International Fitch mengatakan adanya obligasi ini berarti situasi likuiditas perusahaan bisa lebih ketat dari yang diperkirakan sebelumnya.
Keterlambatan pembayaran juga menimbulkan keraguan tentang kemampuan perusahaan untuk membayar kembali jatuh temponya secara tepat waktu.
Menurut perkiraan analis, pelaku pasar khawatir tentang dampak dan kemungkinan penularan dari krisis Evergrande yang memukul pertumbuhan ekonomi China.
Saat ini sektor real estate telah menyumbang 15% dari PDB China. Banyak dana obligasi dengan memberikan imbal hasil (yield) tinggi Asia juga didominasi oleh penerbitan dari pengembang real estate China.
Sinic Mengarah ke Gagal Bayar
S&P Global Ratings telah menurunkan peringkat Sinic Holdings dari CCC+ menjadi CC. Berdasarkan informasi dari web resmi S&P, peringkat utang "CC" berarti perusahaan saat ini rentan dan bergantung pada kondisi bisnis, keuangan, dan ekonomi yang menguntungkan untuk memenuhi komitmen keuangannya.
Dikutip dari CNBC International, S&P menurunkan peringkat karena Sinic telah mengalami masalah likuiditas yang parah dan bahkan kemampuan membayar utangnya hampir habis.
Bahkan perusahaan pemeringkat asal Negeri Paman Sam ini mengatakan Sinic Holdings akan gagal bayar pada obligasi luar negeri berdenominasi dolar USS$ 246 juta atau Rp 3,52 triliun yang jatuh tempo 18 Oktober mendatang.
Bahkan anak perusahaan lokal Sinic juga gagal melakukan pembayaran bunga sebesar US$ 38,7 juta atau sekitar Rp 553 miliar pada dua obligasi dalam mata uang yuan yang telah jatuh tempo 18 September lalu.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan semester 1 tahun ini Sinic memiliki total kewajiban sebesar US$ 14,2 miliar atau setara Rp 203 triliun. Sahamnya-pun telah dihentikan sejak 20 September.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Awas Evergrande Jilid II, 2 Perusahaan China Ini Mau Bangkrut
