Sepanjang minggu ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 1,37% secara point-to-point. Di level Asia, IHSG menjadi yang terbaik kedua, hanya kalah dari Hang Seng (Hong Kong).
Dalam periode yang sama, rupiah melemah 0,35% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Dolar AS sudah kembali ke atas Rp 14.300.
Depresiasi 0,35% membawa rupiah jadi yang terlemah di Asia. Mata uang Tanah Air hanya lebih baik dari rupee India dan baht Thailand.
Well, yang lalu biarlah berlalu. Sekarang mari kita tatap masa depan. Kira-kira sentimen apa yang harus dicermati oleh pelaku pasar?
Pekan ini, sentimen besar yang mewarnai pasar adalah krisis energi. Eropa, India, hingga China mengalaminya.
Pangkal masalahnya adalah harga gas alam yang semakin mahal. Minggu ini, harga gas alam di Henry Hub (Oklahoma, AS) melesat 19,45%. Sejak akhir 2020 (year-to-date/ytd), harga gas alam meroket 118,35%.
Harga gas yang semakin mahal membuat biaya pembangkitan listrik dengan bahan bakar ini kian tidak ekonomis. Di Eropa, biaya pembangkitan listrik dengan gas alam adalah EUR 75,725/MWh pada 28 September 2021. Dengan batu bara, harganya hanya EUR 50,53/MWh.
Namun Eropa dan China sudah terlanjur punya komitmen untuk mengurangi konsumsi batu bara yang dinilai tidak ramah lingkungan. Dengan harga gas yang naik terus, perburuan terhadap sumber-sumber energi primer pun menggila. Bahkan batu bara yang sempat dicuekin kini kembali dilirik.
China, yang harus menempuh pemadaman listrik bergilir akibat kekurangan gas alam, menegaskan bakal menempuh segala cara untuk mendapatkan sumber energi primer. Li Keqiang, Perdana Menteri China, mengungkapkan pemerintah akan terus menjaga ketersediaan energi agar 'roda' ekonomi tetap berputar. Pelaku pasar mengartikan pernyataan Li bahwa China siap membayar dengan harga berapa pun untuk mendapatkan sumber energi primer.
"Jika China bersedia membayar di harga berapa saja untuk mendapatkan energi, maka artinya permintaan akan meningkat. Meski pada saat yang sama ini juga bisa membuat krisis energi di Eropa semakin parah karena semua ingin menjual ke China," tutur Edward Moya, Senior Market Analyst di OANDA, seperti dikutip dari Reuters.
Tingginya minat terhadap sumber energi pengganti gas alam membuat harga berbagai komoditas naik. Harga minyak bumi jenis brent dan light sweet melesat masing-masing 8,56% dan 8,42% minggu ini.
Sementara harga batu bara melonjak 17,27% pekan ini. Pada perdagangan akhir pekan, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) tercatat US$ 228/ton. Melonjak 4,59% dari hari sebelumnya sekaligus menjadi rekor tertinggi setidaknya sejak 2008.
Saat harga minyak bumi semakin mahal, komoditas pertanian yang bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar nabati juga ikut dilirik. Ini membuat harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) naik 1,44% dalam sepekan terakhir.
Indonesia patut mencermati perkembangan ini. Sebab, ada kemungkinan Indonesia bakal untung besar.
Indonesia adalah eksportir terbesar dunia untuk batu bara dan CPO. Kenaikan harga dua komoditas ini tentu akan mendongkrak kinerja ekspor Indonesia. Tidak hanya menggairahkan perekonomian nasional, kenaikan ekspor juga akan menopang stabilitas nilai tukar rupiah.
Apabila krisis energi dunia masih menjadi tema besar minggu depan, maka investor patut mencermati saham-saham emiten produsen komoditas di Bursa Efek Indonesia (BEI). Minggu lalu, saham-saham emiten berbasis komoditas menempati 10 besar top gainers. Di antaranya adalah PT Bayan Resources Tbk (BYAN) yang meroket 57,25%, PT Sumber Global Energy Tbk (SGER) yang melejit 36,21%, PT Cisadane Sawit Raya Tbk (CSRA) yang melambung 34,59%, dan PT Eagle High Plantation (BWPT) yang lompat 30%.
Apakah saham-saham komoditas bakal mengamuk lagi minggu depan? Kita tunggu saja...
Halaman Selanjutnya --> Pantau Pembahasan Debt Ceiling AS
Selain krisis energi, sentimen lain yang juga patut dimonitor perkembangannya adalah perkembangan pembahasan rencana kenaikan batas utang (debt ceiling) di AS. Saat ini batas utang pemerintah AS adalah US$ 28,4 triliun. Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.315 seperti kurs tengah Bank Indonesia (BI) 1 Oktober 2021, jumlah itu menjadi Rp 406.546 triliun.
Untuk sementara memang sudah ada solusi. Pekan ini, Presiden AS Joseph 'Joe' Biden sudah meneken beleid untuk mendanai kebutuhan pemerintahan hingga 3 Desember 2021.
Namun masalah belum selesai. Aturan itu hanya menjadi payung hukum untuk anggaran operasional pemerintahan dan kebutuhan yang sudah dianggarkan sebelumnya seperti penempatan pengungsi Afganistan sebesar US$ 6,3 miliar dan bantuan korban bencana US$ 28,6 miliar.
Anggaran itu belum termasuk pembayaran bunga utang yang jatuh tempo dalam waktu dekat. Jika sampai 18 Oktober 2021 belum ada kesepakatan, maka AS terancam gagal bayar utang (default) untuk kali pertama sepanjang sejarah.
"Kita bisa jatuh ke krisis keuangan. Default juga akan membuat suku bunga lebih tinggi bagi siapapun yang mengakses kredit," tegas Janet Yellen, Menteri Keuangan AS, di hadapan Komite Jasa Keuangan House of Representatives, seperti dikutip dari Reuters.
Pasar obligasi pemerintah AS tidak main-main. Pada 2018, rata-rata nilai perdagangan US Treasury Bonds mencapai US$ 547,8 miliar per hari. Jumlah itu setara dengan Rp 7.841,76 triliun.
Sebagai gambaran, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2020 adalah Rp 15.434,2 triliun. Artinya nilai perdagangan obligasi pemerintah Negeri Paman Sam dalam sehari hampir separuh dari total ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Sekarang bayangkan kalau AS gagal membayar kewajiban kepada para pemegang obligasi tersebut. Pasar yang nilainya hampir separuh dari perekonomian Indonesia bakal runtuh. Keruntuhan di pasar obligasi akan merambat ke pasar saham, valas, komoditas, dan sebagainya. Pasar keuangan dunia hancur lebur.
Oleh karena itu, investor juga perlu untuk terus memantau dinamika politik anggaran di Negeri Stars and Stripes. Sentimen ini dan krisis energi dunia jangan sampai dilewatkan.
Petrus Jakandor. Pepet Terus Jangan Kasih Kendor!
TIM RISET CNBC INDONESIA