Jakarta, CNBC Indonesia - Drama politik anggaran di Amerika Serikat (AS) belum usai. Jika Kongres tidak menyepakati kenaikan batas utang (debt ceiling), maka pemerintah AS terancam tidak bisa membayar kewajiban utang alias default.
Pemerintahan Negeri Adidaya juga akan tutup untuk sementara (shutdown) karena ketiadaan anggaran.
Saat ini batas utang pemerintah AS adalah US$ 28,4 triliun. Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.315 seperti kurs tengah Bank Indonesia (BI) 1 Oktober 2021, jumlah itu menjadi Rp 406.546 triliun.
Untuk sementara memang sudah ada solusi. Pekan ini, Presiden AS Joseph 'Joe' Biden sudah meneken beleid untuk mendanai kebutuhan pemerintahan hingga 3 Desember 2021.
Namun masalah belum selesai. Aturan itu hanya menjadi payung hukum untuk anggaran operasional pemerintahan dan kebutuhan yang sudah dianggarkan sebelumnya seperti penempatan pengungsi Afganistan sebesar US$ 6,3 miliar dan bantuan korban bencana US$ 28,6 miliar.
Anggaran itu belum termasuk pembayaran bunga utang yang jatuh tempo dalam waktu dekat. Jika sampai 18 Oktober 2021 belum ada kesepakatan, maka AS terancam default untuk kali pertama sepanjang sejarah.
"Kita bisa jatuh ke krisis keuangan. Default juga akan membuat suku bunga lebih tinggi bagi siapapun yang mengakses kredit," tegas Janet Yellen, Menteri Keuangan AS, di hadapan Komite Jasa Keuangan House of Representatives, seperti dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Pasar Obligasi AS, Dunia Ikut Jatuh
Pasar obligasi pemerintah AS tidak main-main. Pada 2018, rata-rata nilai perdagangan US Treasury Bonds mencapai US$ 547,8 miliar per hari. Jumlah itu setara dengan Rp 7.841,76 triliun.
Sebagai gambaran, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2020 adalah Rp 15.434,2 triliun. Artinya nilai perdagangan obligasi pemerintah Negeri Paman Sam dalam sehari hampir separuh dari total ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Sekarang bayangkan kalau AS gagal membayar kewajiban kepada para pemegang obligasi tersebut. Pasar yang nilainya hampir separuh dari perekonomian Indonesia bakal runtuh. Keruntuhan di pasar obligasi akan merambat ke pasar saham, valas, komoditas, dan sebagainya. Pasar keuangan dunia hancur lebur.
Lembaga pemeringkat (rating agency) S&P sudah memberi wanti-wanti soal dahsyatnya. Menurut S&P, dampak default AS bisa disimpulkan dengan dua kata. Parah dan luar biasa.
"Default di negara-negara G7 seperti AS, jika terjadi, akan sangat tidak terduga," sebut S&P dalan buletin terbarunya.
Joydeep Mukherji, Credit Analyst S&P untuk AS, memperingatkan S&P bisa saja menurunkan peringkat utang (rating) Negeri Adidaya ke D, ranking terendah. S&P tidak bisa mengecualikan AS dengan negara-negara lain yang gagal memenuhi kewajibannya.
Namun, Mukherji menggarisbawahi bahwa itu sepertinya tidak akan terjadi. Pada akhirnya, AS diyakini bakal bisa menyelesaikan urusan internalnya tanpa harus membuat dunia porak-poranda.
"Kami menilai itu (AS turun rating ke D) tidak akan terjadi. Itulah mengapa kami memberikan rating AA+, tertinggi kedua," tegas Mukherji dalam wawancara dengan Reuters.
Akan tetapi, ancaman penurunan rating bukan pepesan kosong. Pada 2011, S&P menurunkan rating AS dari Aaa menjadi AA+. Penyebabnya sama dengan sekarang, gaduh soal debt ceiling.
"Tidak ada yang tahu seberapa besar dampak default jika sampai terjadi di AS. Kami tidak tahu, kami tidak mau tahu, tetapi yang jelas pasti luar biasa," tambah Mukherji.
TIM RISET CNBC INDONESIA