
Sentimen Pasar Belum Stabil, Rupiah Akhirnya Keok!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (24/9), setelah berfluktuasi di awal perdagangan. Mayoritas bursa saham Asia yang merosot pada hari ini membuat rupiah sulit untuk menguat.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,14% ke Rp 14.220/US$. Setelahnya rupiah berfluktuasi antara penguatan dan pelemahan. Selepas tengah hari, rupiah melemah hingga 0,14% ke Rp 14.260/US$, tetapi berhasil dipangkas menjadi 0,11% di Rp 14.455/US$ di penutupan pasar.
Mayoritas bursa saham Asia yang jeblok pada hari ini menunjukkan kali sentimen pelaku pasar belum stabil. Indeks Hang Seng Hong Kong memimpin kemerosotan sebesar 1,3%. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga sempat terperosok ke zona merah sebelum berhasil bangkit dan menguat tipis 0,03%.
Saat sentimen pelaku pasar kurang bagus, rupiah sebagai mata uang emerging market menjadi kurang diuntungkan.
Selain itu, pelaku pasar masih mencerna pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) Kamis dini hari kemarin. Dalam pengumuman tersebut, tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang akan dilakukan The Fed masih "ketaker" alias sesuai ekspektasi pasar.
The Fed belum menyatakan kapan tapering akan dilakukan. Sementara pelaku pasar memperkirakan pengumuman tapering akan dilakukan pada bulan November dan eksekusinya di Desember. Sejauh ini, ekspektasi tapering masih sama, tetapi yang sedikit mengejutkan adalah dot plot atau proyeksi suku bunga The Fed.
Sejak pandemi penyakit virus corona (Covid-19) melanda, The Fed membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%, dan bertahan hingga saat in.
Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.
Dalam dot plot yang terbaru, sebanyak 9 orang dari 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.
Artinya, terjadi perubahan proyeksi suku bunga yang signifikan. Kenaikan suku bunga yang lebih cepat dari sebelumnya lebih berisiko memicu capital outflow dari Indonesia, dan negara emerging market lainnya, sehingga menimbulkan gejolak di pasar finansial global. Apalagi, jika The Fed nantinya agresif dalam menaikkan suku bunga.
Kemungkinan The Fed agresif dalam menaikkan suku bunga terbuka cukup lebar. Sebab pada rapat kebijakan kali ini bank sentral pimpinan Jerome Powell ini juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi.
Saat proyeksi pertumbuhan ekonomi dipangkas, suku bunga diproyeksikan naik lebih cepat, menarik. Lantas, bagaimana jika pertumbuhan ekonomi AS malah lebih bagus dari proyeksi The Fed? Suku bunga tentunya bisa dinaikkan dengan agresif guna mencegah perekonomian AS overheating.
Jika The Fed menaikkan suku bunga tahun depan, artinya Bank Indonesia (BI) akan ketinggalan. Sebab sebelumnya BI memproyeksikan kenaikan suku bunga di akhir tahun depan. Hal ini berisiko memicu capital outflow yang besar dari Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia
