Analisis

Kasus Evergrande, Korban Aturan 'Three Red Lines' Xi Jinping?

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
24 September 2021 06:50
pakuwon Jati
Foto: Dokumentasi PT Pakuwon Jati

Three red lines memang sejalan dengan slogan 'coomon prosperity' (kemakmuran bersama) yang dielu-elukan oleh Xi Jinping, akan tetapi aturan kepada pengembang untuk menjaga tingkat utang dalam batas yang wajar bisa juga memberikan dampak negatif.

Dilansir FT, Ting Lu, Kepala Ekonom China di bank investasi Nomura, mengatakan bahwa dia yakin upaya Beijing untuk beralih dari satu model pertumbuhan ke model lainnya dapat secara signifikan menekan pertumbuhan tahunan di masa depan.

Logan Wright, Direktur Rhodium Group yang berbasis di Hong Kong mengatakan sektor properti menjadi ancaman bagi stabilitas keuangan, ekonomi dan sosial - telah memicu protes di beberapa kota.

"Sangat sulit untuk memberikan narasi yang meyakinkan bahwa potensi pertumbuhan China akan melebihi 4 persen dalam dekade berikutnya," tambah Wright.

Jika proyeksi seperti itu terbukti benar, "keajaiban" pertumbuhan China berada dalam bahaya.

Dalam dekade 2000-2009, rata-rata pertumbuhan PDB China berkisar 10,4% per tahun. Kinerja fantastis ini sedikit mereda pada dekade berikutnya, meskipun demikian selama 2010 hingga 2019, PDB tahunan masih tumbuh rata-rata 7,68%.

Bagi perusahaan sendiri aturan ini jika diterapkan tentu akan membuat likuiditas perusahaan membaik dengan kondisi finansial yang dapat dikatakan sehat.

Akan tetapi secara bisnis ini bisa menjadi ancaman pertumbuhan yang mana perusahaan tidak lagi memiliki kekuasaan untuk menghasilkan pendapatan lebih dari pengelolaan utang, karena jumlahnya yang kini dibatasi.

Jika diterapkan di Indonesia bagaimana nasib emiten properti?

Untuk menjawab pertanyaan di atas Tim Riset CNBC Indonesia coba menghitung berbagai kriteria yang ditetapkan dalam pedoman three red lines China tersebut yang diaplikasikan pada emiten properti Indonesia menggunakan laporan keuangan tengah tahun atau akhir kuartal kedua dari masing-masing emiten properti Tanah Air di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Emiten-emiten yang dimaksud dalam simulasi sederhana ini adalah PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI).

Kemudian, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Sentul City Tbk (BKSL), dan PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK).

Simulasi penerapan three red line, BEI/Riset: Ferry SandriaFoto: Simulasi penerapan three red line, BEI/Riset: Ferry Sandria
Simulasi penerapan three red line, BEI/Riset: Ferry Sandria

Terkait kode warna yang digunakan masing-masing menunjukkan indikasi berbeda, hijau menandakan kondisi finansial perusahaan telah sesuai dengan tiga aturan yang ditetapkan, kuning menandakan perusahaan melanggar satu kriteria, oranye mengindikasikan perusahaan tidak mematuhi dua kriteria dan merah berarti semua kriteria tidak terpenuhi sama sekali.

Berdasarkan simulasi yang dilakukan terlihat hanya terdapat satu perusahaan yang kondisi finansialnya sudah sesuai standar baru yang diterapkan di China.

Perusahaan tersebut adalah pengembang Mal Kota Kasablanka, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON). PWON merupakan satu-satunya perusahaan yang memiliki cash rasio lebih dari satu kali utang jangka pendek, tepatnya 1,34 kali. Hal ini mengindikasikan PWON dapat melunasi seluruh utang jangka pendeknya secara cepat meski harus diambil dari kas perusahaan.

Artinya jika aturan ini diterapkan di Indonesia, pertumbuhan utang tahun PWON bisa mencapai maksimal 15%.

Simulasi sederhana ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perusahaan yang dilabel merah atau melanggar semua kriteria, di mana level utang terhadap aset seluruh emiten properti RI masih berada di angka kurang dari 70%, artinya perusahaan masih mampu melunasi kewajiban utang dengan aset yang dimiliki.

Tiga perusahaan tercatat telah sesuai dengan dua kriteria, hanya terjanggal pada aturan rasio kas terhadap utang jangka pendek, di mana kas atau setara kas dari ketiga perusahaan tersebut (BSDE, BKSL, LPCK) tidak mencapai 1 kali besar utang jangka pendek.

Hal ini menandakan perusahaan tidak mampu melunasi seluruh kewajiban jangka pendek secara cepat dengan hanya menggunakan kas perusahaan saja.

Sedangkan lima perusahaan sisanya hanya memenuhi persyaratan rasio liabilitas terhadap aset kurang dari 70%, atau dengan kata lain, jika aturan ini diterapkan di Indonesia, pertumbuhan utang tahun lima emiten ini dibatasi maksimal 5%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular