Riset CNBC Indonesia

AS Ternyata Banyak Ngutang ke China-Jepang, Nih Buktinya!

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
22 September 2021 07:10
Presiden China Xi Jinping (kanan) berjabat tangan dengan Wakil Presiden AS Joe Biden  (4/12/2020).
Foto: Presiden China Xi Jinping (kanan) berjabat tangan dengan Wakil Presiden AS Joe Biden (4/12/2020). (AP/Lintao Zhang)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar 'gunungan' utang pemerintah Amerika Serikat (AS) menjadi sorotan dalam beberapa hari terakhir. Menteri Keuangan AS, Janet Yellen bahkan menyebutkan batas utang AS saat ini menembus US$ 28,4 triliun atau sekitar Rp 404.000 triliun (kurs Rp 14.250/US$).

Berdasarkan data dari Statista, per Agustus lalu, nilai utang AS mencapai US$ 28,427 triliun, nyaris sama dengan bulan sebelumnya, tetapi turun cukup jauh dari bulan Juni sebesar US$ 28,529 triliun.

Bicara utang pemerintah AS khususnya obligasi atau surat utang alias US Treasury, negara kreditor yang paling besar saat ini adalah China dan Jepang, berdasarkan data dari Departemen Keuangan AS (Department of Treasury).

Jepang menjadi pemegang Treasury AS terbesar sejak pertengahan 2019 lalu mengalahkan China. Pascaperang dagang antara AS dan China berkobar, pemerintah China cenderung melepas kepemilikan Treasury, sementara Jepang terus bertambah.

Kini, Jepang memiliki Treasury AS sebesar US$ 1,3 triliun, setara dengan Rp 18.520 triliun.

Sementara China menjadi negara kreditor terbesar kedua setelah Jepang, di mana China memiliki Treasury sebesar US$ 1,1 triliun atau Rp 15.670 triliun.

Setelah Jepang dan China, lima besar negara kreditur AS berikutnya ada di Inggris sebesar US$ 539,48 miliar atau Rp 7.687 triliun, Irlandia sebesar US$ 319,71 miliar atau Rp 4.555 triliun, dan Swiss sebesar US$ 298,32 atau setara Rp 4.251 triliun.

Berikut lima besar negara kreditor AS per Juli 2021.

Utang ASFoto: Departemen Keuangan AS
Utang AS

NEXT: AS Terancam Gagal Bayar di Oktober

Mengacu data Department of Treasury AS, Indonesia juga ikut membeli obligasi AS, yakni US$ 22,58 miliar atau setara dengan Rp 322 triliun dan Malaysia membeli US$ 10,43 miliar atau Rp 149 triliun.

Pemegang US Treasury di Asia per Juli 2021, dok Departemen of TreasuryFoto: Pemegang US Treasury di Asia per Juli 2021, dok Departemen of Treasury
Pemegang US Treasury di Asia per Juli 2021, dok Departemen of Treasury

Sebelumnya, Janet Yellen, meminta Kongres AS untuk menaikkan batas utang yang saat ini berada di batas sebesar US$ 28,4 triliun.

Yellen mengatakan bahwa jika batas utang tersebut tidak dinaikkan, maka pemerintahan AS akan mengalami penutupan sementara (shutdown) akibat kehabisan anggaran. Tidak sekedar shutdown, Negara Paman Sam dikatakan juga terancam mengalami gagal bayar (default) di Oktober mendatang hingga krisis finansial.

"Jika batas utang tidak dinaikkan, suatu saat di bulan Oktober, sulit untuk memprediksi kapan waktu tepatnya, saldo kas di Departemen Keuangan tidak akan mencukupi, dan pemerintah federal tidak akan mampu membayar tagihannya," tambah Yellen, dilansir CNBC International.

"Amerika Serikat tidak pernah mengalami default, tidak sekalipun."

"Jika terjadi default maka akan memicu krisis finansial yang bersejarah. Default bisa memicu kenaikan suku tajam suku bunga, penurunan tajam bursa saham, dan gejolak finansial lainnya," tegas Yellen.

Meski AS terancam mengalami shutdown hingga risiko default, tetapi Partai Republik menolak mendukung kenaikan batas utang tersebut.

Senator partai Republik dari Lousiana, Bill Casssidy mengatakan Partai Demokrat ingin menaikkan batas utang tersebut untuk membiayai rencana proyek triliunan dolar AS yang disebut "Democrat wish list".

Shutdown juga pernah terjadi berkali-kali. Sebelum isu kenaikan plafon utang terjadi di era Presiden AS ke-45, Donald Trump. Saat itu pemerintahan Amerika Serikat mengalami shutdown selama 35 hari pada periode Desember 2018 hingga Januari 2019.

Shutdown tersebut menjadi yang terpanjang dalam sejarah AS. Sebanyak 300 ribu pegawai pemerintah dirumahkan. Selain itu, PDB juga terpangkas. Pada kuartal IV-2018, PDB terpangkas sebesar 0,1%, sementara di kuartal I-2019 sebesar 0,2%, berdasarkan analisis Congressional Budget Office, sebagaimana dikutip CNBC International.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular