Top! Fitch Solutions Prediksi Rupiah Bakal ke Rp 14.000/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 September 2021 14:00
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar baik bagi rupiah terus berdatangan. Sebelumnya hasil survei 2 mingguan Reuters menunjukkan pelaku pasar kembali mengambil posisi beli (long) rupiah, kini Fitch Solutions memprediksi Mata Uang Garuda akan berada di Rp 14.000/US$ di akhir tahun ini.

Jika dilihat dari posisi penutupan perdagangan Rabu kemarin di RP 14.240/US$, rupiah berjarak sekitar 1,7% dari level psikologis Rp 14.000/US$. Tetapi level tersebut bukan merupakan yang terbaik bagi rupiah, sebab di awal tahun ini pernah menyentuh Rp 13.855/US$.

Proyeksi terbaru Fitch Solutions tersebut lebih kuat ketimbang bulan sebelumnya di Rp 14.300/US$. Yang menarik, meski saat nilai tukar rupiah diproyeksikan menguat, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru dipangkas, begitu juga dengan Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan akan kembali memangkas suku bunga.

Melihat proyeksi-proyeksi tersebut, artinya penguatan rupiah di sisa tahun ini kemungkinan akan terjadi akibat lesunya dolar Amerika Serikat (AS). Tidak hanya rupiah, beberapa mata uang Asia lainnya seperti ringgit Malaysia, won Korea Selatan, dan dolar Taiwan juga diprediksi menguat.

Dalam laporan bulanan edisi Agustus dengan judul Delta Variant a Severe Threat to Asia's Growth Recovery, Fitch Solutions memprediksi produk domestik bruto (PDB) Indonesia di tahun ini akan tumbuh 4,38%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 4,5%. Salah satu penyebab pemangkasan tersebut adalah penyebaran virus corona sejak Juli lalu, yang membuat pemerintah mengetatkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Hal yang sama membuat proyeksi PDB Malaysia juga dipangkas menjadi 4,95% di tahun ini,m dari sebelumnya 5,5%. Tetapi, ringgit Malaysia justru diperkirakan akan menguat ke RM 4,05/US$, dari sebelumnya RM 4,08/US$.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) yang sudah menahan suku bunga acuan 3,5% dalam 6 bulan beruntun diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,25%.

Ketika suku bunga diturunkan, maka imbal hasil (yield) obligasi akan ikut menurun sehingga ada risiko aliran investasi ke pasar obligasi tersendat. Tetapi di sisi lain, bunga pinjaman juga bisa ikut menurun, yang membuat roda perekonomian semakin bergeliat.

Inflasi yang rendah bisa menjadi salah satu alasan BI diperkirakan kembali memangkas suku bunga. Fitch Solutions memprediksi rata-rata inflasi Indonesia tahun ini sebesar 2,27%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Investor Mulai Borong Rupiah Lagi

Rupiah belakangan ini menunjukkan kinerja apik, mampu mencatat penguatan 3 pekan beruntun.

Ternyata, dibalik penguatan tersebut ada aksi investor yang mulai memborong rupiah lagi. Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan Reuters yang menunjukkan pelaku pasar mengambil posisi beli (long) untuk pertama kalinya sejak awal Juli lalu.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

idr

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Survei terbaru yang dirilis hari ini, Kamis (9/9/2021) menunjukkan angka untuk rupiah di -0,44, berbalik dari 2 pekan lalu 0,18.

Rupiah menjadi mata uang terbaik ketiga dari 9 mata uang, hanya kalah dari rupee India dan dolar Taiwan.

Survei ini terbilang konsisten dengan pergerakan rupiah sejak tahun lalu. Ketika pelaku pasar mengambil posisi long, maka rupiah cenderung menguat. Begitu juga sebaliknnya.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Tapering Tak Akan Buat Dolar AS Menguat Tajam?

Bank sentral AS (The Fed) sudah jelas menyatakan akan melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) di tahun ini.
Meski demikian, dolar AS tidak serta merta menguat tajam seperti di tahun 2013. Sebab, komunikasi The Fed kali ini dikatakan lebih bagus, sehingga membuat pasar sudah bersiap menghadapi tapering jauh-jauh hari.

Meski The Fed mengungkapkan akan melakukan tapering di tahun ini, tetapi kapan waktunya masih belum disebutkan.

Banyak yang melihat bulan November atau Desember menjadi awal pertama tapering. Tetapi rilis data tenaga kerja yang mengecewakan dan melambatnya inflasi membuat waktu tapering tersebut kembali diragukan.

Kementerian Ketenagakerjaan AS Selasa lalu melaporkan inflasi inti pada Agustus 2021 adalah 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Melambat dibandingkan Juli 2021 yang sebesar 0,3% dan menjadi yang terendah dalam enam bulan terakhir. Selain itu, inflasi inti tersebut lebih rendah dari hasil survei Reuters terhadap para ekonom sebesar 0,3%.

Dibandingkan dengan Agustus 2020 (year-on-year/yoy), laju inflasi inti adalah 4%. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 4,3% dan menjadi yang terendah dalam tiga bulan terakhir, dan lebih rendah dari ekspektasi 4,2%.

idr

Sementara di awal bulan ini, data penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) bulan Agustus dilaporkan sebanyak 235.000 orang, jauh di bawah survei Reuters terhadap para analis yang memprediksi sebanyak 750.000 orang. Tingkat pengangguran dilaporkan turun menjadi 5,2% dari sebelumnya 5,4%, sesuai dengan hasil survei Reuters, kemudian rata-rata upah per jam tumbuh 0,6% lebih tinggi dari bulan Juli 0,4%.

Meski tingkat pengangguran turun dan rata-rata upah per jam naik, tetapi yang lebih dilihat pelaku pasar adalah NFP. Sebab, mencerminkan kemampuan negara dengan perekonomian terbesar di dunia menciptakan lapangan pekerjaan.

Data inflasi dan tenaga kerja merupakan acuan The Fed dalam menetapkan waktu tapering. Pun, meski tapering jadi dilakukan tahun ini, The Fed tidak akan menaikkan suku bunga setelahnya.

"Waktu mengurangi pembelian aset tidak berarti menjadi pertanda waktu kenaikan suku bunga. Keduanya merupakan hal yang berbesar secara substansial," kata ketua The Fed, Jerome Powell dalam pertemuan Jackson Hole, Agustus lalu.

The Fed akan mengadakan rapat kebijakan moneter pekan depan. Suki Cooper, analis dari Standard Chartered Bank melihat tapering baru akan diumumkan pada bulan November, tetapi rapat kebijakan moneter The Fed bulan ini akan berisi dot plot, yakni proyeksi suku bunga untuk tahun 2024. Sehingga tetap akan menjadi perhatian besar bagi pelaku pasar.

"Meski pengumuman tapering tidak akan dilakukan hingga bulan November, rapat kebijakan The Fed bulan ini akan memberikan proyeksi suku bunga untuk tahun 2024. Dan proyeksinya akan sama dengan tahun 2023, yakni dua kali kenaikan suku bunga," kata Cooper.

Artinya, jika proyeksi Cooper tepat, maka The Fed akan menaikkan suku bunga dua kali di tahun 2023, dan dua kali juga di 2024. Kenaikan tersebut terbilang tidak agresif, sehingga akan menguntungkan bagi rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular