Raksasa Properti China Terlilit Utang, Perusahaan RI Juga?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 September 2021 10:24
Ilustrasi Mata Uang
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah utang perusahaan di Tanah Air masih aman?

Menurut catatan Bank Indonesia (BI), Utang Luar Negeri (ULN) swasta (termasuk BUMN) tumbuh 0,1% pada Juli 2021 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Lebih tinggi dibandingkan Juni 2021 yang membukukan kontraksi (pertumbuhan negatif) 0,2% yoy.

Pertumbuhan ULN swasta tersebut disebabkan oleh pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan sebesar 1,5% yoy, melambat dari 1,7% yoy pada bulan sebelumnya. Sementara itu, pertumbuhan ULN lembaga keuangan mengalami kontraksi sebesar 5,1% yoy, lebih rendah dari kontraksi bulan sebelumnya sebesar 6,9% yoy.

Dengan perkembangan tersebut, posisi ULN swasta pada Juli 2021 tercatat sebesar US$ 207 miliar, turun dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya sebesar US$ 207,8 miliar. ULN tersebut masih didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 76,6% terhadap total ULN swasta.

Dalam keterangan tertulis Mei 2021 lalu, Fitch menyebut bahwa risiko gagal bayar (default) surat utang korporasi di Indonesia sudah mencapai puncaknya pada 2020. Memasuki 2021, risiko itu semakin menurun.

"Kami memperkirakan risiko default surat utang korporasi turun pada 2021. Meski demikian, pandemi yang berkepanjangan akan membebani likuiditas dan upaya pemulihan," sebut Fitch.

Tahun lalu, Fitch mencatat nilai default surat utang korporasi (domestik, valas, konvensional, dan sukuk) mencapai Rp 10 triliun. Melonjak hampir 35 kali lipat dibandngkan 2019 yang sebesar Rp 300 miliar. Lebih dari 20 penerbit obligasi mengalami default pada 2020, tahun sebelumnya hanya tiga.

Seperti di China, perusahaan properti dan real estat mendominasi penerbit obligasi yang default. Sektor ini memang mengalami pukulan berat akibat pandemi, apalagi saat aktivitas dan mobilitas masyarakat dibatasi.


Salah satu penyebab default adalah tingginya biaya bunga. Penerbit obligasi yang mengajukan restrukturisasi memiliki kewajiban membayar kupon 11-12%. Padahal biaya dana di perbankan sudah jauh lebih rendah dari itu.

Kalau melihat data ULN dan pernyataan Fitch bahwa 'badai' sudah berlalu, maka sepertinya utang korporasi di Indonesia masih relatif aman. Namun ini akan tergantung dari dinamika pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Jika pandemi kembali mengganas, yang membuat pemerintah terpaksa mengetatkan pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat, maka arus kas korporasi akan seret karena pendapatan anjlok. Akibatnya, risiko utang kembali meninggi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular