Analisis

Apa Iya Saham Blue Chip Mahal, Bikin Ritel Beli Saham Receh?

Putra, CNBC Indonesia
16 September 2021 09:55
Public Expose Live 2019 (CNBC Indonesia/Monica Wareza)
Foto: Public Expose Live 2019 (CNBC Indonesia/Monica Wareza)

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham unggulan alias blue chip dengan fundamental baik biasanya memiliki nilai kapitalisasi pasar (market capitalization/market cap) yang besar ( di atas Rp 100 triliun) dan produk yang sudah dikenal luas di pasaran serta usia perusahaan yang tidak muda lagi (mature).

Bagi investor ritel dengan modal cekak, semisal kurang dari Rp 1 juta, beberapa saham blue chip memang menjadi tidak terjangkau alias mahal bagi kantong ritel.

Contoh paling sederhana adalah saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Saham perbankan dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia ini harga per sahamnya dibanderol di Rp 32.475/saham pada penutupan perdagangan Rabu kemarin (15/9).

Jika investor ritel ingin membeli 1 lot (100 saham, minimal pembelian) saham BBCA maka modal yang harus dikeluarkan sebesar Rp 3.247.500 belum termasuk fee broker. Secara nominal memang mahal jika modal investor ritel kurang dari Rp 1 juta.

Hal inilah yang menyebabkan perseroan merencanakan aksi korporasi berupa stock split (pemecahan nilai nominal) BBCA, nantinya saham bank yang dimiliki Group Djarum tersebut akan dipecah 1:5 agar harganya lebih terjangkau oleh investor ritel.

Berikut harga saham-saham berkapitalisasi pasar besar yang produknya sudah terkenal di masyarakat.

Emiten

Harga/Unit

Market Cap (Rp triliun)

BBCA

32,475

808

BBRI

3,660

559

TLKM

3,450

332

BMRI

6,125

287

ASII

5,400

221

UNVR

4,040

154

HMSP

995

116

BBNI

5,350

101

ICBP

8,375

98

GGRM

32,000

62

NEXT: Bagaimana Tentukan Mahal atau Murah?

Bisa dilihat sejatinya harga per saham-saham tersebut cukup mahal secara nominal meskipun sejatinya memberikan cap mahal kepada harga saham blue chip dan saham pada umumnya hanya dari nilai nominalnya saja jelas sangat menyesatkan.

Menilai harga suatu saham itu murah (undervalue), wajar (fair value) atau premium (overvalue) harus ditinjau dari valuasinya dengan metrik yang tepat serta dibandingkan dengan pesaing di industri sejenis. Jadi saham yang nilai nominalnya besar belum tentu lebih mahal dari saham dengan nominal lebih kecil.

Saham-saham blue chip ini juga memiliki karakteristik di mana harganya jarang bergerak banyak dalam sehari, apabila turun hanya akan turun sedikit dan apabila naik hanya akan terapresiasi kecil saja.

Hal inilah yang tentunya menyebabkan saham-saham ini hanya akan memberikan cuan yang oke dalam jangka waktu panjang sangat berbeda dengan saham dengan harga nominal kecil yang berada di kategori second maupun third liner yang kinerja harganya sangat cepat untuk mengalami fase uptrend. Tak jarang sahamnya adalah saham gorengan yang berisiko tinggi.

Namun karena secara nominal lebih terjangkau dan lebih cepat cuan besar banyak investor ritel yang tergiur di arena ini. Saham-saham blue chip pun seolah tak dilirik apalagi sekarang sentimennya sedang digitalisasi dan saham-saham blue chip ini tergolong old economy.

Apalagi harga beberapa saham blue chip yang terus menurun juga dibarengi dengan adanya rencana rebalancing IHSG menggunakan metode free float dari sebelumnya market cap weighted.

Ini artinya saham-saham blue chip dan big cap sebelumnya bisa terdepak lantaran free float-nya kecil. Otomatis bobot terhadap indeks pun berkurang dan bisa menurunkan inflow fund yang berinvestasi menggunakan strategi passive indeks.

Tak heran banyak investor ritel terutama milenial memburu saham receh karena harga saham-saham blue chip yang sudah kemahalan dan potensi cuan dalam waktu cepat yang ditawarkan oleh saham-saham mini meskipun tentunya lebih berisiko.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular