Dikejar Satgas, Siapa Thee Ning Khong yang Nunggak Dana BLBI?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
15 September 2021 07:20
Seremoni Penguasaan Aset Eks BLBI oleh Satgas BLBI (Tangkapan Layar Youtube)

Jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) memanggil 13 nama debitur pengemplang dana BLBI.

Hal tersebut diumumkan langsung oleh Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban melalui surat pengumuman di surat kabar nasional yang dikutip CNBC Indonesia, Selasa (14/9/2021).

Salah satu nama yang dipanggil Satgas adalah komisaris utama emiten produsen baja beton PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW) Thee Ning Khong.

Menurut surat pengumuman tersebut, Thee Ning Khong harus menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI setidak-tidaknya sebesar Rp 90.667.982.747 (Rp 90,67 miliar).

Informasi saja, Thee Ning Khong ikut menerima dana BLBI lantaran ia adalah eks pemilik Bank Baja Internasional yang menjadi salah satu bank bermasalah waktu itu dan mendapatkan sokongan dari dana BLBI tersebut.

Menurut pemberitaan Detikcom pada 27 April 2004, Bank Baja Internasional masuk ke dalam daftar 50 BBO/BBKU (Bank Beku Operasi/Bank Beku Kegiatan Usaha) yang secara resmi dilikuidasi oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Sebenarnya, JKSW dan perusahaan yang berelasi dengannya yakni PT Jakarta Steel Megah Utama, juga termasuk 13 daftar di atas. Kedua perusahaan tersebut memiliki utang dana BLBI masing-masing sebesar Rp 86.347.894.759 (Rp 86,35 miliar) dan Rp 69.080.367.807 (Rp 69,08 miliar).

Lantas, siapakah sebenarnya Thee Ning Khong?

Menurut laporan tahunan JKSW tahun 2020, Thee Ning Khong adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang lahir di Bandung pada 76 tahun silam.

Ia memang tidak asing dengan industri baja, lantaran sejak 1969 Thee Ning Khong menjadi pemilik dan pimpinan PT Fumira.

Kemudian, karier di dunia bajanya berlanjut dengan menjadi pelopor di PT Budidharma, PT Jakarta Prima Steel Industry, PT Maxifero Steel Industry, PT Jakarta Cakratunggal Steel Mills dan JKSW.

Selanjutnya, sejak 1989 sampai 1994 Thee Ning Khong menjabat managing director di perusahaan-perusahaan properti, seperti perusahaan kawasan industri milik Argo Manunggal Group yang dikendalikan keluarga The Ning King PT Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk (BEST).

Catatan saja, BEST melantai di bursa pada 10 April 2021, jauh setelah Thee Ning Khong bekerja di sana.

Selain di BEST, Thee Ning Khong juga sempat menjadi direktur di perusahaan properti The Ning King lainnya, yakni anak usaha emiten properti PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), PT Alfa Goldland Realty.

Saat ini, Thee Ning Khong juga menjabat Direktur Utama PT Jakarta Steel Megah Utama. Adapun di JKSW, Thee Ning Khong sudah bergabung sejak 1995 sebagai Komisaris Utama Perseroan.

Sayangnya, lantaran terbatasnya informasi yang tersedia, Tim Riset CNBC Indonesia belum dapat memastikan hubungan kekerabatan--jika memang ada--antara Thee Ning Khong dan The Ning King, selain fakta bahwa Thee Ning Khong sempat bekerja di perusahaan The Ning King dan bahwa keduanya sama-sama dilahirkan di Bandung.

The Ning King juga sempat tersandung kasus BLBI yang mana ia adalah pemilik Bank Danahutama yang ikut berutang ke negara.

Namun, menurut pemberitaan Detikcom pada 7 Februari 2006, The Ning King ternyata masuk ke daftar nama debitur yang mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL) dari BPPN (badan ini bubar pada 30 April 2004).

SKL merupakan bukti jaminan pembebasan dari tuntutan hukum atau yang biasa disebut release and discharge.

NEXT: Nasib JKSW: Defisiensi Modal dan Terancam Delisting

Emiten Thee Ning Khong, JKSW, saat ini sedang disuspensi (penghentian sementara perdagangan) oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) terhitung sejak 2 Mei 2019.

Pihak bursa sendiri telah mengumumkan bahwa JKSW berpotensi didepak alias delisting paksa sehubungan suspensi saham perusahaan sudah mencapai 24 bulan pada 2 Mei 2021.

Terakhir sahamnya diperdagangkan di level Rp 60/saham dengan kapitalisasi pasar Rp 9 miliar.

Berdasarkan Peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham di Bursa, BEI dapat menghapus saham perusahaan tercatat apabila mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status perusahaan tercatat sebagai perusahaan terbuka.

Selain itu, perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai, hal ini sesuai dengan Ketentuan III.3.1.1 Peraturan Bursa.

Memang, kinerja keuangan JKSW tidak menggembirakan.

Menurut keterbukaan informasi di BEI, sepanjang 2020 perusahaan tidak mencatatkan transaksi penjualan sehingga perusahaan mengalami rugi bersih Rp 1,13 miliar.

Selain itu, pada tahun lalu, JKSW mengalami kekurangan modal berjumlah Rp 496,86 milyar.

Hal tersebut terjadi lantaran pihak JKSW mempertimbangkan kepastian kerugian apabila produksi tetap dijalankan dengan teknologi terpasang saat ini.

"Prediksi akan timbul kerugian yang semakin besar dikarenakan akan terjadi ketidakpastian dalam pemasaran hasil barang jadi Perseroan yang disebabkan harga barang jadi kompetitor lebih murah, mengingat Perseroan masih menggunakan mesin rolling teknologi lama dan tidak mempunyai peleburan bahan baku billet," jelas manajemen JKSW, dikutip CNBC Indonesia, Selasa (14/9/2021).

Manajemen JKSW juga mengatakan, "masih berupaya mencari investor/kerja sama agar dapat menjalankan kegiatannya dan tidak menutup kemungkinan untuk mencari kerjasama di bidang lainnya," tulis manajemen JKSW.

Sementara, menurut laporan keuangan semester I 2021, JKSW berhasil membukukan penjualan sebesar Rp 1,46 miliar, kendati masih mencatatkan rugi bersih Rp 665,12 juta secara tahunan (year on year), lebih rendah dibandingkan rugi bersih semester I 2020 sebesar Rp 989,23 juta.

Namun, perusahaan masih juga mengalami defisiensi modal, yakni sebesar Rp 497,53 miliar, naik dari posisi akhir Desember 2020 sebesar Rp 496,86 miliar.

Saham JKSW sudah lama melantai di bursa. Jakarta Kyoei Steel Works didirikan berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing Republik Indonesia No. 1 tahun 1967 dan memulai produksi komersialnya pada tahun 1976.

Sesuai dengan pasal 3 Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan Perusahaan meliputi industri dan perdagangan besi beton. Kantor pusat dan lokasi utama bisnis Perusahaan terletak di Jl. Rawa Terate II No. 1 Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta, Indonesia.

Pada tahun 1997 atau 24 tahun silam, perusahaan melakukan penawaran umum sebanyak 50.000.000 saham dengan nilai nominal Rp 500 per saham yang ditawarkan dengan harga perdana sebesar Rp 650 per saham.

Pernyataan pendaftaran untuk penawaran umum saham tersebut telah dinyatakan efektif oleh Bapepam (kini OJK) dalam surat No. S-1453/PM/1997 tanggal 27 Juni 1997. Pencatatan saham tersebut dilakukan pada 6 Agustus 1997.

Thee Ning Khong memiliki kepemilikan pribadi di saham JKSW sebanyak 2 juta saham atau 1,33% dari total saham perusahaan. 

Selain Thee Ning Khong, Ada Nirwan & Indra Bakrie

Sebelumnya, Satgas BLBI memanggil 13 nama debitur pengemplang dana BLBI. Selain Thee Ning King, ke-13 nama yang dipanggil di antaranya adalah Andrus Roestam Moenaf, Pinkan Warrouw, Nirwan Dermawan Bakrie, Indra Usmansyah Bakrie, dan Anton Setianto dari PT Usaha Mediatronika Nusantara. Perusahaan diketahui memiliki utang Rp 22,7 miliar.

Mereka harus memenuhi panggilan Satgas BLBI pada Jumat 17 September 2021 di Gedung Syafrudin Prawiranegara Lantai 4 Utara, Kementerian Keuangan RI, Jl. Lapangan Banteng Timur 2-4, Jakarta Pusat pada pukul 09.00 - 11.00 WIB.

Mereka diminta menghadap Ketua Pokja Penagihan dan Litigasi Tim C untuk menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada negara.

"Menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI setidak-tidaknya sebesar Rp 22.677.129.206 dalam rangka penyelesaian kewajiban debitur Bank Pute Multikarsas," seperti dikutip pengumuman yang ditandatangani Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban.

Debitur lainnya yang dipanggil adalah atas nama Thee Ning Khong, The Kwen le, PT Jakarta Kyoei Steel Works Ltd Tbk, PT Jakarta Steel Megah Utama, dan PT Jakarta Steel Perdana Industry.

Dalam hal ini, mereka yang diminta menghadap adalah Thee Ning Khong, The Kwen le, Harry Lasmono Hartawan, Koswara, Haji Sumedi, Fuad Djapar, Eddy Heryanto Kwanto, dan Mohamad Toyib.

Mereka diminta menghadap Ketua Pokja Penagihan dan Litigasi Tim C pukul 13.30-15.00 WIB untuk menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI setidak-tidaknya masing-masing sebesar:

- Rp 90.667.982.747 atas nama Thee Ning Khong

- Rp 63.235.642.484 atas nama The Kwen le

- Rp 86.347.894.759 atas nama PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk

- Rp 69.080.367.807 atas nama PT Jakarta Steel Megah Utama

- Rp 69.337.196.123 dalam rangka penyelesaian kewajiban debitur eks Bank Global Internasional atas nama PT Jakarta Steel Perdana Industry

Pengumuman dilakukan melalui dua pengumuman di dalam satu halaman surat kabar nasional. Satgas BLBI menegaskan, apabila ke-13 nama yang dipanggil tersebut tidak memenuhi kewajiban hak tagih negara, pemerintah akan menindak sesuai aturan hukum yang berlaku.

"Dalam hal Saudara tidak memenuhi kewajiban penyelesaian hak tagih Negara, maka akan dilakukan tindakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Demikian pengumuman ini untuk dipenuhi," bunyi penutup pengumuman tersebut.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Miris! 24 Tahun Listing, Emiten Besi Beton Ini Mau Delisting

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular