Analisis

Duh Harga Nikel Anjlok Nyaris 1%, Nasib ANTM-INCO dkk Gimana?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
03 September 2021 08:35
nikel

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham nikel cenderung ditutup melemah pada perdagangan Kamis (2/9/2021), seiring terkoreksinya harga kontrak berjangka komoditas nikel setelah mencatatkan reli kenaikan selama 3 hari beruntun.

Kendati akhir-akhir ini cenderung dilego investor, secara year to date (ytd) sejumlah saham nikel masih mencatatkan kenaikan. Hal ini berkat sentimen dari produsen mobil listrik asal Amerika Serikat (AS) Tesla yang disebut-sebut akan menggelontorkan dana besar untuk membangun pabrik baterai mobil listrik di Indonesia dan prospek cerah industri nikel.

Sontak saja pada awal tahun 2021 saham-saham nikel melesat tinggi dan seringkali masuk daftar 10 besar saham teraktif di bursa, sebelum akhirnya kembali loyo setelah kejelasan investasi Tesla di Indonesia tidak menemui titik temu.

Berikut ini tabel kinerja saham-saham nikel secara harian dan ytd, mengacu data BEI:

Kinerja Saham-Saham Nikel secara YTD

Emiten

Kode Ticker

Harga Terakhir (Rp)

% 1 Hari

% Year To Date (ytd)

Harum Energy

HRUM

4900

1.03

64.43

Aneka Tambang

ANTM

2320

-2.93

19.90

PAM Mineral

NICL*

117

-6.4

17.00

Timah

TINS

1475

-1.67

-0.67

Vale Indonesia

INCO

5025

0.00

-1.47

Pelat Timah Nusantara

NIKL

1005

-0.99

-30.45

Harga terakhir per 2 September 2021 | *% YTD NICL per harga IPO pada 9 Juli 2021

Sumber: Bursa Efek Indonesia (BEI)

Apabila menilik data di atas, saham emiten milik taipan Kiki Barki HRUM masih melonjak 64,43% sejak awal tahun. Namun, Kamis kemarin saham ini ditutup turun 1,03% ke posisi Rp 4.900/saham.

Mengenai kinerja fundamental, HRUM melaporkan pendapatan sebesar US$ 115,72 juta atau setara dengan Rp 1,66 triliun (kurs Rp 14.500/US$) sepanjang paruh pertama tahun 2021, naik 12,85% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 102,55 juta (Rp 1,49 triliun).

Meskipun pendapatan perusahaan tumbuh, laba bersih HRUM malah tercatat menyusut setengahnya atau turun 52,77% dari semula mencapai US$ 21,93 juta (Rp 317,98 miliar) pada semester I-2020, kini terkoreksi menjadi US$ 10,35 juta (Rp 150,07 miliar).

Di posisi kedua ada saham emiten pelat merah ANTM yang pada perdagangan Kamis ambles 2,93%. Secara ytd, saham ini juga berhasil melesat 19,90%.

Saham ANTM, bersama TINS dan INCO, adalah saham nikel primadona kala investor tersengat sentimen Tesla pada awal tahun ini. Ketiganya mendominasi 10 besar saham teraktif di bursa setidaknya selama 3 bulan pertama 2021.

TINS sendiri turun 0,67% secara ytd, sementara INCO terkoreksi 1,47% sejak awal tahun.

Untuk TINS, emiten ini berhasil membukukan laba bersih senilai Rp 270,05 miliar pada semester pertama tahun ini.

Perolehan ini berkebalikan dari periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencatatkan kerugian sebesar Rp 390,07 miliar.

Mengacu publikasi laporan keuangan perusahaan, TINS mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 27% dari Rp 8,03 triliun menjadi Rp 5,87 triliun. Namun, perolehan EBITDA meningkat menjadi Rp 1,04 triliun dari sebelumnya Rp 348 miliar.

Adapun NICL baru melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) pada 9 Juli lalu, sehingga kinerja saham sejak awal IPO tampaknya tidak begitu dipengaruhi oleh 'hype' Tesla sebelumnya. Sejak 'manggung' di bursa saham ini naik 17,00%.

Harga Nikel Kena Profit Taking

Harga nikel bergerak turun pada perdagangan sore kemarin. Sepertinya aksi ambil untung (profit taking) menjadi latar belakang koreksi harga.

Pada Kamis (2/9/2021) pukul 16:18 WIB, harga nikel tercatat US$ 19.395/ton. Turun 0,99% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Turunnya harga nikel pada Kamis karena aksi profit taking setelah harga nikel naik selama 3 hari kemarin sebesar 4,23% sejak 27 Agustus 2021. Nikel masih berada dalam tren penguatan sepanjang 2 minggu terakhir yang naik. Sementara secara ytd harga nikel melonjak 23,93%.

Pada Rabu (1/9/2021) pukul 12:29 WIB, harga nikel tercatat US$ 19.590/ton. Naik 2,89% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Meski naik tajam, tetapi harga belum mencatat rekor baru. Saat ini, rekor masih dipegang oleh US$ 19.833/ton yang terjadi pada 29 Juli lalu.

Naiknya harga nikel 2 minggu terakhir terdorong pesanan untuk produk stainless steel berlanjut sampai akhir tahun.

NEXT: Tenang, Masih Ada Kabar Baik buat Saham Nikel!

Asal tahu saja, nikel adalah salah komponen untuk membuat stainless steel. Setelah berbagai negara bebas dari karantina wilayah (lockdown) untuk meredam pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), permintaan produk ini melesat.

Saat permintaan tinggi, pasokan nikel justru merosot. Persediaan nikel mentah di gudang ShFE anjlok 89% dari awal tahun menjadi 4.455 ton. Begitu juga dengan stok di gudang LME yang jatuh menyentuh angka terendahnya sejak Januari 2020 yaitu 194.466 ton.

Pada saat bersamaan, ekspansi mobil listrik juga dongkrak permintaan nikel global hingga 18% di 2021 dari tahun lalu. Nikel juga menjadi komponen penting dalam pembuatan baterai mobil listrik. Sehingga membuat harga nikel meningkat pada bulan Agustus 2021.

Meski berhasil melesat sejak awal tahun, menurut lembaga riset Wood Mackanzie, ke depan masih ada tantangan untuk nikel karena seruan pengurangan produksi stainless steel di China saat ekonomi mulai melemah. Kekurangan chip semikonductor untuk otomotif juga bisa mengganggu permintaan nikel pada kuartal-IV 2021 hingga 2022.

Wood Mackanzie memperkirakan harga nikel akan jatuh ke US$ 18.000/ton pada kuartal-IV ini dari US$ 19.050/ton pada kuartal sebelumnya.

Masih Ada Sentimen Positif untuk Nikel

Sentimen positif yang masih menjadi katalis pendorong saham-saham nikel adalah terkait proyek komponen baterai kendaraan listrik yang masih terus menjadi fokus pemerintah.

Cita-cita ini menjadi kian nyata dengan berdirinya holding BUMN baterai bernama Indonesia Battery Corporation (IBC) atau PT Industri Baterai Indonesia. IBC ini ditargetkan membangun industri baterai terintegrasi dari hulu hingga hilir.

Direktur Utama PT Industri Baterai Indonesia Toto Nugroho menargetkan pada 2026 mendatang RI sudah bisa memasarkan baterainya di pasar internasional.

Dia menjelaskan, tahun ini pihaknya akan melakukan kajian secara mendetail untuk pembentukan perusahaan patungan atau joint venture (JV) dengan masing-masing calon mitra. Kemudian, pada 2022 dan 2023, akan mulai mengembangkan dari sisi pertambangan.

"Tahun 2025 atau 2024 akhir mendapatkan baterai dari produksi Indonesia langsung, bisa untuk konsumsi domestik dan ekspor," paparnya dalam diskusi bertema 'Building EV Ecosystem in Indonesia', Rabu (25/08/2021).

Sebagai informasi, IBC ini dimiliki oleh empat BUMN sektor pertambangan dan energi, yakni Holding BUMN Industri Pertambangan MIND ID (PT Indonesia Asahan Aluminium/Inalum), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).

Selain itu, wujud keseriusan pemerintah menggarap industri nikel ditandai juga dengan adanya sejumlah proyek pengolahan dan pemurnian (smelter) komponen baterai, tepatnya smelter nikel berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL), tengah dibangun di Indonesia.

Tak main-main, total investasi untuk enam proyek bahan baku komponen baterai di Tanah Air ini diperkirakan mencapai US$ 6,25 miliar atau sekitar Rp 91 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per US$).

Sejurus dengan itu, pemerintah juga telah memutuskan untuk menghentikan ekspor bahan mentah nikel sejak tahun lalu untuk fokus pada hilirisasi nikel dalam negeri.

Kabar teranyar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut bahwa dihentikannya ekspor bahan mentah untuk nikel sejak 1 Januari 2020 telah menunjukkan hasil positif bagi perekonomian negeri ini.

Dia menyebut, ekspor besi baja dalam paruh pertama tahun ini telah menembus US$ 10,5 miliar atau sekitar Rp 152 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per US$).

Hal tersebut dikemukakan Jokowi saat memberikan pengarahan dalam Sarasehan 100 Ekonom dengan tema Penguatan Reformasi Struktural Fiskal dan Belanja Berkualitas di Tengah Pandemi yang digelar INDEF dan CNBC Indonesia secara virtual, Kamis (26/8/2021).

"Hilirisasi, sudah kita mulai stop ekspor bahan mentah nikel, kemudian semuanya harus dihilirisasi. Hasilnya, mulai kelihatan. Ekspor besi baja kita, dalam setengah tahun ini sudah berada sekitar US$ 10,5 miliar," ungkap Jokowi.

Dia mengatakan, dengan suksesnya hilirisasi nikel saat ini, maka dirinya akan mendorong hilirisasi komoditas lainnya, seperti bauksit, emas, tembaga, hingga minyak sawit (CPO).

TIM RISET CNBC INDONESIA


(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ramai-ramai Profit Taking, Saham TINS-ANTM-INCO cs Ambruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular