Ingat Krisis Taper Tantrum? Arah Angin RI Kini Menuju ke Sana

Cantika Adinda Putri & Maikel Jefriando, CNBC Indonesia
23 August 2021 07:02
Infografis: Tips Menghasilkan Uang Kalau Resesi (Amit-amit) Terjadi
Foto: Infografis/Tips Menghasilkan Uang Kalau Resesi (Amit-amit) Terjadi/Abad/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Siapa sangka masa-masa indah penuh kemewahan orang kaya baru di Indonesia harus berakhir di 2013. Mimpi buruk yang menjadi nyata setelah pernyataan dari Pimpinan the Fed Ben S. Bernanke.

Berdasarkan informasi yang dihimpun CNBC Indonesia, Senin (23/8/2021), kala itu, ekonomi Indonesia memang di atas angin. Tumbuh pada rata-rata di atas 6%, rupiah perkasa bahkan di level 8.000 per dolar AS, neraca transaksi berjalan surplus dan lonjakan harga komoditas. Kemewahan yang luar biasa seakan wajah Indonesia sebagai negara maju ada di depan mata.

Namun pada Juni 2013 Bernanke mengeluarkan pernyataan bombastis, yaitu the Fed segera memulai pengurangan pembelian obligasi.

Sontak pasar keuangan terguncang hebat, termasuk di Indonesia. Investor seperti kebingungan. Bergerak kesana kemari, ke luar masuk sambil terus mencari makna yang pasti dari pernyataan tersebut. Sampai akhirnya di September 2013, pasar dibuat lega dengan kepastian tappering benar akan terjadi tapi diundur sambil melihat perkembangan ekonomi AS.

Tapi itu tidak mengubah kenyataan kalau dana asing yang selama ini bertengger di banyak negara berkembang harus kembali ke pangkuan orang tuanya, negeri Paman Sam. Rupiah seketika anjlok melewati Rp 10.000 per dolar AS kemudian sampai ke Rp 12.000 per dolar AS.

Pantas banyak orang menyebut 'kiamat telah datang'. Anjloknya rupiah membuat harga barang impor ikut melonjak. Bayangkan, Indonesia di tengah pembangunan hebat membutuhkan bahan baku dan penolong dari negara lain. Kemudian korporasi dengan utang segunung dalam valuta asing. Belum lagi para orang kaya baru yang gemar mengkonsumsi barang branded. Banyak dari mereka yang terlibat mengibarkan bendera putih.

Pemerintah ada. Negara hadir tapi tekanan ini terlalu kuat. Pemerintah lewat Menteri Keuangan Chatib Basri sibuk membenahi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar defisitnya tidak melebihi 3% dari PDB.

Dulu ada persoalan yang namanya Bahan Bakar Minyak (BBM). Komoditas politik musiman. Selalu hadir setiap tahun, setiap kali ada kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar rupiah. Dibahas antara pemerintah dan DPR untuk menentukan BBM jenis premium dan solar naik atau tidak. Sekarang tentu dramanya sudah tidak ada karena berganti sistem.

Persoalan melebar ke inflasi yang diproyeksi bisa mencapai 9%. Ini artinya para bunda di rumah akan menjerit karena harga beras, cabai dan daging serta bumbu dapur ikut melonjak. Akhirnya pemerintah juga harus memikirkan nasib rakyat miskin yang terdampak. Untung ada jurus bernama Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Pemerintah juga menahan laju impor lewat berbagai kebijakan agar kebutuhan akan valas menjadi berkurang dan BI tidak kehabisan asupan karean keseringan berada di pasar.

Bank Indonesia (BI) tugasnya adalah menjaga inflasi dan nilai tukar rupiah agar tetap stabil. Agus Martowardojo, yang baru saja dilantik sebagai Gubernur harus mengambil sikap dengan menaikkan suku bunga acuan 25 bps. Padahal jabatannya baru seusia jagung.

Agus sepertinya tak mau kompromi menahan inflasi dan laju nilai tukar. Bahkan di Agustus 2013, Agus Marto menggelar dua kali RDG dalam sebulan, dan memutuskan menaikkan lagi bunga acuan tepatnya pada 29 Agustus 2013 setelah pada Juli BI Rate telah naik 50 bps. Totalnya suku bunga dinaikkan sebesar 175 basis poin, dalam rentang 8 bulan.

Akhir dari kisah ini cukup baik. Regulator kembali punya kesempatan untuk mendorong ekonomi lebih tinggi. Layaknya orang Indonesia pada umumnya, ini kemudian menjadi evaluasi untuk melahirkan kebijakan yang lebih baik. Terutama tidak terlena ketika berada di atas angin.

Bank Indonesia (BI) meyakini dampak kebijakan tapering dari Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) terhadap Indonesia tidak akan seburuk kondisi taper tantrum pada 2013-2014 lalu.

Hal ini ditegaskan oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo usai Rapat Dewan Gubernur tengah pekan lalu.

"Bahwa kebijakan tapering fed dampaknya tidak akan sebesar taper tantrum pada 2013. Fed tapering yang dilakukan dampaknya ke global dan emerging market khususnya Indonesia Insya Allah tidak sebesar seperti taper tantrum 2013," jelasnya.

Apa alasannya?

Perry menyampaikan, pertama adalah komunikasi yang lebih jelas antara bank sentral dan pelaku pasar. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan dan reaksi pelaku pasar bisa sejalan atau tidak menimbulkan kepanikan.

"The Fed komunikasinya jelas, kerangka kerjanya kayak apa, inflasi dan pengangguran dan rencana taperingnya. Tentu saja dengan demikian, pasar semakin memahami pola kerja, kerangka kerja Fed," paparnya.

Kedua, BI memiliki instrumen triple intervention yang meliputi Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

"Kerjasama BI dan Kemenkeu, bagaimana perbedaan yield SBN dalam dan luar negeri. Itu akan menarik investor asing," terangnya.

Ketiga adalah cadangan devisa Indonesia yang tinggi yaitu mencapai US$ 137,3 miliar setara dengan pembiayaan 8,9 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

"Jadi jauh lebih cukup untuk stabilisasi," tegas Perry.

Lalu bagaimana nasib rupiah ke depannya?

Perry tidak menampik kondisi tersebut akan mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah. Hanya saja lebih terkendali atau rupiah tidak akan jatuh dengan dramatis.

"Di pasar valas (valuta asing) ada tekanan ke rupiah dan BI tetap berjaga di pasar. Kalau kurang kami lakukan stabilitas secara terukur," ungkapnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular