Taper Tantrum Bikin Geger, ke Mana Nasib Rupiah Bakal Dibawa?

Maikel Jefriando, CNBC Indonesia
Jumat, 20/08/2021 13:25 WIB
Foto: Ekonom Optimistis Efek Tapering ke Pasar Domestik Tak Sebesar 2013(CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu tapering di Amerika Serikat (AS) menimbulkan gejolak pada pasar keuangan global. Begitu juga Indonesia, di mana sejak kemarin menekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah.

Bagaimana ke depannya?

"Saya kira pergerakannya akan sekitar Rp 14.500/ US$," ungkap Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual, Jumat (20/8/2021)


Peluang nilai tukar rupiah untuk menguat juga masih ada, seiring dengan derasnya aliran modal masuk dalam beberapa waktu terakhir. Begitu juga peluang untuk melemah dipengaruhi sentimen negatif dari isu tapering AS. Peran Bank Indonesia penting untuk menjaga pergerakan tetap stabil di level tersebut.

"Rupiah yang stabil itu sebetulnya diinginkan, karena sektor rill, pelaku kegiatan ekspor impor tentu tidak ingin ada ketidakpastian lagi dari masalah kurs," terangnya.

Terkait kesiapan Indonesia menghadapi tapering, David sepakat dengan pernyataan Bank Indonesia. Bahwa dampak yang ditimbulkan tidak akan separah 2013. Di mana membuat rupiah melemah dalam dan ekonomi secara makro juga tertekan.

Perbedaan paling mencolok adalah porsi asing di pasar obligasi dalam negeri. Pada 2013 lalu porsi asing mencapai 40%, sehingga ketika ada pergerakan keluar masuk mempengaruhi nilai tukar hingga suku bunga acuan. Sementara sekarang porsi asing hanya sekitar 25%.

"Jadi saya setuju dampaknya akan berbeda dengan yang terjadi pada 2013," imbuhnya.

Di sisi lain, BI juga memiliki cadangan devisa yang cukup untuk melakukan stabilisasi, yaitu US$ 137,3 miliar. Setara dengan pembiayaan 8,9 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor

BI sudah menyiapkan berbagai amunisi yang dikenal dengan triple intervention yang meliputi Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Bila ada kesulitan likuiditas, BI mempunyai sederet perjanjian kerja sama dengan banyak negara. Termasuk dengan AS melalui repurchase agreement line (repo line) senilai US$ 60 miliar dengan The Federal Reserve (The Fed).

"Persoalan likuiditas bahkan ketika tahun lalu ada tekanan itu kita ada beberapa line of defense yang bisa dilakukan," terangnya.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor