Fakta Fantastis Ekonomi Digital RI, Bikin BUKA & GoTo Dilirik

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
09 August 2021 15:50
ilustrasi transaksi digital

Jakarta, CNBC Indonesia - Suksesnya penawaran umum saham perdana (initial publik offering/IPO) PT Bukalapak.com (BUKA) dinilai menjadi tren positif bagi masuknya startup-startup unicorn di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan memberi sinyal dimulainya babak awal pembentukan kutub baru persaingan ekonomi digital yang ditopang investor global.

Beberapa perusahaan rintisan teknologi raksasa yang dikabarkan akan segera menyusul langkah Bukalapak untuk melantai di bursa adalah GoTo (Gojek-Tokopedia), Traveloka, Tiket.com dan J&T Express. Ditambah lagi masih terdapat banyak perusahaan rintisan lain yang masih mengejar pertumbuhan dan kelak diharapkan akan meramaikan lantai bursa.

Besarnya dana IPO yang berhasil dikumpulkan Bukalapak dan antusiasme investor menjadi angin segar dan lampu hijau bagi perusahaan rintisan lainnya.

Dari hasil penawaran perdana, perusahaan yang didirikan oleh Achmad Zaky ini berhasil mengumpulkan Rp 22 triliun atau setara dengan US$ 1,51 miliar (kurs Rp 14.500/US$), angka ini meningkat signifikan dari target awal di rentang US$ 300-800 juta dengan melepas 25% kepemilikan saham mereka. Alhasil valuasi perusahaan ikut meningkat menjadi US$ 6,07 miliar dari semula diperkirakan berada di kisaran US$ 3-4,5 miliar.

Tidak hanya setelah resmi diperdagangkan jutaan investor ikut berbaris teratur mengantre untuk membeli saham ini yang akhirnya membuatnya tembus auto rejection atas selama dua hari perdagangan awal.

Hal ini menarik karena berdasarkan prospektus yang diterbitkan, perusahaan membeberkan kinerja keuangannya selama 3 tahun terakhir, yang mana per akhir 2020 lalu Bukalapak masih mencatatkan rugi sekitar Rp168 miliar karena beban usaha yang lebih tinggi dari pendapatan. Meskipun kerugian tersebut terus menurun dari tahun 2018 sebesar Rp 1,71 triliun dan tahun 2019 sebesar Rp 1,25 triliun.

Salah satu alasan utama kenapa saham perusahaan teknologi sangat diminati tentu karena potensi pertumbuhan ekonomi digital di masa depan, selain juga akibat dari banyak investor yang sepertinya terjangkit gejala fear of missing out (FOMO).

Gejala FOMO dari investor ini juga bukan tanpa alasan, mengingat saham-saham teknologi di luar negeri yang sahamnya tumbuh secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir yang bisa saja kini terjadi di pasar modal tanah air.

Sebagai contoh, Amazon yang ditawarkan seharga US$ 18 per saham kepada publik pada 1997 lalu harganya terus meningkat dan menjadikan Jeff Bezos orang terkaya di dunia. Investor yang menanamkan modal sebesar US$ 10.000 pada masa IPO diperkirakan harga saham yang dimiliki tersebut mencapai US$ 12 juta pada Mei 2020 lalu.

Google, Temasek, dan Bain Company merilis laporan bahwa penetrasi ekonomi digital Indonesia paling pesat dalam lima tahun terakhir di kawasan Asia Tenggara. Bahkan Indonesia diperkirakan menjadi negara yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang dinamis bagi Asia Tenggara.

Managing Director Google Indonesia Randy Jusuf mengatakan, sebagai ekonomi internet terbesar dan paling cepat berkembang di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bisa menghimpun perekonomian melalui digital mencapai US$ 133 miliar (Rp 1.928 triliun) pada 2025.

Pada 2019 saja, ekonomi digital di Indonesia sudah mencapai US$ 40 miliar (Rp 580 triliun) atau tumbuh lima kali lipat dibandingkaan tahun 2015 yang hanya mencapai US$ 8 miliar (Rp 116 triliun) saja.

Senada dengan hasil kajian Google, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi membeberkan road map perdagangan digital di Indonesia hingga 10 tahun mendatang. Potensi nilai ekonomi digital pada 2030 mencapai Rp 4.531 triliun atau naik delapan kali lipat dari 2020.

Lutfi menggambarkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia bisa sejalan dengan pertumbuhan ekonomi digital. Jika dilihat PDB Indonesia 2020 sebesar Rp 15.400 triliun, diprediksi akan menjadi Rp 24.000 triliun pada 2030.

Pada saat yang bersamaan, kontribusi Ekonomi Digital Indonesia (EDI) pada 2020 sebesar Rp 603 triliun dan akan naik 8 kali lipat pada 2030 menjadi Rp 4.531 triliun.

Munculnya perusahaan rintisan teknologi juga memberikan efek ganda (multiplier effect) pada rantai bisnis yang dilakukan, seperti menjamurnya perusahaan ekspedisi/jasa pengiriman barang yang merupakan efek langsung dari banyaknya e-commerce di tanah air. Tentu saja ini akan menambah lapangan kerja baru, diluar dari mitra UMKM yang memang dari awal sudah terbantu.

Riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) yang bertajuk "Peran Ekosistem Gojek di Ekonomi Indonesia Sebelum dan Saat Pandemi COVID-19", kontribusi Gojek secara keseluruhan ke perekonomian nasional mencapai Rp 104,6 Triliun di tahun 2019. Dengan metode perhitungan PDB, produksi yang terjadi di ekosistem Gojek selama tahun 2019 setara dengan 1% PDB Indonesia.

Bahkan lebih dahsyat lagi menurut salah satu estimasi, gabungan antara Gojek dan Tokopedia yang tergabung dalam ekosistem GoTo diperkirakan mencakup 2% dari PDB Indonesia.

Ekonomi DigitalFoto: Dok UI
Ekonomi Digital

Ekspansi cepat ekonomi digital Indonesia juga menciptakan peluang kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi penduduk usia muda Indonesia, dan menurut estimasi BPKM dan WSJ pada tahun 2022 sektor e-commerce dapat mempekerjakan 20% dari total tenaga kerja negara, naik dari hanya 3% pada 2017.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, transformasi digital yang tengah gencar dilakukan pemerintah saat ini bisa menciptakan 2,5 juta lapangan kerja baru pada 2024, dengan pemerintah menargetkan bisa menciptakan 5.000 perusahaan start-up.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular