Ambrol 2% di Juli, Dolar Australia Makin Jauhi Rp 11.000
Jakarta, CNBC Indonesia - Bulan Juli menjadi mimpi buruk bagi dolar Australia, melawan rupiah saja ambrol lebih dari 2%, hingga menyentuh level terendah dalam 7 bulan terakhir, dan makin menjauhi Rp 11.000/AU$.
Perekonomian Australia yang diprediksi melambat, serta bank sentralnya (Reserve Bank of Australia/RBA) yang diperkirakan masih akan mempertahankan kebijakan longgar membuat dolar Australia tertekan.
Melansir data Refinitiv, sepanjang bulan Juli dolar Australia jeblok 2,3% melawan rupiah ke 10.619,42/AU$. Sebelumnya, Mata Uang Negeri Kanguru ini sempat menyentuh Rp 10.582,18/AU$, yang merupakan level terendah sejak Desember tahun lalu.
Sepanjang bulan lalu dolar Australia juga tidak sekalipun mampu menyentuh level Rp 11.000/AU$. Selain itu, dolar Australia sudah turun dalam 3 bulan beruntun. Pada Mei dan Juni, dolar Australia masing-masing merosot 0,94% dan 1,53%. Alhasil, dolar Australia beberapa kali lebih murah ketimbang dolar Singapura di bulan Juli.
Kali terakhir dolar Australia lebih murah dari dolar Singapura yakni pada November 2020 lalu.
RBA dalam pengumuman kebijakan di awal bulan Juli memutuskan mempertahankan suku bunga di rekor terendah 0,1%. RBA juga mengakui jika pemulihan ekonomi lebih kuat dari prediksi.
Tetapi bukannya mengetatkan kebijakan moneter, RBA justru memperpanjang stimulusnya melalui program pembelian obligasi (quantitative easing/QE).
Sikap dovish tersebut membuat dolar Australia terus melemah.
QE bank sentral Australia ini senilai AU$ 5 miliar per pekan, dan berakhir pada bulan September nanti. Tetapi akan diperpanjang dengan mengurangi nilai pembelian menjadi AU$ 4 miliar per pekan.
RBA melalui sang gubernur Philip Lowe pada hari ini sekali lagi menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
Lowe menegaskan suku bunga tidak akan dinaikkan hingga tingkat pengangguran turun menjadi 4% dari saat ini 5,1%, dan inflasi naik ke kisaran 2% hingga 3%.
Sama dengan sebelum-sebelumnya, target bank sentral tersebut diperkirakan baru akan tercapai pada tahun 2024.
"Inflasi saat ini masih belum mencapai target. Kami ingin melihat inflasi mencapai target sebelum menaikkan suku bunga," kata Lowe, sebagaimana dilansir Reuters.
Tekanan bagi dolar Australia makin besar, sebab isu terbaru yang berhembus di pasar mengatakan RBA kemungkinan akan batal memangkas nilai QE, sebab perekonomian Australia menunjukkan tanda-tanda pelambatan, bahkan ada yang memprediksi bisa mengalami kontraksi lagi di kuartal III-2021.
"Media terpercaya melaporkan jika RBA akan memikirkan kembali pengurangan nilai QE sebab beberapa kota besar masih melakukan lockdown. Semakin lama lockdown, maka QE saat ini senilai AU$ 5 miliar sepertinya akan diperpanjang hingga beberapa bulan ke depan," kata Richard Franulovich, kepala strategi di Westpac, sebagaimana dilansir poundsterling live.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)