Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham dan mata uang menguat pada perdagangan Kamis (29/7/2021), sementara obligasi diburu yang mengindikasikan masih ada risiko ekonomi yang diantisipasi pasar. Hari ini, angin segar berhembus dari Amerika Serikat (AS).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan dengan apresiasi 0,53% (32,2 poin) ke 6.120,727. Investor memanfaatkan eforia di bursa Asia untuk mengoleksi saham yang sudah tertekan, dan menafikan temuan virus Covid-19 varian Delta plus di Tanah Air.
Seluruh bursa utama Asia memang menguat kemarin, dipimpin indeks Hang Seng Hongkong dengan reli sebesar 3,3%, disusul indeks bursa Shenzen yang menguat 3%. Keduanya terkoreksi parah dalam perdagangan dua hari sebelumnya akibat pengetatan kebijakan pemerintah China terhadap perusahaan digital yang tercatat di bursa luar negeri.
Data PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat nilai transaksi sebesar Rp 13,3 triliun dengan 22,7 miliar saham berpindah tangan sebanyak 1,47 juta kali. Investor asing mencetak pembelian bersih (net buy) senilai Rp 65,1 miliar di pasar reguler.
Saham unggulan yang pada perdagangan Rabu tertekan, kemarin berbalik menguat, terutama saham-saham bank buku IV. Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mencetak nilai transaksi yang terbesar, yakni mencapai Rp 510 miliar dalam sehari kemarin.
Di pasar uang, rupiah bertengger di jalur hijau, di tengah tren koreksi dolar Amerika Serikat (AS) secara global, di mana indeks dolar AS sempat jeblok 0,27% ke 92,077.
Tekanan atas Greenback terjadi setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mempertahankan suku bunga acuan dan tak memberikan kepastian mengenai kapan dimulainya kebijakan tapering (pengurangan pembelian surat berharga di pasar).
Melansir data Refinitiv, rupiah yang dibuka menguat 0,03% di Rp 14.480/US$ sempat tertekan dan melemah 0,07%, sebelum tertahan di zona merah nyaris sepanjang hari. Namun di ujung perdagangan, Mata Uang Garuda ini bangkit dan menguat 0,03% ke Rp 14.480/US$.
Sementara itu, data Bank Indonesia (BI) menyebutkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) berada di level Rp 14.491 per dolar AS, alias menguat 0,05% dibandingkan dengan posisi sehari sebelumnya.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia pun berjaya di hadapan Greenback pada sore kemarin. Hanya peso Filipina dan baht Thailand yang melemah.
Hanya saja, harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kemarin tercatat menguat, yang mengindikasikan masih banyak investor yang bermain aman dengan memburu aset minim risiko (safe haven) tersebut.
Hanya SBN bertenor 25 tahun tahun yang imbal hasilnya (yield) mengalami penguatan dan cenderung dilepas oleh investor. Yield SBN tersebut naik 2,1 basis poin (bp) ke 7,351% sedangkan SBN berjatuh tempo 20 tahun cenderung stagnan di level 7,093%.
Sementara itu, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan acuan pasar melemah sebesar 0,3 bp ke 6,306%. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga pelemahan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Salah satu risiko yang mereka waspadai adalah temuan varian virus corona (Covid-19) Delta Plus di Indonesia, yang memiliki tingkat penularan sangat tinggi. Jika tidak terkendali, maka pengetatan aktivitas ekonomi bakal terus dijalankan.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup di zona hijau pada perdagangan Kamis (29/7/2021) kemarin, mengindikasikan bahwa selera mengambil risiko para pelaku pasar pulih kembali menyusul rilis data pertumbuhan ekonomi.
Indeks Dow Jones Industrial Average lompat 153,6 poin (+0,44%) ke 35.084,53. S&P 500 menguat 18,5 poin (+0,42%) ke 4.419,15. Nasdaq tumbuh 15,7 poin (+0,11%) ke 14.778,26.
Saham PayPal dan Facebook anjlok, masing-masing sebesar 6,2% dan 4%, setelah keduanya mengakui ada peluang tekanan kinerja tahun ini. Sebaliknya, saham Ford melompat 3,8% setelah menaikkan outlook 2021 meskipun laba bersihnya sedikit di bawah ekspektasi pasar.
Produk Domestik Bruto (PDB) AS dilaporkan tumbuh 6,5% pada kuartal II-2021, atau di bawah estimasi pelaku pasar dalam konsensus Dow Jones yang mengekspektasikan angka pertumbuhan sebesar 8,4%.
Data klaim tunjangan pengangguran juga tidak memuaskan dengan 400.000 pekerja kehilangan pekerjaan sepekan lalu, atau lebih buruk dari ekspektasi dalam konsensus Dow Jones yang mengekspektasian angka 385.000. Rata-rata angka klaim sebelum pandemi berkisar 250.000.
Menurut Craig Erlam, analis pasar senior Oanda, capaian di bawah ekspektasi itu tak membuat pasar berkecil hati karena terkait dengan penurunan inventori, sehingga tak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Klaim tunjangan pengangguran pertama kali dan yang berulang sedikit lebih tinggi dari ekspektasi. Itu tentu saja menjustifikasi pendekatan The Fed yang saat ini lebih berhati-hati," tuturnya sebagaimana dikutip CNBC International.
Bos bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell sebelumnya menilai ekonomi AS membaik meski ada varian baru virus Covid-19. Namun itu belum cukup untuk mencapai target inflasi dan lapangan kerja yang dipatok sehingga moneter belum akan diketatkan.
"Menurut saya kita masih beberapa langkah menuju kemajuan substansial lebih jauh mencapai target maksimum pembukaan lapangan kerja. Saya ingin melihat angka lapangan kerja yang lebih kuat," tutur dia.
Pasar juga merespons positif keputusan Senat AS melanjutkan pembahasan proposal paket infrastruktur yang disiapkan Presiden Joe Biden, yang akan menggelontorkan dana hingga US$ 550 miliar ke sektor padat karya tersebut/
Sepanjang Juli, indeks S&P naik 2,8%, sedangkan Nasdaq dan Dow Jones menguat masing-masing sebesar 1,9% dan 1,7%.
Setelah pada kuartal I-2021 Amerika Serikat (AS) mencetak pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3%, pada kuartal kedua kemarin pertumbuhan tersebut sukses dipertahankan meski menghadapi gelombang penyebaran virus Covid-19 varian delta plus.
Dengan tumbuh 6,5% pada kuartal II-2021, negara dengan ekonomi terbesar dunia tersebut memang tak mampu mencapai konsensus dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 8,4%.
Namun, pasar tetap mengapresiasi perkembangan tersebut karena masih terhitung menguat dibandingkan kuartal sebelumnya. Apalagi, jika kita memasukkan faktor risiko yang masih besar sepanjang 3 bulan lalu berupa penyebaran virus Covid-19 varian delta.
Perkembangan tersebut juga mengonfirmasi proyeksi optimistis yang dipatok Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang 2 hari lalu telah menaikkan proyeksi pertumbuhan AS tahun ini, menjadi 7% (naik 0,6 persen poin dari proyeksi sebelumnya 6,4%).
Tahun depan, pertumbuhan ekonomi AS diprediksi kembali normal menjadi 4,9% (naik 1,4 persen poin dari angka estimasi sebelumnya). Proyeksi tersebut memasukkan faktor belanja infrastruktur, yang juga kemarin membagikan kabar baik, karena Senat telah sepakat membahas proposal infrastruktut senilai US$ 550 miliar.
Situasi demikian pun sejalan dengan kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mempertahankan kebijakan uang ekstra longgar, dengan menjaga suku bunga acuan di level terendah sepanjang sejarah (0-0,25%) dan mempertahankan pembelian obligasi di pasar sekunder senilai US$ 120 miliar per bulan.
Kombinasi kabar positif tersebut terbukti mendongkrak selera trading para investor di Wall Street malam tadi, dan kemungkinan besar akan menular ke perdagangan di pasar global hari ini. Meski belum ada kepastian mengenai kapan tapering (pengurangan pembelian obligasi di pasar sekunder) akan dilakukan, setidaknya pasar tahu dalam jangka pendek ada alasan untuk bullish.
Namun, lagi-lagi, ada faktor pembeda yang harus diperhatikan investor di Indonesia hari ini, yakni perkembangan pandemi. Di AS, tingginya tingkat vaksinasi membuat penyebaran virus varian delta cenderung terkendali. Kondisi ini masih belum tercapai di Indonesia.
Data Kementerian kesehatan merilis 1.893 orang meninggal pada hari ini. Jumlah ini menggenapi tren kenaikan kasus kematian selama 2 pekan terakhir. Alhasil total kasus kematian selama pandemi telah menembus 90.552 orang.
Pada hari yang sama, Indonesia mencatat ada 43.479 kasus baru. Hal ini menambah total kasus Covid-19 di Indonesia sehingga mencapai 3,331 juta orang. Penambahan kasus yang masih tinggi ini membuat kasus aktif atau orang yang membutuhkan perawatan bertahan di angka yang cukup tinggi yakni 554.484 orang.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Indeks Keyakinan Bisnis Korea Selatan per Juli (04:00 WIB)
- Indeks penjualan ritel Jepang per Juni (06:00 WIB)
- RUPST PT Mulia Industrindo Tbk/MLIA (09:00 WIB)
- RUPST PT Asiaplast Industries Tbk/APLI (09:00 WIB)
- RUPST PT Transcoal Pacific Tbk/TCPI (09:30 WIB)
- RUPST PT Maha Properti Indonesia Tbk/MPRO (10:00 WIB)
- RUPST PT Metro Realty Tbk/MTSM (10:00 WIB)
- RUPST PT Satyamitra Kemas Lestari Tbk/SMKL (10:00 WIB)
- RUPST PT Wilton Makmur Indonesia Tbk/SQMI (10:00 WIB)
- RUPST PT Toba Pulp Lestari Tbk/INRU (10:30 WIB)
- RUPST PT Tunas Baru Lampung Tbk/TBLA (10:30 WIB)
- RUPST PT Aneka Gas Industri Tbk/AGII (13:00 WIB)
- RUPST PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk/IKAI (13:00 WIB)
- RUPST PT Garuda Indonesia Tbk/GIAA (13:30 WIB)
- RUPST/LB PT Adi Sarana Armada Tbk/ASSA (14:00 WIB)
- RUPST/LB PT Budi Starch & Sweetener Tbk/BUDI (14:00 WIB)
- RUPST PT Darma Henwa Tbk/DEWA (14:00 WIB)
- RUPST PT Menteng Heritage Realty Tbk/HRME (14:00 WIB)
- RUPST/LB PT Minna Padi Investama Sekuritas Tbk/PADI (14:00 WIB)
- Inflasi Uni Eropa (16:00 WIB)
- Indeks PCE AS per Juni (19:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA