Internasional

'Perang' IPO Emiten AS-China Belum Kelar, Begini Update-nya!

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
30 July 2021 07:20
Xi Jinping & Joe Biden

Jakarta, CNBC Indonesia - Polemik pencatatan saham perdana (initial public offering/IPO) perusahaan China di bursa Wall Street AS sudah mengemuka sejak 2019 era Presiden AS Donald Trump. Kini, pemerintah Beijing ternyata diketahui masih mengizinkan perusahaan China untuk go public di AS.

Apa sebetulnya alasan pemerintah China di Beijing?

Menurut sumber CNBC International, meskipun kondisi terlihat buruk, baru-baru ini dikabarkan bahwa Beijing akan terus mengizinkan perusahaan China untuk go public di AS selama mereka memenuhi persyaratan pencatatan. Hal itu diungkapkan regulator sekuritas China kepada perantara pedagang efek di Tiongkok, pada Rabu malam (28/7).

Sumber tersebut mengatakan, mengutip pernyataan regulator, pencatatan saham lintas negara (dual listing) dari perusahaan China juga dapat terjadi dengan menggunakan skema variable interest entity (VIE). Ini mengacu pada struktur hukum yang memungkinkan investor internasional untuk mengakses saham perusahaan China di AS.

Regulator mengakui mekanisme itu adalah cara penting bagi perusahaan China untuk menarik modal asing, tetapi dapat terjadi penyesuaian jika ada permasalahan keamanan nasional, kata sumber tersebut yang meminta anonimitas karena sensitivitas informasi.

Bursa Wall Street AS baik New York Stock Exchange (NYSE) maupun Nasdaq saat ini masih menjadi bursa utama di dunia sehingga menjadi patokan pasar saham global.

Wakil Ketua Komisi Pengaturan Sekuritas China Fang Xinghai dikabarkan memberikan komentar pada pertemuan virtual dengan bank-bank investasi besar pada Rabu, kata sumber CNBC tersebut.

Berita bolehnya perusahaan China listing di AS justru langsung direspons dengan penurunan tajam harga saham emiten China di AS di tengah kekhawatiran peningkatan tindakan keras akan regulasi oleh Beijing.

Berita akan pertemuan ini pertama kali dilaporkan oleh Bloomberg.

Regulator sekuritas China telah berhenti membuat pernyataan publik secara resmi, dan ketika CNBC Internasional meminta tanggapan isu ini, komisi tersebut tidak segera memberikan tanggapan.

Harga saham emiten-emiten asal China yang terdaftar di bursa utama Asia dan AS - termasuk nama besar seperti Alibaba dan Tencent - jatuh dalam beberapa hari terakhir karena otoritas China meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan teknologi atas praktik monopoli dan keamanan data.

Sebuah dokumen kebijakan yang mulai beredar luas pada Jumat pekan lalu menyerukan agar perusahaan bimbingan belajar di China (seperti Ruang Guru dan Zeenius di Indonesia) untuk menjadi perusahaan nirlaba, membuat saham-saham edu-tech anjlok dua digit di bursa Hong Kong dan AS.

Pada 23 Juli, saham TAL Education anjlok 70,8% di bursa saham New York dan saham New Oriental Education and Technology turun 54,2%.

Kebijakan pemerintah China tersebut secara khusus melarang perusahaan bimbingan (edutech) mengumpulkan dana melalui pasar saham atau memiliki investor asing, terutama melalui skema variable interest entity (VIE) yang memungkinkan investor internasional mengakses saham China.

Kecepatan dan besarnya jangkauan kebijakan itu mengejutkan banyak orang.

Goldman Sachs pada Senin lalu langsung menurunkan peringkat saham emiten pendidikan China di tengah ekspektasi pasar bahwa bisnis bimbingan belajar akan menyusut secara signifikan - menjadi kurang dari seperempat ukuran saat ini senilai US$ 106 miliar atau Rp 1.537 triliun (kurs Rp 14.500/US$).

Namun, Fang dari komisi sekuritas, menurut sumber tersebut, mengatakan kebijakan itu dimaksudkan untuk mengurangi beban orang tua, bukan menutup keran investasi asing- dan perusahaan pendidikan akan memiliki waktu untuk melakukan merestrukturisasi.

Kebijakan pendidikan yang dimaksud itu dikeluarkan oleh Dewan Negara - badan eksekutif tertinggi China - dan komite pusat Partai Komunis China.

Sebelumnya, tindakan keras yang diambil oleh Pemerintah China di Beijing dinilai dapat berdampak dan dapat mengancam semua sisi industri teknologi China, salah satunya terlihat dari upaya 'menggagalkan' penawaran umum terhadap salah satu perusahaan teknologi paling terkemuka di China, menurut analis Goldman Sachs dalam sebuah laporan penelitian.

NEXT: Awal Mula AS Sensi ke IPO Emiten China

Sejak 2019, persoalan IPO perusahaan China di Bursa AS menjadi perhatian pemerintah Negeri Paman Sam sejak era Donald Trump.

Pada Oktober 2019, kala itu pemerintahan Presiden AS Donald Trump diketahui sedang mempertimbangkan untuk membatasi investasi AS di China, termasuk kemungkinan memblokir semua jenis investasi, ujar sumber anonim, dilansir CNBC International.

Selain itu, laporan yang sama menyebutkan pembatasan investasi juga meliputi menghapus pencatatan saham (delisting) perusahaan China di pasar saham AS dan membatas penggunaan dana pensiun pemerintah di pasar keuangan Negeri Tiongkok.

Informasi yang sama juga diberitakan Reuters, di mana salah seorang sumber mengatakan cengkeraman investasi China terutama di perusahaan teknologi, dinilai berisiko menimbulkan gangguan keamanan.

"Ini adalah salah satu prioritas utama pemerintah. Perusahaan-perusahaan China tidak patuh terhadap aturan yang ditetapkan PCAOB (Public Company Accounting Oversight Board) sehingga menimbulkan risiko bagi investor," ucap salah seorang sumber.

Meski demikian AS membantah hal ini.

"Pemerintah tidak sedang mempertimbangkan pemblokiran perusahaan-perusahaan China dari pencatatan saham di bursa saham AS saat ini," tulis Bloomberg mengutip Juru Bicara Departemen Keuangan AS kala itu, Monica Crowley, dikutip dari CNBC International.

Dalam sebuah artikel berjudul "Chinese Companies Listed on Major U.S. Stock Exchanges" di situs USCC (US China Economic and Security Review Commission) atau Komisi Perdagangan AS-China, disebutkan data soal emiten China di AS.

Data tersebut menyebutkan bahwa perusahaan China tercatat di tiga bursa di Wall Street yakni bursa NYSE American atau American Stock Exchange (AMEX), New York Stock Exchange (NYSE), dan Bursa Nasdaq. Dua bursa yakni NYSE American dan NYSE dimiliki oleh Intercontinental Exchange.

Data yang dirangkum per 25 Februari 2019, terdapat 156 perusahaan asal China yang terdaftar di tiga bursa AS ini dengan total kapitalisasi pasar (market capitalization/market cap) US$ 1,2 triliun.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular