Impor dari Australia Melesat 90%, Gegara Dolarnya Murah?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 July 2021 15:25
Dolar Australia
Foto: Dolar Australia (REUTERS/Thomas White)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia pada pertengahan April lalu menyentuh level Rp 11.330/AU$ yang merupakan level tertinggi sejak Juni 2014. Sepanjang 2021 hingga ke level tertinggi tersebut dolar Australia menguat sekitar 5%. Tetapi setelahnya, dolar Singapura berada dalam tren menurun, hingga hari ini berada di kisaran Rp 10.670/AU$, dan mencatat pelemahan sekitar 1,2% sepanjang tahun ini.

Di saat dolar Australia sedang mahal-mahalnya, impor dari negeri Kanguru justru melonjak lebih dari 90% pada Januari-Juni 2021, dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Memang pada tahun lalu aktivitas perekonomian global mengalami pelambatan signifikan akibat kebijakan lockdown yang diterapkan di berbagai negara, sehingga impor dari Australia pun rendah. Hal ini menyebabkan low base effect yang membuat impor di tahun ini melonjak.

idr

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai impor non-migas dari Australia pada periode Januari-Juni sebesar US$ 3,824 miliar, naik 90,82% dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 2,004 miliar.

Berdasarkan data dari International Trade Center, bahan bakar mineral merupakan produk yang paling banyak diimpor dari Australia. Pada tahun 2020, bahan bakar mineral berkontribusi sekitar 24% dari total impor dari Australia.

Dengan nilai tukar dolar Australia yang terus melemah melawan rupiah, harga produk Australia tentunya menjadi lebih murah. Hal ini dapat memicu lonjakan impor lebih lanjut.
Untuk diketahui, pada Agustus 2018 lalu, Bank Indonesia (BI) memperpanjang perjanjian Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) dengan bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA), yang berlaku selama 3 tahun. Artinya jika tidak diperpanjang akan berakhir di tahun ini. Nilai kerja sama tersebut sebesar AU$ 10 miliar atau sekitar Rp 100 triliun.

Dengan perjanjian tersebut, perdagangan antara Indonesia dan Australia bisa menggunakan mata uang masing-masing, tidak lagi menggunakan dolar Amerika Serikat (AS). Artinya, pelemahan dolar Australia tentunya akan menguntungkan bagi importir.

Namun, dampak lainnya, defisit perdagangan dengan Australia tentunya berisiko semakin melebar. Berdasarkan data dari BPS, nilai ekspor pada periode Januari-Juni sebesar US$ 1,434 miliar. Artinya ada defisit sebesar US$ 2,39 miliar.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dolar Australia Diprediksi Merosot Lebih Dalam

Penyebaran virus corona terbaru benar-benar memukul dolar Australia. Lockdown yang kembali dilakukan di Sidney, Melbourne dan South Australia pada akhir Mei lalu. Perekonomian Australia pun diprediksi akan melambat di kuartal III-2021, bahkan berisiko mengalami kontraksi lagi.

Akibatnya, dolar Australia diprediksi akan melemah lebih dalam lagi oleh Commonwealth Bank of Australia (CBA).

"Kami perkirakan dolar Australia akan terkena dampak yang besar setelah pelaku pasar melihat outlook perekonomian global memburuk," kata Kim Mundy, ahli stratgi di CBA, sebagaimana dilansir poundsterling live, Rabu (21/7/2021).

Mundy dan timnya di CBA kini menandtisipasi penurunan dolar Australia yang lebih dalam, sebab momentum pemulihan ekonomi global meredup, serta kemungkinan respon kebijakan moneter bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA).

RBA saat ini menggelontorkan program pembelian aset (Quantitative Easing/QE senilai AU$ 5 miliar per pekan, dan akan berakhir pada September mendatang.

Dalam rapat kebijakan moneter bulan ini, RBA memutuskan memperpanjang QE tersebut dengan mengurangi nilai pembelian menjadi AU$ 4 miliar per pekan. RBA juga memutuskan mempertahankan suku bunga di rekor terendah 0,1%.

Dengan kondisi perekonomian global yang memburuk tersebut, RBA diperkirakan akan tetap melakukan program QE senilai AU$ 5 miliar bukan US$ 4 miliar.

"Media terpercaya melaporkan jika RBA akan memikirkan kembali pengurangan nilai QE sebab beberapa kota besar masih melakukan lockdown. Semakin lama lockdown, maka QE saat ini senilai AU$ 5 miliar sepertinya akan diperpanjang hingga beberapa bulan ke depan," kata Richard Franulovich, kepala strategi di Westpac, sebagaimana dilansir poundsterling live.

Jika nilai QE masih tetap US$ 5 miliar per pekan dalam waktu yang cukup lama, maka likuiditas tentunya akan meningkat, dan dolar Australia mengalami tekanan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular