Analisis

Saham 'Diskon' Tak Laku, Apa Benar 'Value Investing is Dead'?

Riset, CNBC Indonesia
22 July 2021 09:20
Infografis/ Amazing! 70% Investor Angkatan Corona Adalah Milenial/Aristya Rahadian
Foto: Infografis/ Amazing! 70% Investor Angkatan Corona Adalah Milenial/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir-akhir ini muncul istilah baru di pasar modal yakni 'Value Investing is Dead' yang artinya teknik investasi berdasarkan nilai sudah meninggal alias tak laris lagi menjadi prinsip investasi sebagian kalangan.

Munculnya jargon ini bukan tanpa sebab lho.

Saham-saham yang berfundamental baik dipertanyakan, karena cenderung terus mencatatkan penurunan kinerja (bahkan ada yang merugi), serta dengan valuasi yang sudah sangat mahal (overvalued) malah terus-terusan harga sahamnya naik karena ekspektasi para investor dengan adanya aksi korporasi. Ada keyakinan di masa mendatang bahwa perusahaan ini nantinya akan mampu membalikkan keadaan alias turnaround.

Sebut saja PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang melesat 288% sejak awal tahun pascamasuknya investor strategis yakni Gojek dan GIC dari Singapura. Masuknya investor baru ini menyebabkan optimisme para investor bahwa perusahaan yang sudah 4 tahun terakhir tidak pernah membukukan keuntungan ini ke depan akan mampu menjadi raja digital bank di Indonesia.

Selanjutnya masih dari investor yang sama yakni Gojek dan Temasek (lewat Anderson Investments Pte. Ltd) yang masuk ke saham pengelola Hypermart PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) dan menyebabkan harga sahamnya naik gila-gilaan 876% sejak awal tahun.

Masuknya kedua investor strategis ini disebut-sebut akan membantu mentransformasikan digitalisasi Hypermart di mana nantinya Tokopedia yang merupakan bagian dari GoTo group (gabungan Gojek-Tokopedia) akan menjadi partner strategis Hypermart.

Terakhir akuisisi saham taksi PT Zebra Nusantara Tbk (ZBRA) oleh Rudy Tanoesoedibjo menyebabkan harga saham ZBRA terbang 700% sejak awal tahun. Kabarnya emiten ini akan ditransformasikan menjadi bisnis logistik oleh sang kakak dari bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo ini.

Ketiga saham tersebut juga tergolong sudah memiliki valuasi yang bisa dikatakan tidak wajar apabila menggunakan kaca mata value investor.

Lihat saja valuasi harga saham dibandingkan dengan nilai buku ARTO berada di angka 25 kali dan PBV (price to book value, rasio harga terhadap nilail buku) MPPA jauh lebih tinggi di angka 42 kali.

Bahkan untuk ZBRA hingga kuartal pertama 2021 ekuitas ZBRA tercatat masih negatif sehingga nilai bukunya juga negatif.

Tentunya apabila seorang value investor melihat hal ini tak akan tertarik untuk berinvestasi di saham-saham seperti ini, mengingat teknik value investing menekankan pembelian di perusahaan-perusahaan oke di harga yang murah ataupun perusahaan yang bagus di harga yang wajar.

Akan tetapi ternyata saham-saham yang melesat di bursa lokal adalah saham-saham dengan fundamental yang masih dipertanyakan serta valuasi mahal yang harga sahamnya melesat karena adanya aksi korporasi yang berpotensi terjadinya sinergi atau digitalisasi di masa mendatang.

Malah saham-saham yang tergolong murah dan banyak dikoleksi oleh para value investor harga sahamnya cenderung terkoreksi atau bahkan kalaupun naik, hanya tipis saja.

Apa yang menyebabkan tren saham-saham 'murah' tak lagi diburu para investor?

NEXT: Simak Analisis Ini

Ritel Corona Ogah Jadi Value Investor

Memang di pasar modal Indonesia, saham-saham berkapitalisasi pasar menengah dan besar yang menggerakkan harganya biasanya karena adanya pembelian dari investor asing dan atau para manajer investasi (MI) pengelola reksa dana.

Nah cenderungnya saham-saham yang tergolong murah yang disukai oleh para value investor biasanya adalah saham-saham berkapitalisasi pasar kecil, biasanya investor asing serta MI kurang tertarik untuk masuk di saham berkapitalisasi pasar kecil karena likuiditas yang kurang baik.

Hal ini menyebabkan hanya tersisa beberapa 'pemain' di saham-saham berkapitalisasi pasar kecil ini yakni investor ritel dan market maker.

Dengan bertambahnya investor ritel pasca-corona hingga di atas 5 juta investor secara teoritis akan membuat saham-saham ini menarik, akan tetapi ternyata investor ritel yang masuk ke pasar modal kita di era Covid-19 ini adalah investor yang tidak tertarik dengan ilmu-ilmu value investing karena membosankan.

Bayangkan saja setelah sang investor mengerjakan PR dan mencari saham-saham 'murah' dan melakukan pembelian, sang investor harus siap menunggu dan berharap bahwa nantinya ada market maker ataupun investor institusi yang juga 'menyadari' bahwa saham tersebut terlalu murah dan ikut masuk mengangkat harganya.

Apabila harganya tidak bergerak maka, sang investor harus tetap bersabar menunggu, bahkan tidak jarang sang investor harus siap menunggu beberapa tahun hingga saham tersebut akhirnya bergerak.

Tentunya dengan modal investor ritel corona yang tergolong kecil, teknik ini tidak efektif dan tidak menarik, sehingga investor ritel corona cenderung memburu saham-saham yang sedang hype, sedang ramai diperdagangkan, dan sedang mengalami tren kenaikan, di mana saham-saham yang memiliki ciri-ciri seperti ini bukanlah saham-saham yang dipegang para value investor.

Tren Digitalisasi dan Teknologi

Kedatangan tamu tak diundang virus Covid-19 ke Indonesia membuat tren perkembangan bisnis di Indonesia berubah drastis.

Perusahaan-perusahaan konvensional mulai mengubah pola bisnisnya karena adanya restriksi-restriksi kepada perusahaan brick and mortar demi menekan penyebaran virus corona.

Para konsumen kini mulai mengurangi kontak langsung antar masyarakat dan lebih memilih untuk melakukan segala sesuatu secara daring, mulai dari pembelian barang secara daring, pembelajaran jarak jauh secara daring, pemesanan makanan secara daring, bahkan pembukaan rekening bank secara daring.

Akibatnya perusahaan-perusahaan yang sudah sedari dulu mengembangkan bisnis onlinenya diuntungkan dan yang masih tertinggal ramai-ramai melakukan digitalisasi.

Nah, apabila ada perusahaan-perusahaan tersebut yang melantai di bursa saham, nantinya perusahaan tersebut tidak akan divaluasi oleh pasar seperti pasar melakukan valuasi saham-saham konvensional.

Dengan digitalisasi dan pengembangan teknologi, perseroan nantinya akan mampu melakukan efisiensi. Sebagai contoh perbankan digital nantinya tidak akan membutuhkan karyawan sebanyak perbankan konvensional sehingga nantinya pengeluaran dapat ditekan dan akan memunculkan rasio efisiensi ROE dan ROA yang tinggi.

Maka dari itu valuasi saham-saham teknologi yang saat ini sedang digandrungi oleh pasar biasanya akan cenderung lebih mahal dibandingkan dengan saham-saham konvensional. Nah saham-saham teknologi yang sedang hype dan melesat kencang ini biasanya tak akan cocok untuk para value investor yang mencari saham dengan harga yang murah ataupun wajar.

Covid-19 sebabkan aksi korporasi Semakin Marak

Datangnya virus Covid-19 menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia yang pertama kali sejak krisis moneter tahun 1998. Tentunya dengan keadaan kris maka hampir seluruh emiten akan terpukul dan membutuhkan tambahan suntikan dana.

Seperti yang terjadi pasca krisis 98, Krisis kali ini juga menyebabkan banyak sekali aksi korporasi pasca krisis yang terjadi karena perusahaan-perusahaan yang kesulitan keuangan akan lebih memilih untuk menjual bisnisnya kepada perusahaan yang lebih mampu atau menggabungkan bisnisnya dengan para lawan bisnis untuk mengurangi persaingan.

Mulai dari aksi korporasi perusahaan Pelat Merah yakni penggabungan perbankan syariah BUMN ke bawah satu nama yakni Bank Syariah Indonesia, hingga pembentukan holding ultra mikro oleh Bank Rakyat Indonesia, PMN, dan Pegadaian.

Dari sektor swasta, group Gojek dan Tokopedia alias GoTo juga gencar melakukan akuisisi dan penyuntikkan dana ke emiten-emiten strategis yang membutuhkan dana dan siap mentransformasikan bisnis ke arah digital.

Taipan-taipan raksasa lokal seperti Grup Tanoesudibjo, Grup Salim, hingga Grup Lippo juga gencar melakukan akuisisi dan aksi korporasi untuk mentransformasikan bisnis ke arah digital agar tidak ketinggalan dengan raksasa-raksasa teknologi digital dalam negeri.

Maraknya aksi korporasi ini yang nantinya akan menyebabkan perusahaan yang tadinya merugi kedepanya berpeluang untung besar karena diinjeksikan dana besar oleh para raksasa ini dan adanya transformasi digital membuat perilaku investor shifting dan mencari saham-saham yang memiliki investor strategis raksasa yang baru saja masuk dalam aksi korporasi, bukan saham-saham yang tergolong murah.

Hal inilah yang menyebabkan akhir-akhir ini teknik value investing sedang kurang diminati, memang sepertinya tak mati, akan tetapi hanyalah tidur karena momen dan tren pasar yang sedang tidak cocok bagi saham-saham value investing untuk berlaga.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular