Saham 'Diskon' Tak Laku, Apa Benar 'Value Investing is Dead'?
Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir-akhir ini muncul istilah baru di pasar modal yakni 'Value Investing is Dead' yang artinya teknik investasi berdasarkan nilai sudah meninggal alias tak laris lagi menjadi prinsip investasi sebagian kalangan.
Munculnya jargon ini bukan tanpa sebab lho.
Saham-saham yang berfundamental baik dipertanyakan, karena cenderung terus mencatatkan penurunan kinerja (bahkan ada yang merugi), serta dengan valuasi yang sudah sangat mahal (overvalued) malah terus-terusan harga sahamnya naik karena ekspektasi para investor dengan adanya aksi korporasi. Ada keyakinan di masa mendatang bahwa perusahaan ini nantinya akan mampu membalikkan keadaan alias turnaround.
Sebut saja PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang melesat 288% sejak awal tahun pascamasuknya investor strategis yakni Gojek dan GIC dari Singapura. Masuknya investor baru ini menyebabkan optimisme para investor bahwa perusahaan yang sudah 4 tahun terakhir tidak pernah membukukan keuntungan ini ke depan akan mampu menjadi raja digital bank di Indonesia.
Selanjutnya masih dari investor yang sama yakni Gojek dan Temasek (lewat Anderson Investments Pte. Ltd) yang masuk ke saham pengelola Hypermart PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) dan menyebabkan harga sahamnya naik gila-gilaan 876% sejak awal tahun.
Masuknya kedua investor strategis ini disebut-sebut akan membantu mentransformasikan digitalisasi Hypermart di mana nantinya Tokopedia yang merupakan bagian dari GoTo group (gabungan Gojek-Tokopedia) akan menjadi partner strategis Hypermart.
Terakhir akuisisi saham taksi PT Zebra Nusantara Tbk (ZBRA) oleh Rudy Tanoesoedibjo menyebabkan harga saham ZBRA terbang 700% sejak awal tahun. Kabarnya emiten ini akan ditransformasikan menjadi bisnis logistik oleh sang kakak dari bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo ini.
Ketiga saham tersebut juga tergolong sudah memiliki valuasi yang bisa dikatakan tidak wajar apabila menggunakan kaca mata value investor.
Lihat saja valuasi harga saham dibandingkan dengan nilai buku ARTO berada di angka 25 kali dan PBV (price to book value, rasio harga terhadap nilail buku) MPPA jauh lebih tinggi di angka 42 kali.
Bahkan untuk ZBRA hingga kuartal pertama 2021 ekuitas ZBRA tercatat masih negatif sehingga nilai bukunya juga negatif.
Tentunya apabila seorang value investor melihat hal ini tak akan tertarik untuk berinvestasi di saham-saham seperti ini, mengingat teknik value investing menekankan pembelian di perusahaan-perusahaan oke di harga yang murah ataupun perusahaan yang bagus di harga yang wajar.
Akan tetapi ternyata saham-saham yang melesat di bursa lokal adalah saham-saham dengan fundamental yang masih dipertanyakan serta valuasi mahal yang harga sahamnya melesat karena adanya aksi korporasi yang berpotensi terjadinya sinergi atau digitalisasi di masa mendatang.
Malah saham-saham yang tergolong murah dan banyak dikoleksi oleh para value investor harga sahamnya cenderung terkoreksi atau bahkan kalaupun naik, hanya tipis saja.
Apa yang menyebabkan tren saham-saham 'murah' tak lagi diburu para investor?
NEXT: Simak Analisis Ini
(trp/trp)