
Buntut Kasus Bedak Bayi, Johnson & Johnson Dibangkrutkan?

Sumber Reuters menyatakan, jika J&J melanjutkan rencana kebangkrutan, maka penggugat yang belum menyelesaikan gugatan dapat menghadapi langkah panjang dan rumit dalam proses kebangkrutan yang berlarut-larut dengan hadirnya perusahaan baru yang kemungkinan akan jauh lebih kecil kapasitasnya.
Pembayaran klaim atau ganti rugi di masa depan kepada para penggugat akan tergantung pada bagaimana keputusan J&J untuk mendanai entitas baru yang nantinya menangani kewajiban atas gugatan bedak tersebut.
J&J saat ini mempertimbangkan menggunakan undang-undang Texas yang mengatur "penggabungan yang memecah belah/divisive merger". Dengan mekanismen ini memungkinkan sebuah perusahaan untuk dipecah menjadi setidaknya dua entitas.
"Dalam hal ini J&J bisa membuat entitas baru yang menanggung kewajiban terkait gugatan bedak yang kemudian akan mengajukan kebangkrutan untuk menghentikan litigasi," kata beberapa orang sumber.
Manuver ini dikenal di kalangan pakar hukum sebagai kebangkrutan dua langkah ala Texas, sebuah strategi yang digunakan perusahaan lain menghadapi litigasi dalam beberapa tahun terakhir.
"J&J juga dapat mengeksplorasi mekanisme lain untuk mengefektifkan pengajuan kebangkrutan selain hukum Texas tersebut," kata beberapa sumber tersebut.
Sebelumnya, menurut investigasi yang dilakukan Reuters pada 2018 menemukan bahwa J&J mengetahui selama beberapa dekade bahwa asbes, yang merupakan karsinogen atau penyebab kanker, tersembunyi dalam komposisi bedak bayi dan produk bedak kosmetik lainnya.
Perusahaan berhenti menjual bedak bayi di AS dan Kanada pada Mei 2020, sebagian disebabkan oleh apa yang disebut perusahaan sebagai "informasi yang salah" dan "tuduhan tidak berdasar" tentang produk berbasis bedak tersebut.
J&J membela dan mengatakan produk bedak miliknya aman dan dikonfirmasi melalui ribuan tes bahwa produknya tidak mengandung asbes.
Saat ini J&J menghadapi tuntutan hukum dari lebih dari 30.000 penggugat yang menuduh produk bedaknya tidak aman.
Pada Juni lalu, Mahkamah Agung AS menolak untuk mendengarkan banding J&J atas putusan pengadilan Missouri yang mengakibatkan kerugian US$ 2 miliar (Rp 29 triliun) yang diberikan kepada para wanita yang menuduh bedak perusahaan menyebabkan kanker ovarium yang dialami mereka.
Pengacara penggugat melihat strategi kebangkrutan dua langkah ini sebagai salah satu cara untuk menghindari penyelesaian gugatan yang berpotensi memakan banyak biaya.
Perusahaan melihatnya sebagai cara untuk mengumpulkan banyak tuntutan hukum di satu pengadilan untuk negosiasi yang efisien yang ditentukan oleh undang-undang kepailitan terhadap kewajiban asbes.
Mengingat perusahaan yang tidak mengajukan kebangkrutan dapat mencapai kesepakatan pendanaan dengan entitas induk untuk membantu restrukturisasi atas putusan pengadilan demi menutupi pembayaran penyelesaian di masa depan.
Pada 2017, produsen tisu toilet Brawny Georgia-Pasifik menggunakan undang-undang Texas untuk memindahkan kewajiban ke entitas baru yang kemudian mengajukan kebangkrutan di North Carolina.
Kasus-kasus kepailitan yang diajukan untuk menyelesaikan litigasi, termasuk yang terkait dengan kandungan asbes, sering kali memakan waktu bertahun-tahun, dan hampir tidak pernah membayar kreditor secara penuh.
Sebagai contoh adalah pembuat obat analgesik OxyContin, Purdue Pharma LP, yang hampir menyelesaikan ribuan tuntutan hukum opioid setelah dua tahun melakukan negosiasi kebangkrutan dengan rencana senilai lebih dari US$ 10 miliar (Rp 145 triliun) untuk menyelesai klaim gugatan dengan nilai triliunan dollar.
Perusahaan lain, DBMP LLC, mengajukan kebangkrutan tahun lalu untuk menyelesaikan kewajiban asbes dan mengatakan kasus itu bisa memakan waktu hingga delapan tahun, menurut siaran pers perusahaan.
J&J juga menghadapi litigasi lain yang menuduh mereka berkontribusi pada epidemi opioid AS dan baru-baru ini menarik produk tabir surya (sun screen) semprot tertentu setelah menemukan beberapa di antaranya mengandung benzena tingkat rendah, karsinogen jenis lain.
Perusahaan pada bulan Juni setuju untuk membayar US$ 263 juta (Rp 3,81 triliun) untuk menyelesaikan klaim opioid di New York. Ia telah membantah melakukan kesalahan terkait dengan opioidnya.
[Gambas:Video CNBC]
