
Rupiah Siap Menguat 3 Pekan Beruntun, Bidik Rp 14.350/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sukses mencatat penguatan 2 pekan beruntun di tengah lonjakan kasus penyakit virus corona (Covid-19) di Indonesia.
Hal tersebut terbilang cukup bagus sebab kemungkinan perekonomian Indonesia berisiko melambat akibat pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Darurat.
Di pekan ini, rupiah berpeluang kembali mencatat penguatan, sebab banyak ada kabar baik. Sepanjang pekan lalu, rupiah sukses menguat 0,21% ke Rp 14.495/US$ setelah menguat tipis 0,03% minggu lalu.
Kabar baiknya lagi, sentimen terhadap rupiah justru membaik di saat kasus Covid-19 melonjak. Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.
Dalam survei tersebut, posisi jual (short) rupiah menurun dibandingkan dua pekan lalu.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
![]() |
Survei terbaru yang dirilis Kamis (16/7/2021) menunjukkan angka untuk rupiah di 0,23, lebih baik dari 2 pekan lalu 0,36%.
Dibandingkan mata uang lainnya, hanya sentimen terhadap rupiah yang membaik. Won Korea Selatan yang dua pekan lalu spekulan masih mengambil posisi beli (long) dengan angka -0,29, tetapi dalam survei terbaru berbalik menjadi jual (short) dengan angka 0,27%. Hal yang sama juga terjadi terhadap dolar Taiwan.
Dari 9 mata uang yang disurvei Reuters, hanya yuan China yang masih mendapat posisi long, meski menurun menjadi -0,15 dari sebelumnya -0,29.
Kabar baik lainnya datang dari penambahan kasus Covid-19 yang menurun dalam 3 hari terakhir. Kemarin, jumlah kasus positif dilaporkan sebanyak 44.721 orang, turun jauh dari rekor tertinggi 56.757 orang pada Kamis pekan lalu.
Jika kasus Covid-19 terus menurun tentunya akan menjadi sentimen positif bagi rupiah.
Di sisi lain, dolar AS sedang galau, sebab pelaku pasar masih mencari kejelasan mengenai kapan bank sentral AS (The Fed) akan melalukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE).
ketua The Fed Jerome Powell meredam spekulasi tapering akan dilakukan di tahun ini. Powell berbicara dalam rangka Semi Annual Monetary Policy Report di hadapan House Financial Services Committee pada pekan lalu, dan mengatakan belum akan merubah kebijakan moneternya. Sementara itu inflasi tinggi di AS, yang kembali memunculkan spekulasi tapering di tahun ini, sekali lagi ditegaskan hanya bersifat sementara, dan ke depannya tekanan inlasi akan moderat.
Menurut Powell, tolak ukur The Fed yakni "kemajuan substansial" menuju pasar tenaga kerja penuh (full employment) dan stabilitas harga masih "jauh" dari kata tercapai.
Tetapi, Presiden The Fed wilayah Chicago Charles Evans mengindikasi tapering bisa terjadi di tahun ini. Ia mengatakan perlu melihat perbaikan pasar tenaga lebih lanjut, untuk memulai tapering. Dan menurutnya perbaikan tersebut akan tercapai di tahun ini.
"Melihat beberapa bulan terakhir, pertumbuhan pasar tenaga kerja lebih lambat dari yang saya perkirakan. Saya akan bilang masih ada beberapa hal yang perlu dinilai untuk mencapai kemajuan substansial yang kita perlukan untuk merubah kebijakan moneter kami," kata Evans, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (15/7/2021).
