
Dari World Bank, S&P hingga Fitch, Ini Ramalan Pasar Modal RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan jumlah kasus Covid-19 yang dari hari ke hari mencatatkan rekor baru menimbulkan kekhawatiran terkait dengan prospek pasar modal dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Rekor terbaru sebanyak 54.517 kasus baru kembali dipecahkan pada Rabu (14/07/2021). Pada hari yang sama di tengah terus melesatnya kasus Covid-19 di dalam negeri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup sesi dua dengan depresiasi 0,55% ke level 5.979,21, ambles di bawah level psikologis 6.000.
Sebelumnya World Bank (Bank Dunia) dalam laporan yang diterbitkan Juni lalu memperkirakan perekonomian Indonesia akan pulih sebesar 4,4% pada tahun 2021.
Pertumbuhan ekonomi RI diproyeksikan meningkat menjadi 5,0% pada tahun 2022, dengan asumsi program vaksinasi berjalan lebih cepat.
Menurut laporan Prospek Ekonomi Indonesia Juni 2021 yang terbit sebelum lonjakan kasus Covid-19 naik secara signifikan, World Bank mencatat ekonomi Indonesia mulai pulih secara bertahap dibandingkan dengan negara tetangga atau negara dengan ekonomi serupa.
![]() |
Meskipun program vaksinasi dalam negeri sudah mengalami percepatan, catatan World Bank mengatakan hal tersebut masih belum memadai dan persentase penduduk yang telah melaksanakan vaksinasi masih jauh di bawah target pemerintah untuk memperoleh kekebalan komunal atau herd immunity, dibandingkan dengan negara tetangga dan ekonomi serupa angka ini juga masih sangat rendah, hanya sedikit lebih baik dari Filipina.
![]() |
World Bank mencatat Indonesia perlu menyelesaikan tiga tantangan utama untuk mendorong pemulihan dan meningkatkan prospek pertumbuhan jangka menengah.
Ketiga tantangan tersebut adalah percepatan laju vaksinasi, mempertahankan dukungan kebijakan moneter dan fiskal yang mampu merangsang kredit swasta untuk mendukung sektor riil, serta terakhir memastikan kestabilan fiskal jangka menengah termasuk menaikkan pajak pendapatan.
NEXT: Indikasi Lemahnya Ekonomi
Lemahnya ekonomi Indonesia tampak dari data BPS yang mencatat per Maret 2021 jumlah penduduk miskin adalah 27,54 juta orang, bertambah 1,12 juta orang dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Semakin parahnya pandemi yang terjadi di Indonesia ikut memaksa Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Bank Indonesia (BI) merevisi target pertumbuhan ekonomi nasional.
Sri Mulyani merevisi target pertumbuhan ekonomi sepanjang 2021 menjadi di kisaran 3,7% hingga 4,5% dari proyeksi semula yang berada di kisaran 4,3% hingga 5,3% dengan PPKM Darurat menjadi penyebab utama yang memicu perlambatan ekonomi.
Sementara Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh sekitar 3,8%, angka ini lebih rendah dari proyeksi BI sebelumnya pada kisaran 4,1% hingga 5,1%.
Selain dari dalam negeri koreksi akan pertumbuhan ekonomi juga datang dari Fitch Solution yang mengatakan prospek pertumbuhan Indonesia telah direvisi menjadi 4,4% pada tahun 2021, turun dari perkiraan sebelumnya 5,1%, mengingat wabah Covid-19 terbaru dan dampak negatifnya terhadap permintaan domestik.
"Mengingat peluncuran vaksin Indonesia yang lambat, kami berharap pemulihan akan tetap rentan terhadap guncangan Covid-19 selama sisa tahun 2021," tulis Fitch dalam risetnya.
![]() Data Fitch Ratings 2021 |
Pada April lalu, lembaga pemeringkat global yang berbasis di New York AS, Standard and Poor's (S&P) juga masih mempertahankan prospek atau outlook "Negatif" atas Indonesia dengan rating BBB pada 22 April 2021.
S&P sempat mengubah outlook dari "Stabil" menjadi "Negatif" pada 17 April 2020 dan kini mempertahankannya. Adapun rating utang Indonesia di level BBB pertama kali dinaikkan dari sebelumnya BBB- pada 31 Mei 2019.
Saat itu S&P juga meningkatkan rating utang sovereign jangka pendek dari 'A-2' ke 'A-3'.
Alasannya, anak usaha McGraw-Hill yang tercatat di Bursa New York (New York Stock Exchange) ini menilai peringkat RI dipertahankan di level BBB karena prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat dan rekam jejak kebijakan yang berhati-hati yang tetap ditempuh otoritas.
S&P memperkirakan perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terakselerasi pada 2022 seiring percepatan program vaksinasi dan normalisasi aktivitas ekonomi secara bertahap, kendati ada potensi tekanan.
"Outlook negatif tersebut mencerminkan perkiraan kami bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan dari sisi fiskal dan eksternal terkait pandemi virus corona dalam tempo 24 bulan mendatang," sebut keterangan tertulis S&P.
Sebelumnya Fitch Ratings juga mengeluarkan afirmasi Indonesia tetap di peringkat BBB dengan outlook "Stabil". Sementara Moody's Investor Services juga tetap memberikan rating Ba2 dengan outlook "Stabil".
NEXT: Apa Pola Pasar Saham India Bakal Sama dengan RI?
Di sisi lain, masih ada kabar baik. Sebelum Indonesia menjadi 'pemimpin' dalam daftar penambahan jumlah kasus harian Covid-19 di dunia, posisi tersebut sempat dipegang India.
Apa yang sedang dan akan terjadi di Tanah Air bisa jadi merupakan cerminan tidak langsung dengan apa yang telah terjadi di India mengingat secara bobot ekonomi dan jumlah penduduk juga sama-sama besar.
Dari sisi pasar keuangan, nilai obligasi, mata uang, dan bursa saham India awalnya terpukul ketika wabah mengamuk, tetapi kemudian berbalik rebound setelah kasus infeksi mulai turun.
Penyebaran virus berdampak besar pada aset-aset India, terutama setelah jumlah kasus baru melonjak menjadi hampir 400.000 per hari pada April dari sekitar 50.000 pada akhir Maret.
Rupee adalah mata uang berkinerja terburuk di Asia bulan itu, merosot 1,3%, penurunan tersebut diperburuk dengan kekhawatiran rencana pembelian obligasi bank sentral dapat memperparah kelebihan likuiditas. Indeks acuan Sensex turun sebanyak 4,7% pada bulan April dan mencapai level terendah pada 22 April (intraday).
Pola di Indonesia terlihat agak mirip.
Kasus harian baru naik ke rekor 54.517 pada hari Rabu (14/7), lebih tinggi dari penambahan kasus baru di India, sementara rata-rata pergerakan 7 hari melonjak menjadi 41.521 dari di bawah 6.000 pada akhir Mei.
Sementara dampak pasar sejauh ini masih terpantau sedikit lebih baik daripada di India. Imbal hasil obligasi 10-tahun Indonesia naik 17 basis poin di bulan Juni (yang menandakan harganya turun), sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ikut melemah kendati tidak parah.
"Tantangan terkait pandemi yang sedang berlangsung secara alami akan menghadirkan hambatan bagi aset Indonesia dalam waktu dekat," kata Wellian Wiranto, ekonom OCBC di Singapura, dalam risetnya.
"Namun, pihak berwenang terus menawarkan kepercayaan pasar bahwa secara keseluruhan posisi dari kebijakan makroekonomi yang hati-hati tetap berada pada jalurnya."
Adapun lembaga Fitch Ratings pun mengulas sejumlah sektor di pasar modal yang perlu dicermati investor, terutama otomotif dan ritel yang amat terdampak pandemi.
Ritel dan Otomotif
Fitch Ratings memprediksi pemulihan penjualan kendaraan roda empat di Tanah Air mungkin terhambat oleh pasokan mobil yang rendah dan adanya pandemi. Hambatan tersebut dapat mengganggu efektivitas inisiatif pemerintah untuk meningkatkan penjualan mobil, termasuk perpanjangan diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) baru-baru ini.
Menurut Fitch, kekurangan pasokan chip semikonduktor secara global akhir-akhir ini juga berisiko mengganggu produksi otomotif domestik, dalam arti mengganggu kemampuan pabrikan mobil untuk memenuhi peningkatan permintaan.
"Lonjakan kasus virus corona di Indonesia baru-baru ini dapat menyebabkan pembatasan pergerakan [masyarakat] yang lebih ketat dan pelemahan ekonomi, yang kemungkinan akan meredam sentimen pasar dan mendorong konsumen untuk memangkas pengeluaran," jelas Fitch, Kamis (1/7/2021).
Fitch memperkirakan penjualan kendaraan roda empat domestik sekitar 700.000 unit pada tahun 2021, dari sebelumnya sebanyak 532.407 unit pada tahun 2020.
"Kami memproyeksikan perlambatan pertumbuhan penjualan mobil dalam beberapa bulan mendatang karena [adanya program] penurunan bertahap diskon pajak mobil mewah hingga akhir tahun dan lonjakan baru-baru ini dalam kasus virus corona," kata Fitch.
Di ritel, Fitch menilai PPKM Darurat hingga 20 Juli akan menghambat pemulihan peritel grosir di Tanah Air sepanjang kuartal III tahun ini.
Menurut rilis resmi Fitch pada 4 Juli, analis Fitch memprediksi kerugian tersebut dapat pulih pada kuartal IV 2021 seiring dengan percepatan vaksinasi.
"Pemberlakuan aturan penjarakan sosial yang lebih ketat akan mengurangi pergerakan [masyarakat] secara signifikan karena semua pekerja di sektor yang non-esensial dan non kritikal harus bekerja dari rumah [WFH]," jelas analisis PT Fitch Ratings Indonesia, lewat analis Ilham Kurniawan, dikutip CNBC Indonesia, Senin (5/7).
"Pengurangan pergerakan akan menekan sektor ritel untuk sementara," tulis riset Fitch.
Fitch memperkirakan penjualan ritel nasional melemah di kuartal III 2021 setelah sempat membaik di bulan April dan Mei, mengacu pada data Bank Indonesia, dengan penjualan ritel masing-masing naik 15,6% dan 12,9% secara tahunan (yoy).
"Namun, kami yakin percepatan vaksinasi yang berhasil akan mendukung peningkatan di 4Q21 [kuartal IV 2021] dan berpotensi mengkompensasi kerugian kuartal sebelumnya," terang Fitch.
Kabar baiknya, di tengah ramalan dua sektor ini, pelaku pasar modal dalam negeri tengah menantikan pelepasan saham perdana (initial public offering/IPO) senilai Rp 22 triliun dari PT Bukalapak.com Tbk (BUKA).
Tak hanya BUKA, raksasa teknologi unicorn seperti GoTo, PT Global JET Express (J&T Express), PT Tinusa Travelindo (Traveloka) juga berpotensi mencatatkan sahamnya di BEI dan memberi angin segar bagi bursa saham nasional.
Sejauh ini, menurut data BEI, hingga penutupan perdagangan Kamis (15/7), IHSG masih kembali ke level 6.000 dengan penguatan year to date sejak Januari sebesar 1,13% dan net buy (beli bersih) asing mencapai Rp 14,47 triliun di semua pasar, sejak Januari hingga Kamis (15/7).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pandemi Covid-19 Bikin Utang Negara Berkembang Naik, RI Aman?