
'Tsunami' Kebangkrutan, Cek Fakta 'Harta' Bos-bos Properti RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 membuat kepala para pengusaha pusing tujuh keliling sehingga memaksa mereka untuk melego aset-aset mereka, termasuk di bidang properti.
Contoh saja, ada sejumlah pengusaha yang menjual aset berharga seperti rumah, termasuk mereka yang tinggal di kawasan elite DKI Jakarta sebagaimana diungkapkan Asosiasi Real Estat Broker Indonesia (AREBI).
"Latar belakang kalangan atas mulai mau melepas properti di kawasan elite misalnya karena usahanya nggak maju, jadi mau bayar kewajiban utang di bank yang lainnya. Kemudian ada juga yang sudah memasuki usia pensiun," kata Ketua DPC AREBI Jakarta Utara Jopie Hori kepada CNBC Indonesia.
Melihat fenomena tersebut, CNBC Indonesia mencoba melihat tren ini di pasar modal di mana ada banyak emiten properti juga tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Sebenarnya bagaimana 'harta' para bos properti dalam setahun terakhir berdasarkan kepemilikan saham mereka di emiten-emiten properti di bursa saham Tanah Air?
Pada tulisan ini Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara ringkas empat saham emiten properti besar yang mengalami penurunan harga tertinggi dalam setahun terakhir dan mengaitkannya dengan potensi 'kerugian' (unrealized/potential loss) yang bisa dialami para pemegang saham pengendalinya.
Catatan saja, ini hanya merupakan hitung-hitungan kasar sebagai ilustrasi potensi kerugian para bos properti tersebut.
Secara umum, menurut penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, ada kurang lebih 54 saham properti di bursa dengan 20 di antaranya melorot, 21 saham naik, dan 13 sisanya stagnan dalam 12 bulan terakhir.
Dari sekitar 20 saham properti yang ambles, mayoritas di antaranya termasuk ke dalam pengembang kecil-menengah.
Ini menunjukkan, kendati terjadi fenomena orang kaya banyak menjual asetnya, di pasar modal mayoritas saham properti kelas kakap justru naik sehingga membuat pemegang sahamnya 'cuan'.
Berikut ini laju empat besar saham properti yang dimaksud.
Apabila menilik data di atas, saham POLL menjadi yang paling anjlok dalam setahun, yakni sebesar 46,47%.
Perusahaan yang mulai beroperasi secara komersial pada tahun 2017 ini dimiliki oleh keluarga pengusaha asal Kalimantan Barat, Po Sun Kok.
Menurut laporan keuangan (lapkeu) perusahaan paling mutakhir, entitas induk dan entitas induk terakhir perusahaan per 30 September 2020 adalah PT Borneo Melawai Perkasa. Adapun Borneo Melawai dikuasai oleh Nico Purnomo, anak dari Po Sun Kok, salah satu taipan properti nasional.
Di POLL, Po Sun Kok menjabat sebagai komisaris utama, sementara Nico sebagai komisaris.
Untuk menghitung potensi kerugian pemegang saham pengendali perusahaan, Tim Riset akan berfokus pada satu entitas pengendali, yakni PT Borneo Melawai Perkasa.
Mengacu pada lapkeu per kuartal III 2020, Borneo Melawai memiliki 7.070.001.000 (7,07 juta) saham dengan persentase 84,99%.
Untuk menghitung potensi penurunan 'harta' sang bos, maka jumlah kepemilikan saham entitas pengendali dikalikan dengan harga setahun lalu, kemudian dikurangi dengan hasil perkalian dari jumlah kepemilikan saham dan harga saham saat ini (per 13 Juli 2021).
Jadi, 7,07 juta saham Borneo Melawai dikalikan dengan harga saham POLL pada setahun lalu, yakni Rp 5.100/saham didapatkan hasil Rp 36,06 triliun. Selanjutnya, 7,07 saham Borneo dikalikan harga terakhir Rp 2.730/saham, yakni sebesar Rp 19,30 triliun.
Dengan demikian, apabila jumlah 'harta' bos Borneo pada tahun lalu yang sebesar Rp 36,06 triliun dikurangi nilai saat ini, Rp 19,30 triliun, maka hasilnya adalah dalam setahun duit sang bos besar POLL menyusut sebesar Rp 16,76 triliun.
Informasi saja, keluarga Po Sun Kok asal Kalimantan Barat ini memulai bisnis properti melalui Pollux Properti dengan proyek pertama di Singapura.
Beberapa proyek properti Pollux adalah Park Residences Kovan, Metro Loft, Pavilion Square, dan Golden Park Residences. Setelah bertahun-tahun bermain di Singapura, keluarga Po akhirnya membangun properti di Indonesia.
Uniknya, kota pertama yang dipilih, bukan Jakarta maupun Bali, melainkan Semarang, kota yang membesarkan usaha Golden Flower Group.
Properti pertama Po Sun Kok adalah Paragon City, yang terdiri atas Mal dan Hotel. Proyek kedua Pollux di Indonesia juga berlokasi di Semarang, yakni apartemen W/R Simpang Lima. Setelah itu, Pollux membangun banyak properti di Jakarta kota lain.
NEXT: Ada Sinarmas dan Intiland
Di bawah saham POLL, ada saham emiten properti Grup Sinar Mas yang didirikan oleh mendiang Eka Tjipta Widjaja, DUTI, yang anjlok 22,01% dalam setahun terakhir.
Berdasarkan lapkeu per 31 Maret 2021, DUTI adalah entitas anak emiten properti PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE).
Informasi saja, saat ini, BSDE menguasai 1,638,372,333 (1,64 juta) saham atau setara dengan 88,56% saham DUTI. Adapun pemegang saham mayoritas BSDE ialah PT Paraga Artamada sebesar 31,82% dan PT Ekacentra Usahamaju sebesar 25,95%
Komisaris pemegang saham utama di PT Paraga Artamida dan PT Ekacentra Usahamaju adalah cucu Eka Tjipta, Michael Jackson Purwanto (JP) Widjaja, yang sekaligus menjabat Wakil Presiden Direktur BSDE.
Michael, yang merupakan generasi ketiga Keluarga Widjaja, sendiri menggenggam 0,046% saham BSDE. Sementara, sang ayah, Presiden Komisaris BSDE sekaligus Komisaris Utama DUTI Muktar Widjaja, memiliki 0,456% saham BSDE.
Adapun pemegang saham akhir perusahaan DUTI dan BSDE adalah Sinarmas Land Limited yang berkedudukan di Singapura.
Mengacu pada lapkeu tahunan 2020 Sinarmas Land, per 11 Maret 2021, Flambo International Limited, sebuah perusahaan yang didirikan di British Virgin Islands adalah perusahaan induk utama yang menggenggam 45,98% saham perusahaan. Pemegang saham pengendali Sinarmas Land terdiri dari anggota-anggota tertentu dari Keluarga Widjaja.
Mari kita mulai perhitungan. Untuk memudahkan hitung-hitungan, Tim Riset akan berfokus pada kepemilikan saham BSDE di DUTI, yang pada akhirnya secara tidak langsung juga akan ikut mempengaruhi 'harta' Keluarga Widjaja, termasuk Muktar Widjaja dan sang Putra Michael JP Widjaja, di DUTI.
Pada kuartal I 2021, BSDE menggenggam 1,638,372,333 saham DUTI. Dengan perhitungan yang sama dengan di atas, itu berarti jumlah kepemilikan saham BSDE 1,64 juta dikalikan dengan harga saham DUTI setahun lalu di Rp 4.680/saham dan hasilnya didapat nominal Rp 7,67 triliun.
Selanjutnya, saham BSDE (1,64 juta) dikalikan dengan harga saham DUTI terakhir, yakni Rp 3.650/saham, dengan hasil Rp 5,98 triliun.
Maka, penyusutan harta Keluarga Widjaja di DUTI sebesar Rp 1,69 Triliun.
Informasi saja, DUTI mulai beroperasi pada 1987 dengan mengembangkan proyek komersial terpadu atau superblok seperti ITC Mangga Dua. Perseroan juga membangun proyek hotel di Jakarta, Semarang dan Balikpapan, gedung perkantoran di CBD (Central Business District) Jakarta dan proyek perumahan di Jabodetabek, Surabaya dan Balikpapan.
Selain saham POLL dan DUTI, saham emiten properti yang dikuasai taipan Hendro Santoso Gondokusumo, DILD atau Intiland juga ambles 5,49% dalam setahun. Informasi saja, Hendro, yang menjabat sebagai Direktur Utama DILD, memiliki kepemilikan saham pribadi di DILD sebesar 1,626,250,932 (1,63 juta saham) atau sekitar 15,69% per lapkeu kuartal I 2021.
Saham emiten properti Grup Lippo, LPKR, juga turun, kendati hanya tipis-tipis saja, yakni sebesar 0,65% dalam setahun belakangan.
Orang Kaya Jual Aset
Sebelumnya, CNBC Indonesia memberitakan saat ini, sejumlah pengusaha harus menjual aset-aset mereka untuk bertahan di tengah pandemi.
Di sektor transportasi banyak armada dijual oleh pemiliknya, di sektor hotel banyak pengusaha menjual hotel-hotelnya. Selain itu kini banyak juga aset perkantoran mulai dijual khususnya di DKI Jakarta.
Fenomena ini menyebabkan pasar properti bekas makin limbung. Adanya tren penawaran ini makin banyak, sehingga berdampak pada suplai yang tinggi dan imbasnya harga turun.
"Penurunan harga di kawasan Kelapa Gading, Sunter, Muara Karang, Pluit, Pantai Indah Kapuk (PIK) yaitu kisaran 10% sampai 15% atau maksimal di 20%. Ada yang jual murah sampai 20% penurunan tapi tidak menjadi patokan harga secara keseluruhan. Ketika properti tersebut dijual sangat murah, karena rumah warisan yang mau dibagi kepada saudara yang lain," sebut Ketua DPC AREBI Jakarta Utara Jopie Hori.
Selain di Jakarta Utara, kondisi serupa juga terjadi di wilayah lainnya semisal Jakarta Selatan. Beberapa pemilik rumah menjual karena adanya desakan untuk membagi hasil penjualan untuk warisan, dan faktor lainnya.
"Sama ya seputar warisan, kemudian untuk biaya berobat, ada juga yang harus melunasi kredit karena properti dalam jaminan atau agunan, aset diam tidak menghasilkan atau karena butuh cash saja," jelas Ketua DPC AREBI Jakarta Selatan AREBI Jakarta Selatan Andria Dian Palupi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lagi Pandemi, Begini Kinerja Jualan Properti Q1 Grup Sinarmas
