IPO Bukalapak, 'Perang' Seru Investor Tradisional vs Futuris

tahir saleh, CNBC Indonesia
12 July 2021 06:50
CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin
Foto: CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin

Di WhatsApp Group analis, beberapa saling 'sindir'. Hal itu terlihat misal ketika ada satu akun mengunggah tulisan yang pro IPO Bukalapak, yang lainnya menimpali soal fundamental Bukalapak. 

Sebaliknya, ketika ada investor yang cenderung kurang tertarik IPO ini menunggah analisis soal Bukalapak, investor pro Bukalapak menimpali bahwa ini adalah IPO perusahaan digital, tak sama dengan perusahaan konvensional.

Lainnya pun bercanda dan menyindir halus, "hahaha...sirik aja Bapak....," yang ditujukan ke investor lain yang kontra.

Dalam satu kesempatan, Hasan Zein Mahmud, Direktur Utama Bursa Efek Jakarta (BEJ) periode pertama (1991-1996) pun mulai mengunggah pandangannya soal IPO Bukalapak ini, juga disebar lewat WhatsApp Group.

Hasan yang juga Dirut Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) era 2003 ini pun menyinggung model kuno yang lumayan bagus dalam evaluasi perusahaan dan nilai intrinsik saham yakni dengan discounted cash flows model (DCF).

Metode ini menurut dia paling logis dan paling sederhana, dengan cara tentukan horison investasi, perkirakan future cash flows, perkirakan terminal value dan tetapkan discount factor, lalu hitung.

"Yang tidak sederhana adalah kemampuan memprediksikan dengan betul proyeksi arus kas yang akan datang. Tak ada satu manusia pun yang tahu pasti apa yang akan terjadi esok hari. Itu sebabnya DCF yang sederhana kemudian diembel embeli dengan 1001 asumsi," jelasnya.

"Dengan logika sederhana itu saya mencoba mengerti mengapa valuasi startup technologies, tidak bisa difahami dengan indikator indikator konvensional. Laba usaha, nilai aset, profit margin, price earning ratio, price to book value, EV/Ebitda dan sederet lainnya, tidak lagi relevan."

"Nilai suatu perusahaan teknologi tak lagi cocok diukur dengan nilai aset, misalnya, karena sebagian besar asetnya tak berbentuk. Kekuatan terbesar terletak pada keunggulan tim manajemen dan teknologi. Gabungan keduanya membuka opportunity nyaris tanpa batas."

Namun dia menegaskan, tiap teknologi pasti memiliki daur hidup. Karena itu, horison investasi, menurut dia, tetap relevan.

"Pada early stages potensi pertumbuhan pemakai jasa akan sedemikian tinggi. Cash flows pun sedemikian tinggi. Pada middle stages ekspekstasi laba sedemikian besar. Pada saat menjelang maturity, boleh jadi, evaluasi akan kembali ke pendekatan konvensional DCF."

"Secara teknikal harga saham naik, hanya karena satu hal: permintaan lebih besar dari pasokan saham. Paradigma tentang 'opportunity tanpa batas' itu yang mendorong investor menyerbu saham teknologi. Tentu saja diikuti oleh para followers yang - maaf - tak memiliki paradigma."

Namun dia menjelaskan dirinya tidak meragukan potensi pertumbuhan Bukalapak.

"Data tiga tahun terakhir membuktikan itu. Potensi yang besar di depan menunjang prospek ke arah itu. Transaksi 2018 tercatat Rp 28,34 triliun, setahun kemudian, 2019, naik lebih dua kali lipat ke Rp 57,39 triliun. Lalu Rp 85,08 triliun pada 2020. CAGR [Compound Annual Growth Rate, tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun] lebih dari 100% selama periode tersebut."

Dia hanya mempertanyakam, apa betul ekspansi Bukalapak membutuhkan Rp 22 triliun (target dana IPO). "Jumlah itu sepuluh kali lipat dari nilai aset saat ini. Konsep keuangan yang benar mengajarkan bahwa biaya modal ekuitas harus lebih tinggi dari biaya modal utang. Perusahaan harus mampu mencatat kenaikan laba bersih minimal 7-8% per tahun."

Sebelumnya, Lo Kheng Hong (LKH) yang dikenal sebagai salah satu investor paling sukses di pasar modal Tanah Air, juga menekankan pentingan investor melihat fundamental perusahaaan yang IPO, apapun itu.

Saat ini LKH memegang lima emiten dengan porsi di atas 5% yakni saham emiten pabrik ban PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), kontraktor batu bara PT Petrosea Tbk (PTRO), emiten logistik dan pelayaran PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk (MBSS), emiten media PT Global Mediacom Tbk (BMTR), dan emiten multifinance PT Clipan Finance Indonesia Tbk (CFIN).

"Perlu bagi calon investor untuk mempertimbangkan dan melihat lagi fundamental satu emiten," kata LKH, panggilan akrabnya, kepada CNBC Indonesia, Jumat (9/7).

(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular