Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Faktor eksternal dan domestik membuat ruang penguatan rupiah terbatas.
Pada Kamis (24/6/2021), US$ 1 dihargai Rp 14.430 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya atau stagnan.
Namun beberapa saat kemudian rupiah masuk jalur merah. Pada pukul 09:05 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.440 di mana rupiah melemah 0,07%.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,21% di hadapan dolar AS. Padahal sehari sebelumnya rupiah bisa menguat 0,17%.
Namun memang penguatan rupiah adalah sesuatu yang langka akhir-akhir ini. Bahkan rupiah pernah melemah selama enam hari perdagangan beruntun. Dalam sebulan terakhir, rupiah melemah 0,56% terhadap dolar AS secara point-to-point.
Halaman Selanjutnya --> Taper Tantrum Lagi???
Hari ini, sepertinya rupiah bakal sulit berbuat banyak. Pasalnya, dolar AS juga sedang oke.
Pada pukul 07:25 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,01%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini melesat 2,42%.
Penyebab kebangkitan dolar AS adalah kembalinya isu seputar pengetatan kebijakan alias tapering off oleh bank sentral The Federal Reserve/The Fed. Dua pejabat teras The Fed, Raphael Bostic (Presiden The Fed Atlanta) dan Michelle 'Miki' Bowman (Anggota Dewan Gubernur The Fed), menyatakan tekanan inflasi boleh saja cuma sementara. Namun dampaknya akan terasa dalam waktu lebih lama dari perkiraan sebelumnya.
"Berbagai data terbaru membuat saya memajukan proyeksi (kenaikan suku bunga acuan). Saya memperkirakan suku bunga sudah perlu naik pada akhir 2022. Meski temporer, tekanan inflasi akan terjadi dalam waktu yang lebih lama dari perkiraan. Bukan hanya 2-3 bulan tetapi bisa 6-9 bulan," ungkap Bostic, sebagaimana diwartakan Reuters.
"Saya setuju bahwa tekanan inflasi disebabkan oleh keterbatasan pasokan dan peningkatan permintaan akibat pembukaan kembali aktivitas masyarakat (reopening). Jika situasi sudah lebih stabil, lebih seimbang, tekanan ini memang akan berkurang. Namun saya sulit memperkirakan kapan itu terjadi, yang jelas akan memakan waktu," tambah Bowman, juga dikutip dari Reuters.
Pernyataan Bostic dan Bowman membuat hantu' taper tantrum yang sempat pergi kini datang lagi. Dibayangi oleh potensi kenaikan suku bunga, investor berpaling ke dolar AS karena ada harapan berinvestasi di mata uang ini akan memberikan cuan gede.
Halaman Selanjutnya --> Corona Makin Bahaya!
Sentimen lain yang mempengaruhi rupiah, kali ini dari dalam negeri, adalah perkembangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Data terbaru menunjukkan pandemi semakin ganas.
Kementerian Kesehatan melaporkan, jumlah pasien positif corona di Indonesia per 23 Juni 2021 adalah 2.033.421 orang. Bertambah 15.308 orang dari hari sebelumnya, rekor tertinggi penambahan pasien harian sejak kasus perdana diumumkan pada awal Maret tahun lalu.
Dalam14 hari terakhir, rata-rata pasien positif corona bertambah 11.169 orang per hari. Melonjak tajam dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 6.131 orang.
Angka kasus aktif terus bertambah. Kasus aktif adalah jumlah pasien yang masih dalam perawatan, baik di fasilitas kesehatan maupun mandiri. Data ini mencerminkan seberapa berat beban yang ditanggung oleh sistem pelayanan kesehatan.
Per 23 Juni 2021, angka kasus aktif ada di 160.524 orang. Naik dibandingkan hari sebelumnya yang sebanyak 152.686 orang dan menjadi yang tertinggi sejak 13 Februari 2021.
 Sumber: Worldometer |
Lonjakan kasus corona membuat pemerintah mengetatkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatam Masyarakat (PPKM). Entah karena pengetatan PPKM atau karena kesadaran sendiri, aktivitas warga di luar rumah mulai berkurang.
Di tempat perbelanjaan ritel dan rekreasi, misalnya, kunjungan masyarakat kembali di bawah hari-hari sebelum pandemi. Sebelumnya, tingkat kunjungan sempat berada lebih dari hari biasa sebelum pandemi.
Masyarakat pun lambat laun mulai kembali #dirumahaja. Terlihat aktivitas di rumah meningkat, pertanda orang-orang tidak keluar.
Apabila situasi terus memburuk dan masyarakat semakin takut untuk keluar rumah, maka kekhawatiran ekonomi bakal 'mati suri' adalah hal yang nyata. Indonesia mungkin bisa terbebas dari jerat resesi ekonomi pada kuartal II-2021, tetapi entah bagaimana nasib kuartal-kuartal berikutnya. Risiko resesi kambuh lagi sepertinya belum bisa dihapus dari daftar.
TIM RISET CNBC INDONESIA