
Bitcoin Ambruk Dekati US$ 30.000, Awas Balik ke Harga 2018!

Jakarta, CNBC Indonesia - Penurunan singkat harga kripto Bitcoin hingga ke level harga US$ 30.000/koin atau setara Rp 420 juta (kurs Rp 14.000/US$) pada Selasa (22/6/2021) kemarin telah menghidupkan kembali pembicaraan tentang kripto.
Namun, hal itu tidak membantu bahwa kripto lainnya seperti Dogecoin, Ripple, dan lainnya terhindar dari pelemahan tajam dalam 24 jam terakhir.
Tetapi beberapa ahli pasar kripto mengatakan kepada CNBC International bahwa fundamental Bitcoin masih cukup dan kondisi pasar pada tahun 2021 sangat berbeda dari kehancuran kripto terbesar pada tahun 2018.
"Kami tau bahwa Bitcon masih jauh dari tren bearish, hanya trader yang panik dengan melihat pergerakan yang terlihat di bursa seperti volume dan aksi harga," kata analis dan ahli statistik on-chain populer, Willy Woo dilansir dari CNBC International, Rabu (23/6).
Data CoinMarketCap mencatat, pagi ini, Rabu (23/6), harga Bitcoin naik 3,39% di US$ 33.818/koin.
Ada apa dengan Bitcoin?
Penguatan harga Bitcoin dalam 12 bulan terakhir banyak berkaitan dengan miliarder dan perusahaan yang membeli Bitcoin dalam jumlah besar.
Lonjakan minat dari para pelaku pasar keuangan tidak hanya mereformasi citra Bitcoin, tetapi juga memicu kekurangan pasokan yang membantu menaikkan harga koin digital.
Tetapi sejak Bitcoin berhasil menyentuh level harga US$ 63.000 pada April lalu, beberapa bulan terakhir hingga kini Bitcoin menjadi sulit kembali ke level harga terekornya, bahkan untuk menembus level psikologis US$ 40.000 saja harus melewati rintangan yang sangat berat.
Tindakan keras China terhadap para penambang bitcoin negara tentu saja tidak membantu dan malah menjadi pemberat kenaikan harga Bitcoin.
"Kabar terbaru tentang penutupan pertambangan China sangat mengingatkan China setiap beberapa tahun. Mereka telah melarang bank menggunakan Bitcoin, tetapi ini sebenarnya berbeda. Saya belum pernah melihat eksodus besar-besaran seperti ini sebelumnya," kata Darin Feinstein, pendiri Blockcap, salah satu operator penambangan Bitcoin terbesar di Amerika Utara, dikutip dari CNBC International.
Lebih dari separuh penambang Bitcoin dunia berada di China, Beijing telah menjelaskan bahwa mereka ingin para penambang keluar dari China. Pada Mei lalu, pemerintah menyerukan tindakan keras terhadap penambangan dan perdagangan Bitcoin yang memicu eksodus massal para penambang.
"Sebagian besar dari momentum penurunan harga Bitcoin belakangan ini telah dikaitkan dengan langkah terbaru China dengan penambangan yang telah menyebabkan hash rate global yang lebih rendah," kata Jason Deane, seorang analis di Quantum Economics, yang berspesialisasi dalam penelitian dan analisis di pasar keuangan dan kripto, dilansir dari CNBC International.
"Sementara Bitcoiner jangka panjang melihat ini sebagai langkah yang sangat positif untuk jaringan ... pedagang jangka pendek masih khawatir pada ketidakpastian." tambahnya.
Saat ini, Fear and Greed Index, indeks yang mengukur ketakutan dan greedy investor kripto menunjukkan angka 10, artinya angka ini menunjukkan ketakutan yang ekstrem.
"Pasar sering kali didorong oleh momentum yang terkadang dapat mengalahkan fundamental kripto dan sentimen saat ini tampaknya mencerminkan bahwa inilah yang kita lihat di sini," kata Deane, dilansir dari CNBC International.
NEXT: Bedanya Bitcoin 2018-2021
