Mohon Maaf, Ekonomi RI Belum Bisa Tumbuh 5% Tahun Ini...

Tirta, CNBC Indonesia
17 June 2021 12:50
Bank Dunia
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia dalam laporan terbarunya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mampu tumbuh di angka 5% seperti tren pertumbuhan lima tahun terakhir. Namun untuk jangka yang lebih panjang, pertumbuhan ekonomi Indonesia diramal bakal kembali naik ke angka 5% per tahun. 

Dalam laporan yang bertajuk Indonesia Economic Prospect, Bank Dunia meramal output perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh 4,4% tahun ini. Rata-rata inflasi tahunan juga masih jinak di angka 2,3%. 

Keseimbangan fiskal masih mencatatkan defisit sebesar 5,4% PDB sebelum akhirnya dibawa turun menjadi 3% PDB pada dua tahun mendatang. Defisit yang melebar memiliki konsekuensi terhadap peningkatan utang. 

Rasio utang terhadap pendapatan nasional diramal naik menjadi 41,2% PDB pada 2021 dari sebelumnya 39,4% PDB tahun lalu. Kembali membaiknya perekonomian Indonesia juga membuat defisit transaksi berjalan diperkirakan melebar ke angka 1,5% PDB. 


Menurut bank dunia, koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter membantu meredam perekonomian Indonesia dari resesi yang dalam. Seperti diketahui anggaran pemerintah cenderung ekspansif tahun lalu dan masih dipertahankan tahun ini. 

Di sisi lain bank sentral juga masih menempuh kebijakan ultra-longgarnya dengan suku bunga acuan yang dipertahankan di level terendah sepanjang sejarah. Tak hanya itu, Bank Indonesia (BI) juga turut berpartisipasi dalam pembiayaan anggaran. 

Ekspansi moneter BI terlihat dari pembelian surat utang negara yang secara besaran mencapai hampir 4% dari PDB Indonesia. Namun di sisi lain BI juga tetap mempertahankan real positive interest rate di angka sekitar 2% karena suku bunga acuan berada di 3,5% sementara inflasi masih di kisaran 1,5%. 

Real positive interest rate diharapkan mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah karena secara valuasi aset-aset keuangan domestik seperti saham dan obligasi masih menarik untuk dikoleksi karena menawarkan imbal hasil yang atraktif bagi investor terutama asing di tengah tren imbal hasil riil yang negatif. 

Namun Bank Dunia menyoroti soal dua risiko bagi perekonomian RI yaitu upside dan downside. Risiko pertama (upside) yang cenderung positif berasal dari dua faktor yaitu peningkatan keyakinan konsumen dan keberhasilan program vaksinasi. 

Hanya saja risiko pertama tersebut juga dibarengi dengan downside risks yang lebih banyak. Risiko kedua (downside), datang dari ketatnya pembiayaan eksternal, pertumbuhan ekonomi global yang lebih rendah dan gelombang baru infeksi Covid-19. 

Ketiga risiko kedua tersebut bisa membuat perekonomian RI tumbuh lebih lambat dari perkiraan. Bahkan skenario terburuknya bisa gagal tumbuh atau bahkan harus kembali mengalami resesi. Jelas yang terakhir tidak diharapkan oleh siapapun di negeri ini.

Sekarang mari bahas risiko-risiko yang sudah dijabarkan sebelumnya lebih mendetail. Pertama dari segi pembiayaan eksternal, ketika pemerintah memilih untuk melebarkan defisit anggaran maka pilihannya bisa lewat utang. 

Utang bisa dilakukan dengan menerbitkan obligasi baik di dalam maupun luar negeri. Permasalahan ketika pemerintah menerbitkan obligasi di dalam negeri terlalu besar maka secara teori ekonomi bisa menyebabkan efek crowding out yang membuat investasi sektor swasta melambat dan output pun tumbuh lebih rendah. 

Ketika menerbitkan global bond juga harus mencermati arah suku bunga ke depan. Salah satu yang menjadi acuan adalah Fed Funds Rate (FFR) yang menjadi acuan Amerika Serikat (AS) dan tinjauan global. 

Rapat komite pengambil kebijakan The Fed kemarin menunjukkan sikap yang lebih hawkish. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS dan inflasi yang naik juga dibarengi dengan perkiraan peningkatan suku bunga acuan pada 2023 sebesar 50 basis poin (bps) atau setara dengan dua kali kenaikan. 

Hal tersebut membuat pasar bereaksi, dolar AS langsung menguat signifikan. Mata uang lain tak terkecuali rupiah menjadi korban. Artinya di tengah tren suku bunga acuan yang meningkat ke depan, risiko pembiayaan terutama lewat jalur nilai tukar menjadi meningkat.

Tren depresiasi rupiah akan menjadi beban bagi anggaran karena biaya bunga atas pinjaman menjadi lebih mahal di tengah tingginya utang pemerintah. 

Kemudian risiko yang kedua adalah pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih rendah. Hal ini mungkin terjadi karena ada disparitas antara negara-negara maju dan berkembang terutama soal laju infeksi Covid-19 dan vaksinasi. 

Di negara-negara maju seperti AS dan Eropa laju vaksinasi yang digeber juga dibarengi dengan penurunan kasus infeksi harian Covid-19. Sementara itu episentrum bergeser ke Asia. 

Seperti diketahui ekonomi Indonesia dengan Asia begitu terkoneksi. Peningkatan kasus Covid-19 di Benua Kuning hanya akan membuat prospek ekspor dan juga aliran modal ke Tanah Air menjadi lebih suram. Hal ini jelas menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Kemudian yang terakhir adalah gelombang lanjutan Covid-19. Di Indonesia kasus harian infeksi Covid-19 belakangan ini terus meningkat. Jika rata-rata harian selama satu pekan tambahan kasus baru pada minggu kedua Mei lalu berada di bawah 4.000 kini angkanya sudah naik dua kalinya menjadi 8.000an kasus per hari. 

Apabila tren kenaikan kasus infeksi terjadi dan dibarengi dengan pengetatan mobilitas publik oleh pemerintah, maka ekonomi Indonesia jelas dalam bahaya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular