Harga Batu Bara Cooling Down, Efek Dijegal G7 Mulai Terasa?

Tirta, CNBC Indonesia
16 June 2021 11:15
US President Joe Biden, left, talks with Britain's Prime Minister Boris Johnson, during their meeting ahead of the G7 summit in Cornwall, Britain, Thursday June 10, 2021. (Toby Melville/Pool Photo via AP)
Foto: Presiden AS Joe Biden (kiri) berbicara dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, selama pertemuan mereka menjelang KTT G7 di Cornwall, Inggris, Kamis 10 Juni 2021. (Toby Melville/Pool Photo via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara memasuki fase 'cooling down' setelah reli tak terbendung. Penurunan harga batu bara termal acuan global juga dibarengi dengan sentimen negatif dari negara-negara kaya yang tergabung dalam kelompok G7. 

Harga kontrak batu bara termal ICE Newcastle ditutup melemah 1% pada perdagangan kemarin ke US$ 119,75/ton. Harga si batu hitam sebelumnya sempat tembus US$ 124/ton yang menjadi level tertinggi dalam satu dekade. 

Setelah berkumpul di Inggris, negara-negara G7 sepakat untuk membuat proyek tandingan Belt & Road Initiative (BRI) China. Namanya adalah Build Back Better World (B3W). 

Proyek tersebut diharapkan dapat mengurangi kesenjangan infrastruktur di negara berkembang yang nilainya mencapai US$ 40 triliun sampai 2035. Fokus dari proyek tersebut adalah untuk menanggulangi isu perubahan iklim. 

Salah satu bentuknya adalah melalui komitmen penghentian dukungan terhadap bahan bakar tak ramah lingkungan seperti batu bara. Mereka akan segera memindahkan dukungan ini kepada bentuk-bentuk riset dan perkembangan teknologi serta kebijakan yang lebih ramah lingkungan.

"Kami menekankan bahwa investasi internasional dalam batu bara harus dihentikan sekarang dan kami sekarang berkomitmen untuk mengakhiri dukungan langsung untuk pembangkit listrik batu bara termal (PLTU) internasional," kata tujuh negara anggota G7, Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia dan Jepang, dikutip Senin (14/6/2021).

Mereka juga mengatakan bahwa batu bara saat ini menyumbang emisi yang sangat besar. Pembangkit listrik batu bara, kata kelompok itu, adalah penyebab tunggal terbesar dari emisi gas rumah kaca.

Mereka menambahkan kegiatan sustainable tak optimal mengurangi kenaikan suhu bumi karena masih bergantung pada bahan tambang yang satu ini. Perjanjian Paris menetapkan tujuan untuk tetap menjaga suhu udara global yang meningkat tak lebih dari 2 derajat Celcius dan juga berusaha agar tak melewati 1,5 derajat Celsius

"Investasi global yang berkelanjutan dalam pembangkit listrik tenaga batu bara yang belum berkurang masih sangat tidak sesuai dengan menjaga kenaikan 1,5 derajat Celsius," ujar kelompok tersebut.

Presiden AS Joe Biden yang berbicara setelah KTT juga menekankan komitmennya dalam investasi sebesar US$ 2 miliar (Rp 28 triliun) untuk mendukung negara-negara berkembang agar beralih dari PLTU. Ini juga realisasi kampanye politik Biden saat Pemilu 2020.

Bagaimanapun juga peralihan dari batu bara ke energi yang lebih ramah lingkungan bukan persoalan mudah. Bagi negara-negara barat seperti AS dan Eropa memang konsumsinya terus menurun.

Namun bagi negara-negara di kawasan Asia terutama negara berkembangnya batu bara masih menjadi salah satu bahan bakar yang lebih terjangkau. Beralih dari batu bara ke energi alternatif yang lebih sustainable butuh waktu dan investasi yang besar.

Dalam kondisi krisis seperti sekarang ini banyak negara yang memanfaatkan momentum untuk mereformasi kebijakan energinya. Namun tetap saja pasar batu bara di kawasan Asia Pasifik tetap kuat didukung dengan kenaikan permintaan negara-negara konsumen seperti China, Jepang dan Korea Selatan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tembus Lagi US$ 85,35/ton, Harga Batu Bara Volatil Banget

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular