
Ekspor-Impor RI Meroket, Rupiah Malah Terburuk Kedua di Asia!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengumuman bank sental Amerika Serikat (AS) atau The Fed di pekan ini sangat kuat mempengaruhi pergerakan rupiah.
Data ekspor-impor Indonesia yang meroket belum mampu membuat rupiah menguat melawan dolar AS pada perdagangan Selasa (15/6/2021).
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan stagnan di Rp 14.200/US$, tetapi tidak lama langsung masuk ke zona merah, melemah hingga 0,32% ke 14.245/US$.
Di penutupan perdagangan posisi rupiah membaik, berada di Rp 14.220/US$, melemah 0,14%.
Dengan pelemahan tersebut, rupiah menjadi mata uang terburuk kedua di Asia. Hingga pukul 15:07 WIB, rupiah hanya lebih baik dari peso Filipina yang merosot 0,58%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
The Fed yang akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis dini hari waktu Indonesia tentunya membuat para trader mata uang tentunya berhati-hati, sebab isu tapering masih membayangi.
Tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE). Saat itu dilakukan, maka aliran modal akan kembali ke AS, dan negara emerging market yang berisiko paling terpukul.
Rupiah sendiri pernah merasakan ganasnya tapering pada tahun 2013 lalu.
Pasar saat ini masih bingung, apakah The Fed akan melakukan tapering dalam waktu dekat karena inflasi sudah melesat di AS, atau masih mempertahankan sikapnya yang menganggap tapering masih terlalu dini.
Oleh karena itu, pelaku pasar masih berhati-hati, yang membuat rupiah sulit menguat. Padahal, satu lagi data menunjukkan perekonomian Indonesia bangkit dan berpeluang lepas dari resesi di kuartal ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor Indonesia sebesar US$ 16,6 miliar. Turun 10,25% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM), tetapi melonjak 58,76% dari Mei 2020 (year-on-year/YoY).
Sementara nilai nilai impor Indonesia pada Mei 2021 adalah US$ 14,23 miliar. Turun 12,16% dibandingkan bulan sebelumnya MtM tetapi melejit 66,68% dibandingkan Mei 2020 YoY.
Dengan nilai ekspor impor tersebut, neraca perdagangan mencatat surplus US$ 2,37 miliar.
Lonjakan impor bukan berarti hal yang buruk. Memang impor merupakan pengurang dari produk domestik bruto (PDB), tetapi impor Indonesia didominasi oleh bahan baku/penolong dan barang modal, yang digunakan untuk kepentingan industri dalam negeri. Artinya, saat impor naik maka industri di dalam negeri kembali menggeliat.
Di sisi lain, kenaikan ekspor menjadi indikasi perekonomian global yang mulai pulih.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
