
Dolar di Bawah Rp 14.200, Rupiah Numero Uno di Asia!

Malam tadi waktu Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan AS merilis data inflasi. Pada Mei 2021, laju inflasi Negeri Paman Sam tercatat 0,8% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini adala laju tercepat sejak Juni 2009.
Sementara secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi AS berada di 5%. Ini menjadi laju tercepat sejak Agustus 2008.
"Inflasi April dan Mei yang tinggi bisa dipahami, karena merefleksikan ekonomi yang mulai kembali normal. Laporan ini memberi konfirmasi bahwa permintaan meningkat melebihi pasokan," kata Chris Low, Kepala Ekonom FHN Financial yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Beberapa waktu lalu, isu inflasi menjadi 'hantu' yang menyeramkan di pasar. Sebab, laju inflasi yang semakin cepat akan memaksa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) untuk merespons dengan mulai mengetatkan kebijakan atau tapering off. Apakah itu mengurangi gelontoran likuiditas (quantitative easing) hingga menaikkan suku bunga.
Namun kali ini investor lebih tenang. Pasar sudah bisa menerima kenyataan bahwa inflasi yang terakselerasi adalah fenomena sesaat karena ekonomi masih menyesuaikan diri, beradaptasi dengan kondisi new normal. Ketika keseimbangan sudah terbentuk, maka permintaan dan pasokan akan lebih seimbang sehingga harga kembali normal, tidak melonjak seperti sekarang.
"Pasar percaya bahwa inflasi mencerminkan kondisi transisi. Tidak ada ketakutan seperti dulu," ujar Subadra Rajappa, Head of US Rates Strategy di Societe Generale yang berkedudukan di New York, sebagaimana diwartakan Reuters.
Dinamika ini membuat aset-aset berisiko melanjutkan reli, tidak ada flight to quality. Arus modal pun mengalir ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ini menjadi fondasi bagi rupiah untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
