Saham vs Obligasi, Mana Lebih Seksi Tahun Ini?

Tirta, CNBC Indonesia
09 June 2021 15:05
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan domestik masih tertekan sepanjang tahun 2021. Harga saham maupun obligasi pemerintah Indonesia berada di zona koreksi jika dibandingkan dengan awal tahun. 

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah lebih dari 1% secara year to date (ytd). Sementara itu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah RI tenor 10 tahun naik 49 basis poin (bps).

Kenaikan yield mengindikasikan koreksi pada harga. Apabila dihitung dalam persentase maka harga surat utang pemerintah (SUN) acuan tersebut telah turun 7,8% (ytd). Faktor eksternal maupun internal menjadi pemicu mengapa harga aset keuangan domestik tertekan. 

Pertama adalah risiko peningkatan inflasi di Amerika Serikat (AS) yang memicu naiknya yield US Treasury. Indeks harga konsumen (IHK) AS konsisten mengalami kenaikan. Terakhir di bulan April lalu inflasi Paman Sam tercatat mencapai 4,2% (yoy) tertinggi dalam satu dekade. 

Kenaikan harga barang dan jasa mempengaruhi suku bunga melalui dua jalur. Jalur pertama terkait kompensasi. Jika suatu instrumen pendapatan tetap menwarkan kupon tetap pertahun sebesar 1,63% dan tingkat inflasi di 4,2% maka imbal hasil riilnya adalah minus 2,57%. 

Ketika inflasi naik maka investor akan meminta imbal hasil yang lebih tinggi dari kupon atau yield yang ditawarkan. Investor akan meminta harga yang lebih rendah dari nilai par-nya untuk suatu instrumen obligasi dengan bunga tetap guna memperoleh imbal hasil yang lebih tinggi. 

Jalur kedua lewat kebijakan moneter. Ketika inflasi naik maka bank sentral akan cenderung mengetatkan kebijakan moneternya sehingga investor beralih ke obligasi yang memberikan kupon atau bunga lebih menarik.

Tren kenaikan imbal hasil US Treasury di AS juga berdampak pada negara-negara emerging market seperti Indonesia. Ancaman inflasi membuat pasar berspekulasi bank sentral AS The Federal Reserves (The Fed) akan melakukan tapering off atau upaya pengurangan stimulus dan injeksi likuiditas ke sistem keuangan. 

Hal tersebut membuat dolar AS sempat menguat dan memicu aliran modal keluar dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI) investor asing tercatat masih membukukan aksi net sell di pasar keuangan RI sebesar Rp 2,43 triliun dari awal tahun sampai 4 Juni 2021.

Adanya capital outflow tentu saja membuat bursa domestik tertekan. Selain isu tapering, bergesernya episentrum wabah Covid-19 dari barat ke timur juga menjadi sentimen negatif untuk aset-aset berisiko di negara berkembang Asia. 

Di dalam negeri, tidak hanya harga saham yang turun tetapi nilai transaksi tercatat juga mengalami penurunan. Isu rebalancing portofolio oleh para pengelola dana seperti Jamsostek membuat bursa saham domestik goyang. 

Kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri dua perusahaan asuransi negara yang menimbulkan kerugian lebih dari Rp 20 triliun akibat aksi goreng menggoreng saham juga membuat risk appetite investor mengalami penurunan sehingga harga saham tertekan. 

Sejauh ini jika hanya memperhitungkan capital appreciation saja maka pasar saham masih memberikan return yang lebih menarik ketimbang obligasi pemerintah. Namun koreksi harga menjadi momentum untuk mencari capital gain, apalagi jika melihat secara valuasi baik saham dan obligasi keduanya terbilang menarik.  

Tema tahun 2021 adalah tahun pemulihan ekonomi dari resesi. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan PDB Indonesia berada di angka 4,1% - 5,1%. Pemerintah masih optimis pertumbuhan ekonomi bisa digenjot ke angka 5%. Sementara konsensus ekonom cenderung lebih konservatif di kisaran 4,5%. 

Dengan pertumbuhan ekonomi yang positif laba per saham (Earning Per Share/EPS) juga akan ikut terdongkrak. Dengan skenario pertumbuhan ekonomi di kisaran 4-5% maka akan ada pertumbuhan EPS setidaknya 30% tahun ini menurut estimasi analis. 

Secara valuasi menggunakan metode forward Price to Earnings (P/E), IHSG ditransaksikan di kisaran rata-ratanya dalam lima tahun terakhir. Namun jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang masih satu kawasan rasio P/E IHSG masih lebih rendah sehingga menawarkan potensi yang menarik. 

Rasio forward PE Indonesia masih berada di kisaran 15x sementara bursa saham lain seperti Thailand, Filipina dan India berada di kisaran 17x. 

Beralih ke instrumen pendapatan tetap terutama untuk SBN tenor 10 tahun yang memberikan kupon tetap 6,5% per tahun, secara valuasi terbilang ditransaksikan secara fair valued karena yield saat ini berada di 6,437% hanya terpaut 6,3 bps yang mendekati coupon rate-nya. Artinya harga obligasi pemerintah seri acuan ini on par dengan face value-nya. 

Jika mempertimbangkan inflasi 1,68% di bulan Mei, maka imbal hasil riil surat utang pemerintah Indonesia masih berada di kisaran 4,77%.

Dengan imbal hasil riil tersebut maka surat utang Indonesia masih jauh lebih menarik dibandingkan dengan instrumen investasi sejenis Brazil, China, Malaysia, Mexico, Thailand dan Turki yang memberikan imbal hasil riil lebih rendah dari 4%. 

Jika menggunakan perhitungan fair yield model dengan mempertimbangkan suku bunga acuan, nilai tukar, premi risiko dan imbal hasil surat utang pemerintah AS di level saat ini maka valuasi wajar surat utang pemerintah RI seri acuan 10 tahun harusnya memberikan imbal hasil senilai 6,45%. Artinya untuk perdagangan terakhir surat utang pemerintah RI ditransaksikan sedikit lebih premium dibandingkan dengan nilai wajarnya. 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular