
Saham vs Obligasi, Mana Lebih Seksi Tahun Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan domestik masih tertekan sepanjang tahun 2021. Harga saham maupun obligasi pemerintah Indonesia berada di zona koreksi jika dibandingkan dengan awal tahun.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah lebih dari 1% secara year to date (ytd). Sementara itu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah RI tenor 10 tahun naik 49 basis poin (bps).
Kenaikan yield mengindikasikan koreksi pada harga. Apabila dihitung dalam persentase maka harga surat utang pemerintah (SUN) acuan tersebut telah turun 7,8% (ytd). Faktor eksternal maupun internal menjadi pemicu mengapa harga aset keuangan domestik tertekan.
Pertama adalah risiko peningkatan inflasi di Amerika Serikat (AS) yang memicu naiknya yield US Treasury. Indeks harga konsumen (IHK) AS konsisten mengalami kenaikan. Terakhir di bulan April lalu inflasi Paman Sam tercatat mencapai 4,2% (yoy) tertinggi dalam satu dekade.
Kenaikan harga barang dan jasa mempengaruhi suku bunga melalui dua jalur. Jalur pertama terkait kompensasi. Jika suatu instrumen pendapatan tetap menwarkan kupon tetap pertahun sebesar 1,63% dan tingkat inflasi di 4,2% maka imbal hasil riilnya adalah minus 2,57%.
Ketika inflasi naik maka investor akan meminta imbal hasil yang lebih tinggi dari kupon atau yield yang ditawarkan. Investor akan meminta harga yang lebih rendah dari nilai par-nya untuk suatu instrumen obligasi dengan bunga tetap guna memperoleh imbal hasil yang lebih tinggi.
Jalur kedua lewat kebijakan moneter. Ketika inflasi naik maka bank sentral akan cenderung mengetatkan kebijakan moneternya sehingga investor beralih ke obligasi yang memberikan kupon atau bunga lebih menarik.
Tren kenaikan imbal hasil US Treasury di AS juga berdampak pada negara-negara emerging market seperti Indonesia. Ancaman inflasi membuat pasar berspekulasi bank sentral AS The Federal Reserves (The Fed) akan melakukan tapering off atau upaya pengurangan stimulus dan injeksi likuiditas ke sistem keuangan.
Hal tersebut membuat dolar AS sempat menguat dan memicu aliran modal keluar dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI) investor asing tercatat masih membukukan aksi net sell di pasar keuangan RI sebesar Rp 2,43 triliun dari awal tahun sampai 4 Juni 2021.
Adanya capital outflow tentu saja membuat bursa domestik tertekan. Selain isu tapering, bergesernya episentrum wabah Covid-19 dari barat ke timur juga menjadi sentimen negatif untuk aset-aset berisiko di negara berkembang Asia.
Di dalam negeri, tidak hanya harga saham yang turun tetapi nilai transaksi tercatat juga mengalami penurunan. Isu rebalancing portofolio oleh para pengelola dana seperti Jamsostek membuat bursa saham domestik goyang.
Kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri dua perusahaan asuransi negara yang menimbulkan kerugian lebih dari Rp 20 triliun akibat aksi goreng menggoreng saham juga membuat risk appetite investor mengalami penurunan sehingga harga saham tertekan.
Sejauh ini jika hanya memperhitungkan capital appreciation saja maka pasar saham masih memberikan return yang lebih menarik ketimbang obligasi pemerintah. Namun koreksi harga menjadi momentum untuk mencari capital gain, apalagi jika melihat secara valuasi baik saham dan obligasi keduanya terbilang menarik.