Kala Dolar 'Jajah' Asia, Rupiah Menolak Tunduk!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 June 2021 16:04
Ilustrasi Mata Uang
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah pun berjaya di perdagangan pasar spot dengan menjadi yang terbaik di Asia.

Pada Senin (7/6/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.271. Rupiah menguat 0,31% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.

Mata uang Ibu Pertiwi pun menghijau di 'gelanggang' pasar spot. Kala penutupan pasar, US$ 1 setara dengan Rp 14.260 di mana rupiah terapresiasi 0,21%.

Kala pembukaan pasar, rupiah berhasil menguat 0,28% bahkan kemudian sempat terapresiasi hingga 0,42%. Namun seiring perjalanan pasar, apresiasi rupiah menipis.

Hari ini, posisi terkuat rupiah ada di Rp 14.230/US$. Sedangkan posisi terlemahnya adalah Rp 14.276/US$.

Tidak banyak mata uang Asia yang hari ini mampu menguat di hadapan dolar AS. Meski penguatan rupiah menipis hingga hanya 0,21%, tetapi itu masih lebih tajam ketimbang apresiasi para tetangganya. Oleh karena itu, rupiah secara sah dan meyakinkan menjadi yang terkuat di Asia.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 15:01 WIB:

Halaman Selanjutnya --> Setelah Tenaga Kerja, Kini Data Inflasi Jadi Sorotan

Pagi tadi, dolar AS sempat limbung karena investor di Asia merespons data ketenagakerjaan terbaru di Negeri Paman Sam. Kementerian Ketenagakerjaan AS mengumumkan pembukaan lapangan kerja non-pertanian (non-farm payroll) pada Mei 2021 adalah 559.000.

Angka tersebut lebih tinggi ketimbang realisasi bulan sebelumnya yaitu 278.000. Akan tetapi, berada di bawah ekspektasi pasar di mana konsensus pasar yang dihimpun Reuters keluar dengan angka 650.000.

Ini membuat pelaku pasar bimbang, karena kemungkinan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tetap akan memberlakukan kebijakan ultra-longgar agar tercipta penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment). Mengutip CME FedWatch, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan Negeri Adidaya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 0,25-0,5% pada akhir tahun ini hanya 7%. Turun dibandingkan pekan lalu yaitu 8% dan sebulan sebelumnya yang sebesar 12%.

Namun sepertinya investor sudah move-on dari data itu. Kini pasar menanti data lain yaitu inflasi yang diukur dengan Indeks Harga Konsumen periode Mei 2021. Data ini aka dirilis pada Kamis malam waktu Indonesia.

Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi AS bulan lalu adalah 4,7% dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya (year-on-year/yoy). Lebih cepat ketimbang laju bulan sebelumnya yaitu 4,2% yoy dan jika terwujud bakal menjadi yang tercepat sejak September 2008.

Perkembangan inflasi tentu akan menjadi warna dalam pertemuan bank sentral AS bulan ini. Jika laju inflasi diperkirakan bakal stabil di atas target 2%, maka bukan tidak mungkin The Fed bakal mulai melakukan pengetatan. Suku bunga mungkin tetap bertahan rendah, tetapi gelontoran likuiditas (quantitative easing) kemungkinan bisa dipangkas dari saat ini yang US$ 120 miliar per bulan.

Pengurangan likuiditas akan membuat pasokan dolar AS berkurang. Seperti halnya barang, mata uang pun kalau pasokannya terbatas harga bakal 'naik'.

Dinamika terbaru ini membuat dolar AS bangkit. Jika tadi pagi melemah, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,09% pada pukul 13:45 WIB.

"Performa dolar AS hari ini mungkin akan mirip dengan suasana di rapat The Fed minggu depan. Kami berada di posisi menahan (hold) dolar AS setidaknya sampai data inflasi keluar," sebut riset OCBC.

So, wajar saja dolar AS mampu menekuk hampir seluruh mata uang Asia. Namun di hadapan rupiah, dolar AS masih belum bisa berbuat banyak.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular