Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang pekan lalu, pasar keuangan Tanah Air terlihat semringah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang kembali ke level psikologis 6.000 dan sempat mencatatkan reli penguatan selama 5 hari beruntun.
Bursa saham nasional sepekan lalu juga melesat nyaris 4%. Ini menyusul kembalinya selera "mengambil risiko (risk appetite)" para investor di tengah optimisme pertumbuhan ekonomi kuartal RI II-2021 dan perbaikan ekonomi AS.
Secara rinci, IHSG sepanjang pekan lalu terhitung melesat hingga 216,55 poin atau setara dengan 3,7% menjadi 6.065,166. Ini menguat setelah pada akhir pekan sebelumnya bertengger di level 5.848,616.
IHSG menguat tiga hari beruntun sejak perdagangan pertama pekan ini setelah pemerintah menyatakan optimisme terkait pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhan ekonomi bakal mencapai 8%.
Di sisi lain, perkembangan positif datang dari luar negeri setelah Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat pekan lalu melaporkan inflasi berbasis personal consumption expenditure (PCE) tumbuh lebih baik dari ekspektasi pasar. Data tersebut merupakan inflasi acuan bagi The Fed.
Inflasi inti PCE dilaporkan tumbuh 3,1% secara tahunan pada April, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar 1,8%. Angka tertinggi sejak Juli 1992 ini juga melibas hasil survei Reuters terhadap ekonomi yang memprediksi angka 2,9%.
Hal ini mengindikasikan ekonomi AS yang 60% lebih ditopang konsumsi masih menguat. Terutama berkat suntikan stimulus.
Namun demikian laju reli cenderung melambat, hingga berakhir koreksi pada Jumat. Hal itu setelah data ketenagakerjaan AS lebih baik dari ekspektasi pasar, sehingga memicu kekhawatiran bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bakal segera mengerem kebijakan moneter.
Kebijakan itu dikhawatirkan memicu taper tantrum. Di mana investor global menarik dananya di pasar saham negara berkembang karena The Fed mengurangi aksi gelontoran likuiditasnya.
Di sisi lain, obligasi pemerintah AS kembali menawarkan imbal hasil tinggi seiring kenaikan inflasi. Sehingga menjadi lebih menarik bagi pada investor global.
Sementara, setelah sepekan sebelumnya menguat, rupiah sepanjang pekan lalu berbalik melemah dolar Amerika Serikat (AS), menyusul membaiknya data tenaga kerja dan kenaikan inflasi di Negara Adidaya tersebut.
Mata Uang Garuda bertengger di level Rp 14.290 per dolar AS, atau melemah 0,07% sepekan ini, setelah pada akhir pekan lalu menguat 0,49% di angka Rp 14.280/dolar AS. Rupiah hanya mampu menguat tipis pada Senin dan bahkan stagnan pada Selasa dan Rabu.
Sepanjang pekan lalu, indeks dolar AS tercatat menguat 0,09% menjadi 90,13. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS terhadap mitra dagang utamanya itu bahkan sempat menguat hingga 90,49 pada Kamis, yang merupakan level tertinggi sejak 13 Mei.
Indeks dolar AS terus menguat setelah Presiden bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) wilayah Philadelphia, Patrick Harker mengatakan saat ini waktu yang tepat untuk memikirkan mengenai pengurangan QE (quantitative easing).
Jika kebijakan itu dijalankan maka aksi borong surat berharga The Fed senilai US$ 120 miliar per bulan di pasar akan berkurang, yang artinya pasokan likuiditas ke pasar akan menurun. Dus, pasokan uang beredar akan menurun sehingga secara teoritis dolar AS pun menguat di pasar.
Kemudian, seiring dengan adanya isu tapering off dari Negeri Paman Sam, secara mayoritas SBN kembali ramai dikoleksi oleh investor. Ini ditandai dengan turunnya yield di sebagian besar obligasi pemerintah. Hanya di SBN bertenor 1 tahun yang cenderung dilepas oleh investor dan yield-nya mengalami kenaikan tajam.
Yield SBN bertenor 1 tahun dengan kode FR0061 naik signifikan sebesar 14,1 basis poin (bp) ke level 3,645%, dari sebelumnya di level 3,504% pada penutupan perdagangan Kamis (3/6) pekan lalu.Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun dengan kode FR0087 yang merupakan acuan obligasi negara turun sebesar 1,4 bp ke posisi 6,44% pada Jumat.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga penurunan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Selama sepekan bursa Wall Street berhasil menghijau, menyusul rilis data ketenagakerjaan pemerintah AS per Mei yang lebih rendah dari perkiraan pasar. Hal ini turut meredakan kekhawatiran investor soal ekonomi AS yang dianggap sudah 'terlalu panas' dan bisa menyebabkan pengetatan kebijakan moneter oleh the Fed.
Tiga indeks utama AS mencatatkan kenaikan pada pekan lalu. Indeks saham blue chip Dow Jones terkerek 0,85% ke 34.756,391, indeks S&P 500 menguat 0,69 dan indeks yang sarat akan saham-saham teknologi, Nasdaq, terapresiasi 0,57% ke 12.814,490.
Departemen Tenaga Kerja AS mengumumkan adanya 559.000 penyerapan tenaga kerja baru. Meski angka itu di bawah ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 671.000, tetapi capaian tersebut jauh lebih baik dari penyerapan April sebanyak 266.000.
Angka pengangguran juga terus menurun, menjadi 5,8%, dari periode April sebesar 6,1%. Capaian itu juga lebih baik dari ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang semula memprediksi angka 5,9%.
Menurut Kepala Perencana Trading Global NatWest John Briggs, data tenaga kerja itu "tak terlalu panas hingga memaksa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bertindak lebih dan tak terlalu dingin hingga membuat ekonomi terlihat mengkhawatirkan".
Investor khawatir bahwa data tenaga kerja yang positif, yang menunjukkan kenaikan inflasi, dapat mendorong The Fed untuk menarik kembali stimulus yang diberlakukan selama pagebluk Covid-19.
"Hal ini menjaga tekanan dari The Fed dan akan memungkinkan mereka untuk mempertahankan kebijakan suku bunga rendah mereka lebih lama dan mengambil lebih banyak sikap wait and see," kata Jack Ablin, kepala investasi di Cresset Capital Management.
"Kesempatan untuk mempertahankan suku bunga rendah adalah kabar baik bagi para [investor] pengambil risiko."
Sementara itu, imbal hasil Treasury AS dengan tenor 10 tahun turun sedikit setelah dirilisnya laporan ketenagakerjaan. Imbal hasil obligasi melonjak lebih tinggi dalam beberapa bulan terakhir di tengah meningkatnya ekspektasi inflasi.
Kemudian, saham meme yang akhir-akhir ini banyak dikoleksi para oleh investor ritel yang 'nangkring' di forum Reddit, AMC Entertainment, kembali melaju kencang selama sepekan. Kenaikan mencapai 83,4%, walaupun pada Jumat ambles 6,7%.
Saham 'idola' anak-anak Reddit lainnya, misalnya, Blackberry juga melesat 37,6% dalam sepekan. Kedua saham di atas, adalah dua dari sejumlah saham yang banyak dijual kosong (short-sell) oleh para hedge fund.
Menurut S3 Partners, pelaku jual kosong terhadap saham AMC merugi US$ 2 miliar dalam sepekan ini, setelah saham perseroan menguat dalam sepekan. Informasi saja, sesuai perjanjian awal, pelaku short sell- yang meminjam saham dari broker di harga tinggi dan berharap cuan ketika harganya turun karena membayar utangnya di harga rendah- wajib membayar kewajibannya dengan harga pasar yang lagi membumbung tinggi.
Para pelaku pasar akan mencermati sejumlah sentimen dari domestik maupun luar negeri. Dari Tanah Air, tercatat ada sejumlah jadwal cum date dari sejumlah emiten, seperti Unilever Indonesia (UNVR) dan HM Sampoerna (HMSP) (selengkapnya lihat halaman 4).
Asal tahu saja, cum date merupakan tanggal terakhir seorang investor dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh dividen dari kepemilikan saham suatu perusahaan.
Kemudian, Bank Indonesia (BI) akan merilis data cadangan devisa (cadev) per akhir Mei 2021 pada Selasa (8/6) pagi. Menurut prediksi Trading Economics, angka cadev Mei akan meningkat menjadi US$ 140 miliar.
Sebelumnya, BI melaporkan angka cadangan devisa per akhir April 2021 sebesar US$ 138,8 miliar, meningkat dibandingkan dengan posisi pada akhir Maret 2021 sebesar US$ 137,1 miliar. Ini adalah rekor tertinggi sepanjang Indonesia merdeka.
Kemudian, pada Kamis (10/6) pagi, BI juga akan melaporkan data penjualan ritel RI per April yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR).
Menurut data BI, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), penjualan ritel masih terkontraksi 14,6%. Adapun, Trading Economics meramal, penjualan ritel April masih minus 10% yoy.
Kali terakhir penjualan ritel mampu tumbuh positif secara tahunan adalah pada November 2019. Artinya, kontraksi sudah terjadi selama 16 bulan beruntun.
Sementara, agenda ekonomi dari luar negeri bakal bejibun dalam pekan ini. Pertama, pada Selasa (8/6), National Australia Bank akan merilis data indeks keyakinan konsumen bulan Mei. Kemudian pada hari yang sama akan ada rilis Indeks Sentimen Ekonomi dari Jerman.
Selain itu, beralih ke benua Amerika bagian utara, besok akan dirilis neraca perdagangan Kanada dan AS di bulan April.
Pada Rabu (9/6/2021), pelaku pasar juga akan mengamati laporan indeks keyakinan konsumen Australia di bulan Juni, data inflasi tahunan bulan Mei di Negeri Panda China dan neraca perdagangan Jerman untuk bulan April.
Selanjutnya, pada Kamis (10/6), data yang paling ditunggu-tunggu para investor global akan dirilis, yakni data inflasi AS per akhir Mei. Konsesus pasar mematok laju inflasi Mei bakal naik menjadi 4,7% secara yoy, dari bulan sebelumnya di 4,2%. Sementara, pasar juga sepakat bahwa inflasi inti AS pada Mei, yang tidak memasukkan barang volatil, bakal meningkat dari 3% menjadi 3,4%
Sebelumnya, tingkat inflasi tahunan di AS melonjak menjadi 4,2% pada April 2021 dari 2,6% pada Maret. Angka tersebut jauh di atas perkiraan pasar sebesar 3,6%. Ini adalah capaian tertinggi sejak September 2008.
Adapun inflasi inti AS naik 3,0% pada April 2021. Ini merupakan yang terbesar sejak Januari 1996.
Terakhir, pada hari Jumat (11/6/2021) dari negerinya Ratu Elizabeth II, Britania Raya, investor akan mengikuti laporan neraca perdagangan bulan April, yang diprediksi masih tetap minus.
Selain agenda di atas, para pelaku pasar juga akan mengamati negosiasi politik di Washington soal paket belanja infrastruktur. Sebagaimana diketahui, Presiden AS Joe Biden mengusulkan kucuran dana sebesar US$ 1,7 triliun.
Menurut amatan Reuters, ekspektasi pengeluaran dari Washington untuk pembangunan jembatan, jalan, dan terowongan mampu mengerek saham sektor industri dan material. Keduanya tercatat naik sekitar 20% tahun ini, melampaui kenaikan indeks S&P 500 yang sebesar 14,30%.
Namun, lonjakan harga tersebut berada di atas fondasi yang rapuh. Maksudnya, saham-saham industri bisa mengalami aksi jual besar-besaran kalau proposal infrastruktur Biden gagal terealisasi.
Baru-baru ini, untuk memuluskan proposal infrastrukturnya, Joe Biden menawarkan pembatalan kenaikan pajak perusahaan setinggi 28% yang diusulkannya selama negosiasi dengan Partai Republik pada Kamis (3/6/2021).
Sebagai gantinya, Biden akan menetapkan tarif pajak minimum 15% yang bertujuan untuk memastikan semua perusahaan membayar pajak.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
· Neraca perdagangan China pada Mei (10:00 WIB)
· Data Pesanan Pabrik Jerman pada April (13:00 WIB)
· Indeks harga rumah Halifax Inggris (14.30 WIB)
Berikut sejumlah agenda emiten yang akan berlangsung hari ini:
· Rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) PT DCI Indonesia Tbk (DCII) (10:00 WIB)
· Rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) dan Rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) PT Ifishdeco Tbk (IFSH) (13:00 WIB)
· Cum date di pasar reguler & negosiasi pembagian dividen tunai PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR)
· Cum date di pasar reguler & negosiasi pembagian dividen tunai PT HM Sampoerna Tbk (HMSP)
· Cum date di pasar reguler & negosiasi pembagian dividen tunai PT Phapros Tbk (PEHA)
· Cum date di pasar reguler & negosiasi pembagian dividen tunai PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (MPMX)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA