Jakarta, CNBC Indonesia - Taipan Anthoni Salim, baru-baru ini memborong saham perusahaan penyedia data center PT DCI Indonesia Tbk (DCII) yang baru mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada awal Januari tahun ini. Sejak awal tercatat di BEI awal 2021, harga saham melesat 5.554% dalam waktu singkat seperti aset kripto.
Antohi yang merupakan CEO grup Indofood ini kini tercatat memiliki 11,12% saham perusahaan tersebut setelah melakukan transaksi sebanyak 265 juta saham dengan nilai transaksi mencapai Rp 1,01 triliun.
Berdasarkan data dari PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), pembelian sebanyak 192,74 dilakukan pada 31 Mei 2021 dengan harga Rp 5.277/saham.
Ini merupakan kali kedua Anthoni membeli saham DCII, setelah sebelumnya dia memiliki sebanyak 72,29 juta saham DCII atau 3,03%.
Tujuan pembelian ini disebutkan untuk investasi di bidang teknologi dengan status kepemilikan saham secara langsung.
Namun, pada hari yang sama ketika Anthoni Salim menambah kepemilikan sahamnya di DCII, tiga investor DCII melepas kepemilikan saham mereka dengan tujuan yang sama yakni untuk melakukan divestasi kepada strategic partner (investor).
Total saham yang dilepas oleh ketiga investor tersebut mencapai 164,43 juta saham dengan nominal angka penjualan sama dengan angka pembelian yang dilakukan oleh Anthoni Salim di Harga Rp 5.277/saham.
Ketiga pemegang saham tersebut adalah Djarot Subiarto yang melepas seluruh kepemilikan sahamnya sebanyak 18,66 juta saham, Marina Budiman yang melepaskan 89,58 juta saham dan Han Arming Hanafia yang melepas 56,18 juta saham miliknya.
CNBC Indonesia telah merangkum sejumlah fakta-fakta mengenai saham ini, sebagai berikut.
Saham perusahaan ini mulai tercatat di BEI pada 6 Januari 2021 dan dilepas dengan harga Rp 420/saham dan melepas 357,57 juta saham ke publik.
Hingga perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (4/6/2021), harga saham ini sudah berada pada level Rp 23.750/saham. Artinya dalam waktu hampir lima bulan tercatat, saham ini sudah mengalami peningkatan hingga 5.554,76%.
Sepanjang perdagangan pekan lalu (31 Mei-4 Juni 2021) saham ini terus menguat hingga level 20% sepanjang hari.
Karena kenaikannya yang tidak biasa ini, BEI pun sudah memberikan peringatan kepada perusahaan. Bahkan bursa sempat menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham emiten data center ini pada Selasa (19/1/2021).
Suspensi saham ini sehubungan dengan terjadinya peningkatan harga kumulatif yang signifikan pada saham DCII, sehingga perlu dilakukan suspensi dalam rangka cooling down.
Saat ini, saham DCII tercatat memiliki kapitalisasi pasar senilai Rp 56,611 triliun.
CEO DCI Indonesia, Toto Sugiri mengungkapkan prospek bisnis data center yang digeluti perseroan di tengah pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang sedang melesat, ditambah teknologi cloud yang tumbuh secara eksponensial, yang telah mendorong permintaan terhadap fasilitas data center hyperscale di Indonesia akhir-akhir ini.
"Pasar data center ini diperkirakan memiliki total kapasitas 72,5 MW sampai akhir tahun 2020 dan menurut proyeksi Structure Research akan terus bertumbuh dengan CAGR sebesar 22,3% selama lima tahun ke depan," kata dia saat konferensi pers pencatatan saham perusahan ini pada Januari lalu.
Di kuartal pertama 2021, perseroan akan mengoperasikan empat gedung data center dengan total kapasitas 37 MegaWatt (MW) untuk memenuhi permintaan pasar di Indonesia.
Dia mengklaim perusahaan memiliki data center Tier IV pertama di Asia Tenggara yang mulai beroperasi sejak tahun 2013 dengan uptime availability 100%.
Perusahaan ini didirikan pada 2011 dan memulai pembanguan data center pertamanya pada 2012 yang memiliki kapasitas 3MW.
Pada 2014, DCI Indonesia menjadi pusat data pertama dari Asia Tenggara yang memiliki sertifikat Tier IV Design, yang merupakan kelas terbaik, dari Uptime Institute.
Berdasarkan laporan tahunan perusahaan, DCII mengatakan bahwa mereka melayani tujuh platform e-commerce terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara, dengan salah satu diantaranya adalah Tokopedia.
Selain e-commerce DCII juga melayani 124 pelanggan dari industri keuangan, lebih dari 30 perusahaan telekomunikasi dan lebih dari 100 pelanggan dari industri lainnya.
Perusahaan ini didirikan oleh Toto Sugiri, dia ikut mendirikan perusahaan software khusus perbankan, Sigma Cipta Caraka pada 1989 sebelum akhirnya diakuisisi oleh PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan berganti nama menjadi Telkomsigma.
Sebelumnya dia berkiprah sebagai VP Information Technology di Bank Bali. Dia juga sempat mendirikan Indonet, penyedia layanan Internet Service Provider (ISP) pertama di Indonesia sebelum akhirnya mendirikan DCII dan kini juga bertindak sebagai CEO.
Toto alumni dari RWTH Aachen, salah satu kampus teknik terbaik dunia yang berlokasi di Jerman.
Mengacu laporan keuangan perusahaan, pada tahun 2017 DCII mencatatkan pendapatan sebesar Rp 127,47 miliar dan terus naik setiap tahun hingga terakhir di 2020 pendapatan perusahaan terus naik menjadi Rp 759,36 miliar dengan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) berada di angka 81%. Aset perusahaan meningkat 3,5 kali lipat dari 2017 ke akhir tahun 2020.
Laba bersih perusahaan juga ikut meningkat setiap tahunnya, pada 2020 laba DCII tercatat meningkat 71,7% menjadi Rp 183,14 miliar dari tahun sebelumnya di angka Rp 106,63 miliar. Sejak tahun 2017 laba bersih perusahaan mengalami pertumbuhan dengan CAGR 57%.
Perusahaan ini menargetkan bisa menjadi pusat data Indonesia dan Asia Pasifik. Mengingat bisnis ini menjadi 'mutiara' baru di bisnis global.
Meskipun begitu, pasar di Indonesia masih relatif kecil jika dibandingkan pemain-pemain lain di regional Asia Pasifik.
Toto Sugiri, melalui video yang diunggah di kanal YouTube resmi perusahaan, mengatakan bahwa seharusnya kapasitas pusat data Indoneia lebih besar. Hal ini mengingat jumlah penduduk yang lebih banyak harusnya memiliki korelasi yang positif.
Ini karena jumlah pengguna internet dan sosial media yang sangat banyak di Indonesia. Ia berasumsi bahwa saat ini pemain internasional seperti Facebook dan Google menyimpan data di Singapura yang berhasil menempatkan diri menjadi regional center.
Indonesia bisa dibilang masih ketinggalan dari segi kapasitas pusat data. Misalnya, kapasitas pasar data Tokyo mencapai 718 MW, Singapura berada di angka 357, Sydney mendekati 300 MW dan Hong Kong memiliki kapasitas data 283 MW.
Indonesia jauh tertinggal dengan besaran pasar diperkirakan sebesar 50 MW dan diperkiran tumbuh signifikan menjadi 120 MW di 2021, berdasarkan hasil riset Structure Apex.