
Ini Taper Tantrum, Tsunami yang Terjang Ekonomi Tahun Depan!

Kalangan ekonom saat berbincang dengan CNBC Indonesia tak memungkiri bahwa taper tantrum merupakan sebuah keniscayaan, seiring dengan rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) yang secara perlahan akan mengetatkan kebijakan moneternya
"Memang siklusnya sudah terjadi sejak tahun lalu, siklus kebijakan moneter yang akomodatif," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede
enomena taper tantrum pernah terjadi pada periode 2013 - 2015, saat The Federal Reserve (The Fed) mulai menebar ancang-ancang untuk mengerek naik Federal Funds Rate.
Saat krisis keuangan global yang meruntuhkan pasar keuangan Paman Sam, The Fed memberikan stimulus besar-besaran seperti memangkas bunga acuan dan memborong surat berharga untuk kembali menggairahkan ekonomi yang lesu.
Pada 2013, tanda-tanda ekonomi AS pulih terlihat. The Fed kemudian memberikan sinyal bahwa kebijakan ultra longgar akan dihentikan. Namun dua tahun menanti, The Fed justru baru menaikkan bunga pada akhir 2015.
Dua tahun pasar keuangan dunia dilanda kegalauan lantaran ketidakpastian suku bunga acuan AS. Para investor pun mengambil posisi dengan memborong dolar sehingga saat suku bunga naik, mereka bisa meraup untung.
Permintaan dolar AS meroket, dan membuat mata uang lain melemah termasuk rupiah. Bahkan, rupiah yang kala itu berada di kisaran Rp 9.000/US$, menembus level Rp 13.000/US$ pada akhir 2015.
Namun, Josua melihat dampak dari taper tantrum tidak akan sebesar seperti 2013 lalu. Ia juga memperkirakan bank sentral AS masih akan menunggu hingga tahun depan untuk kembali menentukan arah kebijakan.
"Masih terlalu dini, karena ini lebih kepada stimulus yang sudah diberikan Amerika Serikat," jelasnya.
Josua memandang, berbagai indikator perekonomian masih menunjukkan ketahanan yang kuat dari sentimen eksternal. Misalnya dari posisi cadangan devisa yang masih tinggi, hingga defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang rendah.
"Risiko lainnya dari risiko utang terhadap PDB. Memang tahun ini diperkirakan bisa lewat dari 40%. Tapi itu pun masih relatif rendah dibandingkan posisi rasio utang PDB negara lain," jelasnya.
"Dalam hal kesiapan, saya pikir dibandingkan 2013 kondisi saat ini cenderung masih cukup baik. Artinya ketahanan fiskal kita cukup baik. Kalau kita lihat secara fundamental, mestinya kita bisa bertahan seandainya Fed memperepat normalisasi,"
Saat taper tantrum terjadi pada 2013, pasar keuangan domestik memang sempat jatuh lantaran para investor berbondong-bondong melepas sejumlah aset keuangan yang mereka miliki di Indonesia.
Namun, Josua yakin apabila taper tantrum kembali terulang, hal tersebut tidak akan berpengaruh secara signifikkan. Pasalnya, porsi kepemilikan asing terhadap surat utang pemerintah sudah jauh lebih berkurang.
"Sekarang 22%. Di akhir 2013 porsi kepemilikan asing terhadap surat utang itu 32%. Kita lihat kepemilikan asing terhadap SBN kita relatif rendah. Kalaupun ada shock, enggak sedrastis waktu itu karena investor domestik masih cukup solid," jelasnya.
Hal senada turut dikemukakan Ekonom Maybank Myrdal Gunarto. Menurutnya, dampak taper tantrum tahun depan masih dapat dimitigasi, lantaran situasi perekonomian domestik yang sebenarnya relatif terkendali.
"Kondisi likuiditas jauh lebih banyak. Kondisi real sector pelan-pelan udah jalan. Kasus Covid-19 di sini juga lebih baik dari negara tetangga. Ini momentum bagus buat tarik FDI dan bukannya hot money," jelasnya.
(mij/mij)[Gambas:Video CNBC]